METROPOLITAN - Punya anak yang hobi main game online? Anda perlu waspada. Sebab, kini marak perekrutan bocah maniak game online (gamers, red). Mereka direkrut jadi hacker, peretas situs pemerintah. Anak-anak yang jago menaklukkan permainan akan dimasukkan ke sebuah grup WhatsApp ofisial Black Hat yang merupakan wadah melatih para hacker bocah gamers. Direktorat Siber Bareskrim Polri berhasil mengungkap kelompok hacker Black Hat yang meretas salah satu situs institusi pemerintah di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Empat pelaku berhasil ditangkap, di antaranya LYC alias Mr L4m4 (19), MSR alias G03J47 (14), JBKE alias Mr 4l0ne (16) dan HEC alias S3CD3C/DAKOCH4N (13). Mereka ditangkap di empat lokasi berbeda, meliputi Jambi, Cirebon, Mojokerto dan Surabaya. Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes (Pol) Rickynaldo Chairul mengatakan, para pelakunya merupakan anak-anak di bawah umur yang dilatih melakukan teknik peretasan (hacking, red) situs dengan metode defacing atau teknik mengubah halaman muka sebuah situs. “Pada Juni akhir sampai kemudian pertengahan Juli, salah satu instansi pemerintahan di Provinsi Sultra itu mengalami serangan hacking, yaitu menggunakan metode defacing setiap hari, setiap jam, secara masif,” kata Ricky. Ia pun membeberkan cara koordinator hacker Black Hat melihat kinerja anggotanya melakukan aksi peretasan di media sosial. Berdasarkan hasil penyidikan, anggota Black Hat memang dibekali pengetahuan agar bisa merusak sistem jaringan di sebuah situs, terutama milik pemerintah. ”Mereka dilatih dan kalau sudah pintar dites dengan maksud tertentu,” beber Ricky di gedung Dittipid Siber Bareskrim Polri, Jakarta Pusat, Jumat (9/11/2018). Untuk melihat kinerja anggotanya, Black Hat membuat akun grup WhatsApp. Nantinya, tutur Ricky, kinerja para peretas muda itu akan di-posting dalam grup WhatsApp tersebut. Posting-an itu akan menjadi pacuan untuk anggota lain. ”Mereka diberi target apabila berhasil menembus website tersebut, mereka harus upload di grup WhatsApp itu biar jadi pacuan buat orang yang di grup,” jelasnya. Kelompok yang beranggotakan anak-anak di bawah umur itu melakukan peretasan sejak Juli akhir sampai Juni tahun ini. Namun selama melakukan peretasan, mereka tidak mendapat bayaran sedikit pun. ”Mereka nggak ada yang dibayar. Hanya kebanggaan sendiri bisa meretas sebuah website,” tuturnya. Dari hasil penangkapan itu, polisi juga berhasil menyita sejumlah barang bukti, yaitu masing-masing satu unit handphone Lenovo A700A, ASUS Z00ED dan Samsung J1. Selain itu, turut disita satu unit laptop Toshiba, dua unit laptop Acer dan satu flasdisk Toshiba 8 GB. Ricky mengatakan, polisi masih melakukan penyelidikan terkait motif di balik aksi tersebut. Terlebih tampilan muka situs yang diretas diubah dengan gambar dan simbol yang mengarah ke radikalisme. Di antara gambar yang dipasang adalah bendera Palestina dan sosok gerakan radikal. “Hasil penyelidikan kami, Black Hat ini masih sebatas merekrut cyber troop. Dan kemudian melakukan bimbingan khusus, tutorial dan uji coba sampai sejauh mana kemampuan anakanak. Sedangkan apakah arahnya ini ke radikalisme, SARA atau politik, kami masih belum bisa memastikan,” ucap Ricky. Polisi juga masih melakukan penyelidikan seputar dalang di balik kelompok Black Hat ini. Di tempat yang sama, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto, mengingatkan agar para orang tua terus melakukan pemantauan terhadap anak-anaknya dalam pemanfaatan teknologi informatika. Menurutnya, kasus kejahatan cyber yang melibatkan anak mengalami kecenderungan meningkat belakangan ini. “Memang kalau dilihat tren kasuskasus terkini, anak-anak korban cyber dan pornografi itu trennya naik,” kata Susanto. September 2018, polisi langsung melacak keberadaan mereka melalui penelusuran di dunia maya. Dalam kasus ini, empat pelaku yang ditangkap di beberapa lokasi berbeda itu yakni LY, MRS, JBKE dan HEC. Tiga dari empat pelaku yang ditangkap dikenakan Undang-Undang Diversi karena berstatus anak-anak. Sedangkan tersangka berinisal LYC dikenakan pasal pidana karena usianya dikategorikan dewasa. Pelaku dikenakan Pasal 50 Jo Pasal 22 huruf B Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (de/feb/run)