Senin, 22 Desember 2025

Jonggol Not For Sale (1)

- Senin, 8 April 2019 | 07:14 WIB

METROPOLITAN - Setiap menjelang pemilihan presiden (pilpres), salah satu isu panas yang selalu “digoreng” adalah sentimen anti asing. Gejala “xenophobia” ini pada umumnya terkait dengan penguasaan sumber daya alam Indonesia. Seperti baru-baru ini Tiba-tiba saja muncul informasi wilayah Jonggol akan “dijual” ke Republik Rakyat China (RRC). Sejumlah media memberitakannya. Termasuk pula di media sosial. Padahal belum ada yang jelas. Informasinya mendekati hoaks. Informasi tersebut berawal dari wacana pemerintah pusat, dalam hal ini Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI yang ingin membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) bekerja sama dengan Tiongkok. Informasi itu mencuat sementara saya sendiri belum tahu apa-apa. Sikap saya sendiri sebagai kepala pemerintahan di Kabupaten Bogor sangat jelas. Saya tidak alergi dengan investasi. Malah saya membuka “karpet hijau”. Investasi adalah sebuah keniscayaan yang harus didukung untuk menggerakan roda ekonomi. Asal sesuai aturan dan tidak melanggar. Namun makna “investasi” beda jauh dengan “dijual”. Jonggol “Not For Sale”. Apalagi untuk orang asing. Dan memang orang asing tidak diperkenankan untuk memiliki tanah. Itu ada aturan mainnya di negara ini. Kalaupun ada itu berupa investasi. Negara asing diperkenankan untuk menanamkan modalnya. Di Jonggol. Di Kabupaten Bogor. Dan bahkan di Indonesia. Semua ada aturannya. Tidak sembarangan. Yang jelas tidak boleh merugikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kembali lagi soal investasi asing. Data membuktikan justru sebaliknya. Catatan sejumlah pakar ekonom menyatakan “sentuhan” asing di Indonesia sebenarnya sangat kecil. Investasi di Indonesia tidak pernah didominasi oleh asing. Penanaman modal langsung oleh asing (direct foreign investment) hanya sekitar 5 persen dari keseluruhan pembentukan modal tetap bruto (gross fixed capital formation/GFCF). Bandingkan dengan Malaysia yang FDI terhadap GFCF-nya sekitar tiga kali lipat Indonesia. Kemudian Vietnam–yang notabene negara Komunis–empat kali lipat Indonesia pada periode 2011-2016. Filipina yang juga relatif kurang diminati asing pun lebih besar dari Indonesia. Peranan asing dalam pembentukan modal tetap bruto Indonesia berada di bawah rerata Asia. Bahkan terhadap Bolivia yang di bawah rezim sosialis pimpinan Presiden Juan Evo Morales Ayma, Indonesia tetap jauh lebih rendah (Faisal Basri, 2018). Oleh karena itu, Indonesia ini justru kurang sentuhan asing. Masih sangat sedikit investor asing yang ingin membuat pabriknya di Indonesia. Ini mungkin akibat gembar-gembor “gorengan” tadi. Sentimen anti asing yang selalu marak jelang kampanye presiden. Hal ini mengakibatkan investor asing berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Padahal investasi asing sangat dibutuhkan untuk kemajuan bangsa ini. Sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak di negara manapun. (*)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X