Punya agenda jalan-jalan keliling Bogor pakai kendaraan pribadi? Mulai Agustus nanti ada pemberlakuan ketat bagi pengendara yang berkunjung ke kawasan wisata kuliner Suryakencana. Sebab, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor bakal memberlakukan parkir meter di sepanjang jalur tersebut dengan tarif mencapai Rp6.000 tiap jam. Uji coba parkir meter tersebut akan mulai berlaku awal Agustus nanti. Penerapan ini akan dilakukan di dua titik, yakni Jalan Suryakencana dan Jalan Otto Iskandardinata (Otista) Kota Bogor. Bedanya, khusus di Jalan Raya Suryakencana pengendara akan dikenakan tarif parkir progresif yang cukup tinggi. Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bogor Dody Wahyudin mengatakan, khusus di Suryakencana, pengendara motor akan dikenakan tarif Rp3.000 per jamnya. “Sedangkan untuk pengendara mobil berlaku tarif Rp6.000,” kata Dodi. Berdasarkan data Dishub Kota Bogor, totalnya ada 18 mesin parkir meter yang akan dipasang di sejumlah ruas Jalan Suryakencana yang terbentang dari eks toko Bata hingga Gang Aut serta Jalan Otista. “Kalau yang di Otista itu tarifnya normal. Rp2.000 untuk motor, Rp5.000 untuk mobil,” bebernya. Pemberlakuan tarif ini sebenarnya sudah berlangsung lama. Hanya saja, jelas Dody, realisasinya masih kurang optimal karena proses penarikan tarif masih dilakukan secara manual. Dody memastikan dengan kebijakan baru ini, pemerintah bakal memangkas jumlah juru parkir (jukir). “Dari semula ada 40 jukir nanti hanya 17 orang yang akan diperbantukan sebagai operator,” tuturnya. Mesin Terminal Parkir Elektronik (TPE) ini, lanjutnya, akan dipasang di badan jalan (on street parking, red). Nantinya setiap orang yang akan parkir harus menempelkan kartu e-Money-nya ke mesin lalu keluar tiket. Pada tahap awal uji coba, kartu akan dipegang jukir dan bertugas men-tapp-kan kartu bagi warga yang belum punya kartu e-Money, hingga memarkirkan kendaraan. “Targetnya, dari uji coba ini ada peningkatan PAD hingga Rp200 juta. Dari sektor parkir itu kan sekarang targetnya Rp2,3 miliar. Nah, diharapkan bisa sampai Rp2,5 miliar setelah uji coba ini. Kalau positif, kami usulkan di titik parkir lainnya se-Kota Hujan,” ucapnya. Bukan cuma menaikkan PAD, Dody berkeyakinan dengan adanya mesin ini maka pengeluaran untuk membayar jukir akan berkurang. “Sebetulnya yang kami inginkan, idealnya ada 34 jukir yang bertanggung jawab pada TPE-TPE itu. Bisa di-shift dari pagi sampai sore, bisa bergantian. Namun untuk uji coba hingga Desember ini kan terbentur anggaran. Sebab ke-17 jukir itu nantinya digaji melalui skema Pekerja Kontrak Waktu Terbatas (PKWT). Bukan lagi sukarela seperti sekarang,” ujarnya. Dody menjelaskan, nantinya tidak ada lagi uang di lapangan, tetapi para jukir diberi gaji untuk membantu pengendara dan pengoperasian TPE. Ini juga sebagai bentuk pemutus asumsi masyarakat soal adanya kebocoran PAD dari sektor parkir, terlebih masalah parkir liar. “Nanti kan uangnya langsung disetor ke bank yang kerja sama. Sistemnya sama seperti e-Tol, jadi tidak ada uang berseliweran di lapangan. Menghindari anggapan uang parkir liar di jalanan,” paparnya. Saat ini, sambung Dody, sedang memasuki tahap persiapan pemasangan TPE di lokasi dan proses Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan bank yang ditunjuk. Selain itu juga proses penyaringan dan rekrutmen jukir sukarelawan yang sekarang ada, menjadi 17 tenaga PKWT. Kini secara fisik, sudah ada pemasangan angkur (beton, red) penyangga TPE. Lalu tahapan kajian legal dari Dishub dan pihak bank. “Kemudian rekrutmen 17 jukir nantinya yang bakal diberi pelatihan dulu sebelum uji coba TPE. Harus bisa mengoperasikan, tapping, merawat, memelihara. Nah untuk yang tidak masuk, jukir-jukir akan disebar ke beberapa kantung parkir yang jukirnya sedikit dan beberapa potensi parkir yang belum optimal,” jelasnya. Penerapan parkir meter ini bukan hal baru. Sebab, beberapa kota besar sudah lebih dulu melakukannya. Sebut saja Surabaya, Jakarta, Bekasi dan Bandung yang sudah mengoperasikannya. (lihat grafis). Bahkan di Jakarta, sistem ini sudah diberlakukan sejak 2014. Bermula di Jalan Sabang, Jakarta Pusat, perlahan sistem ini merambah ke jalan lainnya di sejumlah titik yang kini mencapai 200-an. Manajer Humas UP Perparkiran Ivan Valentino mengatakan, sistem TPE ini telah membuat penerimaan UP Perparkiran meningkat sangat signifikan. Dari catatan UP Perparkiran, pada 2016 atau saat TPE pertama kali digunakan, pendapatan dari parkir ini sebesar Rp52 miliar. TPE mulai beroperasi pada Oktober 2016. Pada 2017, pendapatan dari parkir naik 100 persen lebih menjadi Rp107, 8 miliar. Dengan melihat pendapatan yang signifikan, UP Perparkiran pada 2018 meningkatkan target pendapatan dari perparkiran menjadi Rp115 miliar. "Dengan adanya lokasi pengembangan, TPE naik menjadi Rp107,8 miliar. Kan bisa dilihat bagaimana dahsyatnya penerimaan itu," kata Ivan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di Bekasi. Sebab, pemerintah daerahnya gagal mencapai target retribusi parkir tepi jalan hingga terpaksa menghapusnya di beberapa titik. Berkaca pada pengalaman ini, pengamat transportasi kota, Djoko Setijowarno, berpendapat bahwa kebijakan Dishub Kota Bogor yang ingin mengadakan mesin parkir elektronik di jalan utama kota tidak akan terlalu berpengaruh terhadap angka parkir liar. Menurutnya, mesin parkir elektronik bakal efektif di tempat-tempat tertutup. “Bila di tempat terbuka, menuntut kejujuran petugas. Potensi kebocoran bisa jadi ada,” ucapnya saat dihubungi via WhatsApp, kemarin. Dosen Universitas Katolik Soegijapranata ini melanjutkan, seharusnya pemkot meminimalisasi kantung-kantung parkir di jalan utama dan bukan memenuhinya dengan parkir di tepi jalan. Sebab menambah beban lalu lintas di jalur tersebut. Karena itu ia menilai kebijakan ini bukan solusi mengatasi kemacetan, apalagi parkir liar hingga kebocoran PAD dari parkir. “Dihindari seminim mungkin parkir tepi jalan. Apalagi jalan nasional, jalan provinsi, dilarang aktif parkir di bahu jalan, sesuai Undang-Undang Keselamatan Lalu Lintas pada LLAJ,” tutupnya. (ryn/c/feb/run)