Minggu, 21 Desember 2025

Pemimpin Perempuan (habis)

- Selasa, 30 Januari 2018 | 08:39 WIB

-

Bahkan, dalam sejarah Islam Ummu Sulaim dan beberapa perempuan Ansor ikut berperang bersama Rasulullah SAW untuk mengobati dan membagikan air minum kepada tentara (Adabul Mar’ah fil Islam, hal: 69).

Kenyataan sejarah juga menunjukkan bahwa perempuan ikut terlibat pada ranah publik, misalnya istri Nabi Muhammad SAW, Aisyah yang memimpin langsung perang Jamal, dan Syifa’ binti Abdullah al-Makhzumiyah diangkat menjadi hakim pengadilan Hisbah di Pasar Madinah pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab.

Mengenai hal ini Syaikh Yusuf al-Qaradhawi berpendapat bahwa setiap perempuan berhak untuk duduk dalam sebuah kepemimpinan di wilayah publik. Hal ini didasarkan pada pemaknaan surat at-Taubah ayat 71, bahwa Allah menetapkan bagi perempuan beriman hak mutlak memerintah sebagaimana laki-laki, termasuk di dalamnya memerintah dalam urusan politik atau untuk kepentingan publik. Sehingga para ulama berkesimpulan bahwa perempuan boleh menerima jabatan sebagai pemimpin atau memegang kendali kekuasaan menurut spesialisasi masing-masing. (al-Qaradhawi, hal. 529-530)

Hal yang senada juga diungkapkan oleh Buya Hamka, beliau memaknai surat at-Taubah ayat 71 bahwa orang mukmin laki-laki maupun perempuan, mereka bersatu dan saling memimpin satu sama lain dalam satu kesatuan itikad, yaitu percaya kepada Allah SWT. Dengan kata lain, perempuan ambil bagian dalam menegakkan agama, dan membangun masyarakat beriman, baik laki-laki dan perempuan (Hamka, Tafsir al-Azhar hal. 292-293).

Dalam surat at-Taubah ayat 71 dapat juga dipahami bahwa kedudukan perempuan adalah mendapat jaminan yang tinggi dan mulia. Terang dan nyata kesamaan tugas perempuan dan laki-laki yang sama-sama memikul kewajiban dan sama-sama mendapat hak. Jadi bukan saja laki-laki yang memimpin perempuan, bahkan perempuan memimpin laki-laki. (Hamka, hal. 11-12).

Perlu diketahui juga bahwa sifat kepemimpinan pada masa sekarang adalah kolektif kolegial, yaitu melibatkan banyak orang dalam satu pemerintahan. Sehingga seorang perempuan yang menjadi pemimpin, tidak harus mengurus semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan karena hal ini akan terasa sangat berat. Ia bisa secara bersama-sama bekerja dengan orang yang terlibat di dalamnya untuk mengurus kepentingan rakyat. Karenanya, laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama untuk melakukan kebaikan (amal salih) karena keduanya bertanggung jawab untuk memerintahkan kebajikan dan mencegah kemunkaran.

Hanya saja, keterlibatan seorang perempuan dalam ranah publik (menjadi pemimpin) memang terlebih dahulu harus memperhatikan dan melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Seperti: mengatur urusan rumah tangga, karena bagaimanapun juga perempuan dibebani kewajiban untuk memelihara harta suaminya yang juga mencakup urusan rumah tangga, memperhatikan pendidikan anak (meskipun hal ini juga merupakan kewajiban suami-istri).

Perlu juga dipahami amal salih bukan hanya ada dalam ranah publik. Amal salih harus dipahami sebagai amalan yang sesuai (pantas) untuk dilakukan oleh individu berdasarkan peran dan posisi yang terdapat pada dirinya. Jika peran tersebut telah dilakukan, bolehlah seseorang melakukan pekerjaan lain dengan tetap memperhatikan aturan dan norma agama Islam.

Wallahu ‘alam bi ash-shawab. (*)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X