Senin, 22 Desember 2025

Berhenti Sekolah, Pilih Bulutangkis

- Rabu, 24 Oktober 2018 | 09:15 WIB

METROPOLITAN - Di usia 12 tahun, Lilyana Natsir meninggalkan bangku sekolah demi menekuni olahraga bulu­tangkis. Kini ia jadi salah satu pemain terbaik dunia yang dimiliki Indonesia. Jelang siang, di antara bunyi pukulan raket dan teriakan para pemain Pelatnas Bulutangkis yang tengah berlatih di Cipayung, Jakarta Timur, Lilyana Natsir baru saja menyu­dahi latihan fisik. Di luar hari libur, seperti itulah kegiatan sehari-hari Lilyana Natsir, salah seorang pemain ganda campuran terbaik dunia yang dimiliki Indonesia. Torehan pre­stasi Lilyana bersama pasangan­nya, Tantowi Ahmad, tak perlu diragukan lagi di dunia bulu­tangkis. Bahkan ia pernah men­jadi pemain terbaik dunia 2011 versi Federasi Bulutangkis Dunia, bersama enam pebulutangkis putri dunia lainnya pada Desem­ber 2011 lalu. Berawal dari halaman rumah­nya di Manado, Sulawesi Utara, ia mulai mengenal bulutangkis. Ia memang tumbuh dalam keluarga yang mencintai bulu­tangkis. Bersama kakak serta sang ibu, sejak sembilan tahun, Li­lyana kemudian belajar mengay­unkan raket. Melihat keseriusan putrinya, sang ibu, Olly Maramis, kemudian mendaftarkan Butet kecil itu ke klub bulutangkis se­tempat, PB Pisok Menado. Dalam perjalanannya, kalimat ‘anak ibu berbakat’ akhirnya dilontarkan sang pelatih kepada ibunya, melihat penampilan Lilyana kala itu. Sejak itulah hidupnya berubah total. Latihan dan latihan adalah kegiatan yang paling banyak menghiasai akti­vitas kesehariannya. “Tidak jarang setiap hari latihan,” kata Lilyana mengenang perjalanan hidupnya. Bisa ditebak, gabungan bakat dan latihan keras itu pada akhir­nya membuahkan prestasi. Pada sebuah kejuaraan di Manado, Lilyana menyumbangkan paling banyak medali emas untuk klub­nya. Jauh dari orang tua, pengalaman mandiri pada usia muda yang dilaluinya, kelak diakui Lilyana ikut membentuk karakternya dalam bertanding. “Di situlah yang bikin mental saya jadi kuat,” katanya. Lilyana membenarkan dirinya berhenti sekolah dan mengang­gap keputusan itu sebagai pilihan berat buat orang tuanya dan dirinya sendiri. “Tapi ya itulah, kayak banyak orang ngomong, nggak bisa dalam mengerjakan sesuatu kita jalan dua-duanya,” jelasnya. Ketika usia Lilyana 12 tahun, ia harus fokus ke salah satu. Tentu saja pilihan itu dibuat ber­dasarkan pertimbangan matang. Pertama, dia merujuk nilai olah­raga pada buku rapor sekolahnya. “Tidak hanya bulutangkis, basket, lari dan olahraga lainnya, semua nilainya sembilan,” ungkapnya. Setelah mengambil keputusan, keluarga besarnya tetap men­ghargai keputusan yang diambil Lilyana, walaupun menurutnya ada sebagian keluarga besarnya menyesalkan keputusan itu. “Sayang sekolah ditinggal, ba­gaimana masa depanmu,” kata­nya, menirukan suara-suara itu. Tetapi Lilyana bertekad seratus persen menekuni dunia bulutang­kis. Itu artinya dia harus berhenti sekolah. “Hidup itu pilihan. Jadi kita harus menerima risiko. Kita memilih di olahraga maka kita harus fokus. Kita harus benar-benar serius, apa pun hasilnya,” pungkasnya. (bb/mam/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X