Senin, 22 Desember 2025

Ramai Isu Koperasi Angkot Bubar

- Senin, 28 Januari 2019 | 09:40 WIB

METROPOLITAN - Masih ingat dengan pro­gram rerouting? Sejak dicanangkan pada 2017, program ini belum juga berjalan. Padahal, banyak pengusaha angkot yang sudah dip­aksa membentuk badan usaha berupa kope­rasi. Namun hingga 2019, tidak ada kepastian dari Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bogor kapan program itu akan dijalankan. Hingga muncul isu rencana kope­rasi angkot bubar.

Rerouting, program yang jadi andalan Pemerintah Kota (Pem­kot) Bogor dalam menata trans­portasi tak ada kejelasan. Ang­garan yang sedikit seolah dija­dikan kambing hitam atas mandeknya program ini. Kepala Seksi Angkutan Dalam Trayek Dishub Kota Bogor Ari Priyono mengatakan, Dishub Kota Bogor tidak didukung ang­garan dan subsidi dari pemkot guna menyiapkan kebutuhan infrastruktur atas berjalannya program rerouting. Berdasarkan hasil pertemuan dengan badan hukum dan or­ganda, telah disepakati metode leader di setiap Trans Pakuan Koridor (TPK) yang telah diben­tuk. Sehingga setiap badan hukum akan bertanggung jawab atas TPK-nya masing-masing. Se­perti Kopakta di TPK 2 dan 5, Kauber di TPK 3, Kodjari di TPK 4, Madani di TPK 6. Dari pembagian itu saja, jelas Ari, hanya TPK 4 yang sanggup melakukan konversi 3 banding 2. “Yang lain tidak menjalankan­nya,” kata Ari. Kondisi ini dipicu lantaran harga trayek angkutan yang sedang jatuh, pendapatan kecil dan harga jual angkot yang terbilang murah. Sementara harga minibus terlampau tinggi. Banyak pen­gusaha angkot yang gabung di koperasi tidak berani melakukan konversi. “Harga mobil minibus itu se­kitar Rp800 juta, sedangkan ka­lau dikonversi dengan skema 3 banding 1, berarti tiga angkot ditarik dan diganti dengan satu minibus. Sedangkan posisi har­ga satuan angkot sedang turun, hanya berkisar Rp70 juta sampai Rp80 juta. Tinggal dihitung saja kurangnya berapa untuk dapat satu minibus dengan ditukar tiga unit angkot,” jelasnya. “Dan pemkot juga tidak me­nyiapkan anggaran untuk sub­sidi konversi ini. Padahal sebelum rerouting dimulai, proses kon­versi ini harus juga berjalan,” beber Ari. Pada 2019, Ari mengaku hanya menerima sekitar Rp200 juta. Nominal tersebut nantinya bak­al diperuntukkan guna penga­wasan dan pengendalian program. “Kita hanya mendapatkan ang­garan untuk operasional saja, seperti makan dan minum untuk anggota pengamanan program, seperti TNI dan pihak kepolisian,” akunya. Tak heran, di tengah mandeknya program rerouting selama dua tahun, muncul keresahan di be­nak pengusaha angkot yang sudah telanjur gabung dengan koperasi. Seperti pengusaha angkot yang bergabung di TPK 4. Untuk di­ketahui, pada September 2018 ada 25 angkot modern yang di­siapkan untuk beroperasi di jalur TPK 4. Tetapi justru pengopera­siannya menuai polemik hingga operasional angkot modern yang menjadi bagian dari konversi angkot justru dihentikan. Informasi yang didapat Metro­politan dari internal Dishub, ada keinginan dari koperasi angkot melakukan pembubaran. “Ya memang ada yang bersurat ke kami untuk menarik diri dari korporasional di TPK 4,” kata sumber Metropolitan. Ketua Koperasi Angkutan Kota Kauber Kota Bogor Parid Wahdi tak banyak berkomentar soal adanya rencana penarikan diri pengusaha angkot dari kope­rasi. Namun, ia menyayangkan lemahnya penerapan program konversi angkutan umum yang sudah tertuang dalam Surat Ke­putusan (SK) Wali Kota sejak 2017. Terutama masalah 30 fider (trayek, red) dan tujuh koridor yang nantinya bakal dilalui ang­kutan umum tersebut. “Kalau program pemerintah harus disiapkan dana dan ang­garannya, kira-kira seperti itu. Infrastrukturnya harus dibenahi, lintasan trayeknya juga. Kalau dulu kan untuk Utara batasannya sampai Warungjambu, kalau sekarang batasnya Ciluar, Selatan batasnya Sukasari sekarang Ci­awi. Artinya ini sangat perlu untuk direalisasikan, harus ada ketegasan dan kepastian,” uca­panya. Seharunya pemerintah lebih mendahulukan trayek angkutan ketimbang mendahulukan kon­versi angkutan. Hal tersebut guna memperkenalkan kepada masyarakat, jalur perlintasan angkutan baru. Parid beserta rekan badan hukum lainnya mengaku hanya membutuhkan kepastian dan ketegasan pemerin­tah soal kebijakan program re­routing dan konversi angkutan umum tersebut. “Kami selaku badan hukum inginnya kepastian. Konversi sebenarnya bisa dilakukan bela­kangan, yang terpenting trayeknya saja dulu dijalankan. Jangan dulu diremajakan dari tiga ang­kot menjadi dua atau satu bus. Jadi mobil yang ada diberdayakan dulu. Trayek sudah berjalan, baru konversi biar masyarakat juga tahu jalur barunya,” ungkapnya. Kepala Bidang Angkutan Dishub Kota Bogor Jimmy Hutapea men­gatakan, memang hingga kini program tersebut belum bisa berjalan sesuai harapan. Kon­versi angkutan kota tiga angkot diubah menjadi satu minibus rupanya ditentang sejumlah kalangan, khususnya mereka yang bergelut dalam jasa ang­kutan. “Kita sudah coba beberapa kali tapi selalu terhambat ope­rasionalnya. Untuk 2019 ini kita sedang menunggu momen dan harus menyesuaikan dengan jadwal anggaran kita. Karena jika mengakomodasi dan melaks­anakan rerouting angkot ini ha­rus menggunakan anggaran yang cukup,” kata Jimmy saat dijumpai Metropolitan. Jimmy tak menjawab ketika disinggung soal adanya isu ko­perasi yang ingin bubar. Ia ber­dalih baru mendapati informa­si tersebut. “Kami malah belum dengar ya,” kata Jimmy. Namun, sejumlah koperasi angkot banyak yang menolak memberi keterangan tersebut. Termasuk Ketua Organda Kota Bogor Mochamad Ishack. “Soal koperasi yang pada mau bubar, saya kurang paham. Itu kan in­ternal mereka ya,” ujarnya. Namun, Ishack mengingatkan agar Pemkot Bogor tidak lengah atas mangkraknya program re­routing. Sebab, lambat laun kon­disi tanpa kepastian ini akan berdampak besar kepada para pengusaha yang bergerak di bi­dang jasa angkutan umum. “Saya juga aneh kepada pe­merintah, angkot itu diwajibkan berbadan hukum. Tapi jika ada permasalahan, pemerintah tidak memanggil badan hukum ter­kait, malah menyelesaikannya langsung secara individu. Kalau tidak melibatkan badan hukum dan hanya melibatkan pero­rangan, jadi seperti ini hasilnya,” keluhnya. Ishcak menjelaskan, saat ini harga angkot sedang terpuruk. Jika diprediksi harga satuan ang­kot jika dijual saat ini, tidak akan lebih dari Rp80 juta. Sedangkan untuk konversi, para pemilik angkot harus merelakan tiga angkotnya hilang demi sebuah minibus. Tak hanya itu, harga minibus yang mencapai Rp800 juta itu juga membuat para pe­milik angkot berpikir dua kali untuk mengikuti konversi ang­kutannya. “Kalau satu angkot dihitung Rp80 juta, pemilik harus men­jual tiga angkotnya. Mereka ha­nya mendapatkan Rp240 juta. Sedangkan harga minibus Rp800 juta, berarti mereka harus mengeluarkan sekitar Rp560 juta demi mengikuti konversi angkutan umum,” paparnya. Ishack berharap pemerintah lebih tegas dalam menerapkan satu kebijakan. TPK 4 harus bisa menjadi contoh untuk realisasi program rerouting dan konversi angkutan umum ke depannya. Jangan sampai kegagalan TPK 4 kembali terulang. Sebab jika satu TPK gagal, dipastikan semuanya akan mengalami hal sama. “TPK 4 itu sudah gagal. Kalau gagal satu, gagal semua. Yang perlu ditanyakan, pemerintah menga­dakan program ini serius atau hanya pencitraan dan formalitas saja,” tutupnya.

(ogi/d/feb/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X