METROPOLITAN - Kasus pencabulan yang dilakukan predator seks Pamijahan, SP (31), memasuki babak baru. Korban pencabulan akhirnya mau melakukan visum untuk proses penindakan lebih lanjut, meski sang korban sempat mengalami ketakutan saat menjalani visum di RSUD Cibinong, kemarin.
Raut wajah bahagia terpancar dari Tim Kuasa Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) GP Ansor yang mendampingi DN (12) melakukan visum. R Anggi Triana Ismail yang mewakili LBH GP Ansor menceritakan bahwa DN sempat takut awalnya saat ingin melakukan visum. “Alhamdulillah lancar, tapi sempat tidak mau karena takut dan malu. Tapi setelah dibujuk, akhirnya dia mau juga,” katanya.
Menurutnya, nantinya hasil visum yang akan keluar dalam 14 hari waktu kerja akan menjadi salah satu alat bukti yang dibutuhkan pihak kepolisian untuk bisa menahan pelaku. Sebab, sampai saat ini pelaku masih berkeliaran. Sedangkan satu alat bukti lagi yang dibutuhkan adalah keterangan dari saksi ahli, di mana dalam hal ini adalah Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Bogor.
“Memang hari ini baru satu orang yang divisum, kita juga masih menunggu arahan dari penyidik. Kalau dari pandangan hukum, satu saja sudah cukup,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Bogor Iptu Irine Karina membenarkan bahwa untuk menahan seorang pelaku dibutuhkan dua alat bukti yang kuat. Sebab, sejauh ini prosesnya masih dalam tahap pelaporan dan penyelidikan. Sedangkan untuk korban yang sudah melaporkan ke pihak kepolisian dan permintaan keterangan, baru dua orang. “Saat pelaporan nantinya akan kita lidik untuk saksi dan bukti. Jika sudah ada dua alat bukti, nantinya baru kita naikkan ke penyidikan. Setelah itu baru bisa penahanan,” katanya.
Di sisi lain, aksi bejat SP mencabuli 15 bocah dinilai masuk kategori hypersex atau lebih tepatnya mengalami kelainan dalam seks. Hal itu diungkapkan psikolog Artiawati. “Ini bukan hal aneh lagi ya, karena faktor penyebab munculnya fenomena predator itu banyak sekali. Mungkin salah satunya adalah dari keluarga dan lingkungan,” katanya kepada Metropolitan, kemarin.
Tersangka yang sudah memiliki istri dan dua anak itu nyatanya masih saja mencoba melampiaskan nafsu bejatnya kepada orang lain, bahkan kepada keponakannya sendiri. Dan mungkin saja faktor rumah tangga menjadi penyebabnya. “Kalau sudah beristri kan seharusnya dia sudah bisa menyalurkan nafsunya ya. Jika seperti ini, bisa saja dia tidak terpuaskan sehingga dia melampiaskan kepada yang lain,” ucapnya.
Namun, sambungnya, perilaku terduga tersangka yang memang sudah dikategorikan sebagai predator itu bisa saja dipicu dari dirinya yang dulunya adalah korban. Sebab, siklus kejahatan pencabulan seperti itu. Atau bisa saja ia terpengaruh lingkungan yang mengekang dirinya. Sehingga setelah merasakan sensasi seks, ia tidak dapat mengontrol dirinya.
“Ini adalah salah satu bentuk lost control ya, atau tidak dapat mengontrol nafsunya. Ini kembali lagi ya kepada edukasi seks yang masih minim di Indonesia,” imbuhnya.
Artiawati melanjutkan, kejahatan pelecehan seksual memang rata-rata dilakukan kepada orang yang dekat. Sebab, tersangka pasti merasa sudah hafal dengan tingkah laku si korban dan dapat lebih mudah mengancam korban karena kedekatannya. Sehingga untuk dilakukan pencegahan agar tidak terjadi hal seperti ini, masyarakat harus diajarkan untuk bersuara.
“Ini kan diawali dari si korban yang tidak mau bersuara ya. Memang edukasi tentang seks di Indonesia ini masih kurang, sehingga jika dibiarkan nantinya akan muncul lagi pelaku yang lain yang dulunya merupakan victim (korban, red),” ujarnya. (cr2/c/rez/run)