METROPOLITAN - Pahlawan tanpa tanda jasa, itulah istilah yang sering disematkan untuk para guru. Namun rupanya istilah itu tidak sejalan dengan apresiasi yang diberikan pemerintah. Seperti yang dialami Dwi (26), lulusan S2 Magister Pendidikan (M.Pd). Dwi sudah delapan tahun mengajar di sebuah SD di Ciomas sebagai guru honorer. Karena itu, ia ikut dalam aksi unjuk rasa bela guru honorer di Lapangan Tegar Beriman, Cibinong, Kabupaten Bogor, bersama ribuan guru honorer lainnya. ”Kita kan bertahun-tahun mengabdi, kebanyakan di sini belum mendapatkan SK dari bupati dan kita juga masih honor semua,” ujar Dwi. Selain itu, Dwi mengaku upah yang diterima setiap bulannya sebagai pengajar honorer hanya Rp700 ribu. Baginya, angka tersebut sangat tidak relevan bagi para guru honorer yang sudah berkeluarga dan punya anak. ”Upah per bulan itu di bawah satu juta, kalau saya pribadi Rp700 ribu. Kadang-kadang ada yang Rp500 ribu, ada yang Rp400 ribu. Pokoknya di bawah Rp1 juta. Kalau saya pribadi kan belum nikah, kebanyakan yang sudah nikah juga di bawah satu juta, sudah banyak,” beber Dwi. Ia menuturkan, bagi para guru honorer yang membutuhkan pemasukan lebih, terpaksa mencari cara untuk mendapat penghasilan tambahan. Dwi sendiri mengaku belum pernah mengikuti seleksi CPNS, terlebih pengangkatan guru honorer cukup sulit. ”Ketika saya S1, 2015, belum ada pengangkatan. Sampai sekarang belum ada pengangkatan lagi, maka saya sekarang ikut aksi ini. Saya juga nggak mau jadi guru honorer terus,” ujar Dwi. Hal senada diungkapkan guru honorer lainnya, Euis Mita, yang mengajar di SDN Dewi Sartika. Euis yang sejak gadis mengabdikan dirinya menjadi guru honorer mengaku bahwa penghasilannya sebulan hanya Rp700 ribu. ”Saya baru dua tahun ini naik gaji, sebelumnya hanya Rp500 ribu,” ujar Ibu rumah tangga tersebut. Perempuan lulusan S1 ini pun berharap agar pemerintah bisa memperhatikan kesejahteraan para guru honorer. Euis yang sudah mengabdi selama 17 tahun menjadi guru itu juga mengaku keinginannya menjadi guru karena ingin ilmu yang dimilikinya bisa bermanfaat. Namun, Euis pun memerlukan penghasilan untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Ia pun meminta pemerintah menunda sementara penerimaan CPNS dari jalur umum. ”Saya bingung, kok pemerintah kenapa? Saya lihat pemerintah tidak adil membuka tes CPNS umum, sedangkan kita yang sudah mengabdi bertahun-tahun dan belasan tahun tidak dianggap,” ungkapnya. Euis menjelaskan, di Kota Bohor sendiri kuota yang diberikan pemerintah kota untuk guru honorer hanya 18. ”Iya, dari jumlah 400 lebih guru honorer kategori 2, pemerintah hanya memberi kuota 18 untuk PNS. Sedangkan untuk umum diberikan kuota 135,” tandasnya. (tib/mam/run)