Praktik politik uang di pemilihan kepala daerah (pilkada) sulit dihindari. Ini juga berlaku di pemilihan bupati (pilbup) Bogor. Bahkan, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut bahwa modus yang dilakukan pasangan calon (paslon) untuk merebut simpati masyarakat makin beragam. Bahkan jka dihitung-hitung, potensi peredaran uang dalam praktik politik uang diprediksi mencapai ratusan miliar rupiah.
Peneliti ICW Abdullah Dahlan membeberkan, kisaran nominal uang yang dibagikan dengan niat memengaruhi pilihan pemilih jelang hari H pemilihan bervariatif. Berdasarkan temuan ICW yakni mulai dari Rp20.000-Rp100.000.
“Kalau kisaran temuan kami itu ada Rp20.000-Rp100.000. Tapi rata-rata memang sekitar Rp50.000-an. Ini yang dari pemberian uang. Sumber daya dan pemilih yang sedikit juga biasanya nilai transaksinya besar. Contohnya di salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara, nilai per kepala untuk politik uang itu bisa sampai Rp500.000 sampai 1.000.000 karena jumlah pemilihnya sedikit. Jadi orang berani bayar mahal,” kata Dahlan usai diskusi publik Potensi Korupsi Pilkada di Kabupaten Bogor bersama Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) di gedung Graha Pena Bogor, kemarin.
Merujuk pada data KPU tentang Daftar Pemilih Sementara (DPS) untuk pilkada Juni 2018, tercatat ada 3.293.819 jiwa yang merupakan calon pemilih. Bila 50 persen pemilih jadi sasaran politik uang lima kandidat dengan biaya minimal Rp20.000 per orang, maka potensi peredaran politik uang di Kabupaten Bogor diperkirakan bisa mencapai angka Rp164.690.950.000.
Meski demikian, Dahlan belum bisa memastikan berapa nilai politik uang di Kabupaten Bogor. Menurutnya, fenomena ini hampir terjadi di semua wilayah. Politik uang masih jadi cara praktis bagi kandidat untuk memengaruhi pilihan masyarakat.
“Saya belum melihat nominalnya secara langsung. Tapi Bogor ini memiliki karakteristik masyarakat yang beragam. Ada masyarakat perkotaan, urban bahkan perdesaan. Ini menjadi hal menarik untuk dipetakan terlebih dulu. Kasus di Kendari misalnya, ada temuan gepokan uang Rp50.000-an lebih dari dua miliar, kuat dugaan ini untuk politik uang di tengah pilkada,” terangnya.
Dahlan membeberkan, umumnya kandidat melakukan politik uang dengan melakukan pemetaan terlebih dulu dan melihat kebutuhan masyarakat. Ada kategorisasi wilayah-wilayah yang akan menjadi sasaran politik uang dan ada wilayah yang bisa saja dilewatkan lantaran karakteristik pemilihnya merupakan pemilih solid atau pemilih cerdas.
“Masyarakat perkotaan mungkin akan lebih melihat figur. Tapi mereka juga masih bisa terpengaruh dengan nilai transaksional politik uang. Kandidat juga biasanya berhitung, ada wilayah zona hijau yang menjadi basis kekuatan, zona merah wilayah lawan dan zona kuning yang lebih banyak pemilih mengambang. Nah di zona dengan banyak pemilih mengambang biasanya yang rentan politik uang,” ungkap Dahlan.
Menurut Dahlan, politik uang tidak hanya terjadi jelang hari H pemilihan. Indikasi ini sudah terjadi sejak masa pendaftaran dengan adanya mahar politik untuk meloloskan hingga saat kampanye berlangsung. Biasanya politik uang saat kampanye dilakukan melalui berbagai kegiatan.
“Banyak modusnya, mulai pembagian sembako, voucher pulsa atau bisa juga dimodifikasi lewat berbagai kegiatan seperti pemancingan yang hadiahnya melebihi batas aturan. Esensinya tetap sama, politik uang. Strategi memengaruhi pilihan pemilih,” ujarnya.
Dahlan menegaskan, praktik politik uang menjadi ancaman serius dalam demokrasi karena perilaku tersebut menggeser arah ideal pemilih. Idealnya, pemilih memilih berdasarkan visi-misi dan program tapi diubah menjadi transaksional. “Politik uang ini sangat bahaya dan bahayanya pemilih permisif dengan praktik ini, maka langgenglah politik uang,” pungkas Dahlan.
(fin/c/feb/run)