METROPOLITAN - Penyelenggara pemilu masih menjadi sorotan masyarakat. Hal ini untuk memastikan proses penghitungan dari tingkat TPS hingga di Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjalan kondusif tanpa kecurangan.
Apalagi di tengah kasus adanya penyelenggara yang bermasalah di sejumlah daerah. Seperti di Garut, Prabumulih dan terbaru di Makassar, di mana data C1-nya justru berbeda dengan hasil yang dilansir di website KPU.
Peneliti Senior Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Yusfitriadi mengatakan, terjadinya kecurangan oleh lembaga penyelenggara pemilu memang masih menjadi problem saat ini. Dari sisi KPU, masih saja terjadi kerawanan kecurangan seperti permainan anggaran hingga berpihak kapada pasangan calon. Kondisi ini diperparah dengan upaya mobilisasi keberpihakan hingga ke penyelenggara pemilu di tingkat paling bawah.
“Kalau dari aspek Bawaslu, biasanya keberpihakan ditunjukan dengan tidak adilnya dalam merespons laporan atau pengaduan. Kemudian membubarkan pelanggaran salah satu paslon dan konspirasi dengan KPU untuk membiarkan berbagai kecurangan. Ini yang selama ini menjadi problem dalam integritas penyelenggara pemilu, di antaranya konspirasi merusak peraturan dan ketentuan yang sudah diundangkan,” kata lelaki yang akrab disapa Kang Yus itu.
Dalam kondisi ini, ada tiga pihak yang seharusnya menjadi kontrol atas penyelenggara pemilu, khususnya KPU. Mereka adalah Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan masyarakat. “Yang akan sangat membahayakan ketika KPU dan Panwaslu sudah melakukan konspirasi untuk melakukan kejahatan pemilu, sehingga tidak ada unsur negara yang mampu menjamin pemilu berjalan on the track,” terangnya.
Jika hal itu terjadi, hanya partisipasi masyarakat yang bisa diharapkan seperti pemantau, organisasi kemasyarakatan maupun media. Sebab, DKPP akan bekerja seiring adanya laporan dari masyarakat atas integritas penyelenggara pemilu.
Di Kabupaten Bogor sendiri, aksi klaim kemenangan oleh dua pasangan calon bupati membuat masyarakat bingung dan bertanya-tanya soal sikap KPU. Kondisi ini diperparah dengan bermasalahnya sistem tabulasi penghitungan yang tidak bisa diakses masyarakat. Masyarakat kemudian hanya bisa menduga-duga tanpa dasar yang jelas.
Pakar Hukum Universitas Pakuan Bogor Bintatar Sinaga meminta masyarakat merujuk pada hasil quick cout yang terpercaya, bukan lembaga survei abal-abal.
“Selain menunggu data resmi dari KPU, masyarakat harus ambil data dari hasil quick count yang terpercaya,” kata Bintatar.
Sementara itu, Ketua KPU Kabupaten Bogor Haryanto Surbakti mengatakan, penghitungan suara bisa diakses melalui laman infopemilu.kpu.go.id. Namun, laman tersebut sedang bermasalah sehingga KPU pun tidak bisa mengaksesnya.
Terkait potensi kecurangan, Haryanto lebih memilih menunggu hasil pleno oleh KPU. Sebelumnya, dirinya juga memastikan KPU akan menjaga netralitasnya selama penyelenggaraan pemilu. “Untuk hasil, kita tunggu pleno di KPU,” singkatnya.
Sebelumnya, Ketua Panwaslu Kabupaten Bogor Ridwan Arifin meminta masyarakat melaporkan jika ada temuan indikasi kecurangan penyelenggara pemilu. Dirinya memastikan Panwaslu akan terus mengawal netralitas penyelenggara agar semua berjalan sesuai aturan.
“Komitmen Panwas menjaga netralitas penyelenggara. Kami tugasnya mengawasi dan mengamankan suara. Kalau suara itu jumlahnya satu, sampai ke kabupaten harus satu. Tidak boleh ada penambahan atau pengurangan. Apabila ada kejanggalan dari penyelenggara, silakan dilaporkan ke Panwaslu,” tegas Ridwan. (fin/ads/c/feb/run)