METROPOLITAN - Sepekan ini, masyarakat disuguhkan dengan informasi seputar pengoperasian moda transportasi massal yang digagas Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Apalagi jika bukan Moda Raya Terpadu (MRT).
Proyek yang dirancang sejak 2011 itu akhirnya baru terealisasi tahun ini. Adalah PT MRT Jakarta, perusahaan pelat merah yang sengaja didirikan pada 2008 untuk merealisasikan megaproyek transportasi massal di ibu kota hingga harus mengajukan pinjaman fantastis. Mayoritas sahamnya dikuasai Pemprov DKI Jakarta, dengan struktur kepemilikan Pemprov 99,998 persen dan PD Pasar Jaya 0,02 persen. Dikutip dari laman website resmi PT MRT Jakarta, www. jakartamrt.co.id, sesuai Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan BUMD PT MRT Jakarta, kewajiban perusahaan pelat merah itu tak selesai sampai pembangunan sarana dan prasarana saja atau sekadar mengoperasikannya. Sebab sebagai BUMD, PT MRT Jakarta juga dituntut melakukan pengembangan dan pengelolaan properti atau bisnis di stasiun dan kawasan sekitarnya, serta Depo dan kawasan sekitarnya. Modal yang diberikan Pemprov DKI Jakarta tetap harus dikembalikan. Biaya pembangunan yang menghabiskan triliunan rupiah itu harus pula balik modal sehingga keberadaannya tidak terus-menerus menjadi beban dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Dearah (APBD) DKI Jakarta. Sebab, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi menyatakan untuk pengoperasian MRT, Pemprov DKI Jakarta harus mengelurkan subsidi tarif tiket hingga Rp572 miliar. Sebuah angka fantastis demi mengubah pola atau gaya hidup masyarakat agar beralih menggunakan transportasi publik. Beban subsidi itu tetap harus ditebus pengelola MRT agar keberadaannya betul-betul memberikan manfaat juga menghasilkan. Bukan justru menggerogoti APBD DKI Jakarta seperti yang terjadi di Kota Bogor, di mana perusahaan pelat merah yang mulanya bisa menjalankan roda bisnis justru menjadi beban pemerintah daerah hingga akhirnya bangkrut. Sementara itu, niat mulia Wali Kota Bogor Bima Arya menata transportasi pun di periode kedua ini belum terlihat. Mulai dari rerouting yang mandek, konversi angkot yang tak jelas nasibnya sampai pengoperasian bus TransPakuan yang jalan di tempat. Pengoperasian MRT Jakarta seharusnya bisa jadi momentum sekaligus pemantik bagi Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor untuk tak kalah saing dalam mewujudkan moda transportasi massal yang betul-betul dibutuhkan warganya.(*)