METROPOLITAN - Di usia 12 tahun, Lilyana Natsir meninggalkan bangku sekolah demi menekuni olahraga bulutangkis. Kini ia jadi salah satu pemain terbaik dunia yang dimiliki Indonesia. Jelang siang, di antara bunyi pukulan raket dan teriakan para pemain Pelatnas Bulutangkis yang tengah berlatih di Cipayung, Jakarta Timur, Lilyana Natsir baru saja menyudahi latihan fisik. Di luar hari libur, seperti itulah kegiatan sehari-hari Lilyana Natsir, salah seorang pemain ganda campuran terbaik dunia yang dimiliki Indonesia. Torehan prestasi Lilyana bersama pasangannya, Tantowi Ahmad, tak perlu diragukan lagi di dunia bulutangkis. Bahkan ia pernah menjadi pemain terbaik dunia 2011 versi Federasi Bulutangkis Dunia, bersama enam pebulutangkis putri dunia lainnya pada Desember 2011 lalu. Berawal dari halaman rumahnya di Manado, Sulawesi Utara, ia mulai mengenal bulutangkis. Ia memang tumbuh dalam keluarga yang mencintai bulutangkis. Bersama kakak serta sang ibu, sejak sembilan tahun, Lilyana kemudian belajar mengayunkan raket. Melihat keseriusan putrinya, sang ibu, Olly Maramis, kemudian mendaftarkan Butet kecil itu ke klub bulutangkis setempat, PB Pisok Menado. Dalam perjalanannya, kalimat ‘anak ibu berbakat’ akhirnya dilontarkan sang pelatih kepada ibunya, melihat penampilan Lilyana kala itu. Sejak itulah hidupnya berubah total. Latihan dan latihan adalah kegiatan yang paling banyak menghiasai aktivitas kesehariannya. “Tidak jarang setiap hari latihan,” kata Lilyana mengenang perjalanan hidupnya. Bisa ditebak, gabungan bakat dan latihan keras itu pada akhirnya membuahkan prestasi. Pada sebuah kejuaraan di Manado, Lilyana menyumbangkan paling banyak medali emas untuk klubnya. Jauh dari orang tua, pengalaman mandiri pada usia muda yang dilaluinya, kelak diakui Lilyana ikut membentuk karakternya dalam bertanding. “Di situlah yang bikin mental saya jadi kuat,” katanya. Lilyana membenarkan dirinya berhenti sekolah dan menganggap keputusan itu sebagai pilihan berat buat orang tuanya dan dirinya sendiri. “Tapi ya itulah, kayak banyak orang ngomong, nggak bisa dalam mengerjakan sesuatu kita jalan dua-duanya,” jelasnya. Ketika usia Lilyana 12 tahun, ia harus fokus ke salah satu. Tentu saja pilihan itu dibuat berdasarkan pertimbangan matang. Pertama, dia merujuk nilai olahraga pada buku rapor sekolahnya. “Tidak hanya bulutangkis, basket, lari dan olahraga lainnya, semua nilainya sembilan,” ungkapnya. Setelah mengambil keputusan, keluarga besarnya tetap menghargai keputusan yang diambil Lilyana, walaupun menurutnya ada sebagian keluarga besarnya menyesalkan keputusan itu. “Sayang sekolah ditinggal, bagaimana masa depanmu,” katanya, menirukan suara-suara itu. Tetapi Lilyana bertekad seratus persen menekuni dunia bulutangkis. Itu artinya dia harus berhenti sekolah. “Hidup itu pilihan. Jadi kita harus menerima risiko. Kita memilih di olahraga maka kita harus fokus. Kita harus benar-benar serius, apa pun hasilnya,” pungkasnya. (bb/mam/run)