Senin, 22 Desember 2025

LIMA ANAK JADI KORBAN ‘IMUNISASI HARAM’

- Senin, 27 Agustus 2018 | 10:42 WIB

METROPOLITAN - Sungguh malang nasib Indriyani. Bocah perempuan kelas enam SDN Cipetir 1 Desa Tugujaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, meninggal dunia setelah empat hari menerima suntik Difteri, Pertusi dan Tetanus (DPT). Kejadian ini menambah daftar kasus kematian anak usai diimunisasi. Orang tua Indriyani, Omah (40) dan Sukinar (42), harus ikhlas menerima kepergian anaknya. Menjadi orang kecil dan miskin tentunya tidak ada ruang bagi mereka menghadapi kenyataan, selain menerima dengan pasrah. Ia pun tampak tegar saat menceritakan kronologis kematian Indriyani pada Kamis (23/8). Omah mengaku sebelumnya pihak sekolah memberi tahu kepada orang tua akan ada suntik difteri di sekolah. Saat pelaksanaan, kondisi tubuh Indri demam tapi pihak sekolah tetap mengizinkan Indri disuntik. Pihak sekolah menyampaikan kepada Indri bahwa efek setelah diimunisasi akan mengalami demam. Namun itu tidak apa-apa karena reaksi obat. Setelah itu, Indri disuruh pulang ke rumah dan istirahat. Setibanya di rumah, kondisi Indri semakin panas tinggi hingga dua hari. Melihat kondisi Indri yang panasnya tak juga turun, pihak keluarga membawanya ke dokter. Saat itu dokter tidak banyak bicara, hanya bilang bahwa Indri akan sembuh kembali. Namun, Indri akhirnya meninggal dunia. “Kalau malam Indri mengeluhkan badannya panas. Untuk meringankan sakitnya, ia sering istighfar. Dihitung-hitung hampir seminggu tidak masuk sekolah akibat sakit panas,” kata Omah. Ia mengaku pasrah dan menganggap kejadian ini sebagai takdir. Indriyani pun sudah dimakamkan di makam keluarga yang tak jauh dari rumah tinggalnya. “Bapaknya tidak pernah pulang lagi sejak lama. Selama ini saya yang besarkan Indri. Saya ikhlas Indri pergi, saya tidak akan menuntut siapa pun,” ujar Omah. Sepanjang 2018, kasus kematian setelah pemberian vaksin sudah menelan lima korban. Pada 9 Januari 2018, Tearysa (10) warga Kabupaten Karawang meninggal dunia setelah divaksin difteri di sekolahnya. Lalu pada 24 Februari 2018, siswi SD di Tangerang Selatan bernama Nazwa Fahira Andrean (10) mendadak kejang lalu meninggal setelah diimunisasi. Bulan berikutnya pada 3 Maret 2018, siswa SD di Ngawi, Jawa Timur, Alhaz Celsia Rua (7), juga meninggal dunia diduga akibat vaksin difteri. Hal yang sama juga terjadi pada siswa SD Agustina Logo di Papua yang meninggal dunia setelah disuntik vaksin campak dan rubella pada 14 Agustus 2018. HARAM TAPI BOLEH Meski dinyatakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tetapi penggunaan vaksin diperbolehkan karena belum ada pengganti vaksin yang terbuat dari bahan yang halal. Belum lama ini MUI mengeluarkan fatwa Nomor 33 Tahun 2018 terkait vaksinasi Measles Rubella (MR) yang terbukti mengandung babi. Vaksin MR ini merupakan produk dari Serum Institute of India (SII) untuk program imunisasi MR yang dilakukan saat ini di 28 provinsi di luar Pulau Jawa. Hasil analisis dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI) menyimpulkan dalam proses produksi vaksin MR memang memanfaatkan unsur berasal dari babi. Sesuai Fatwa MUI sebelumnya, jelas Niam, hukum kandungan vaksin MR produksi India itu haram. Hal itu karena proses produksi pembuatan vaksin yang memanfaatkan unsur babi. "Tapi dalam kondisi faktual sekarang berdasarkan informasi kedaruratan jika terjadi bahaya dan efek dari kecacatan permanen yang merusak kesehatan masyarakat, maka vaksin MR dibolehkan," jelas Niam. Keputusan vaksin MR dibolehkan MUI didasarkan pada tiga hal. Pertama, kondisi darurat. Kedua, keterangan dari ahli yang kompeten bahwa ada bahaya yang bisa timbul bila tidak diimunisasi. "Ketiga soal belum ditemukan adanya vaksin MR yang halal hingga saat ini," katanya. (els/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X