METROPOLITAN - Revisi Undang Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Revisi aturan itu diduga dapat melemahkan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat ini sedang giat menangkap para koruptor.
Beragam penolakan dari sejumlah kalangan pun terus disuarakan. Mulai dari warga biasa, aktivis kepemudaan, begitu juga dengan mantan Ketua KPK Abraham Samad. Ia menilai terdapat kejanggalan dalam beberapa poin yang termaktub dalam draf revisi UU KPK. “Pada intinya kita menolak bukan berarti kita ingin menguatkan KPK secara kelembagaan. Tapi kita menolak karena kita melihat draf dari isi revisi undang-undang itu mengandung kelemahan kelemahan dari setiap agenda dan upaya pemberantasan korupsi,” katanya saat menghadiri acara Obsesi di Gedung Graha Pena, Radar Bogor, kemarin.
Ia juga menilai bahwa revisi yang dilakukan itu kurang tepat. Mengingat aturan yang lama hingga kini masih relevan dan cocok digunakan. “Kita juga paham dan sependapat jika suatu saat nanti UU KPK sudah tidak relevan dengan konteks kekinian dan sudah tidak bisa diandalkan, maka tidak ada alasan juga untuk tidak mengubah atau merevisi UU KPK,” bebernya.
Pihaknya juga sudah mengamati bahwa draf dari revisi undang-undang itu dirasa tidak tepat. Sementara undangundang yang lama masih sangat relevan dalam mengatasi pemberantasan korupsi saat ini. Status KPK sebagai lembaga independen yang kemudian diubah menjadi lembaga yang bernaung di bawah eksekutif hingga pembentukan dewan pengawasan, adalah sejumlah poin kecil kejanggalan yang tertulis dalam draf revisi aturan KPK.
“Revisi ini mengancam agenda pemberantasan korupsi, karena secara langsung KPK dilemahkan. Semoga saja nanti pada akhirnya presiden tidak melanjutkan atau membatalkan. Kita tunggu saja keputusan presiden nanti. Walaupun Pak Presiden sudah mengirimkan surat untuk setuju membahas, tapi masih ada kemungkinan Pak Presiden bisa tidak menyetujui ini,” harapnya.
Sementara itu, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menilai korupsi adalah tindakan luar biasa. Karena itu perlu diatasi dengan langkah yang luar biasa pula. Ditambah lagi dengan maraknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang dilakukannya selama ini. “Artinya harus ada yang evaluasi bersama. Proses dan mekanisme pemberantasan korupsi yang harus kita evaluasi. Tapi tidak degan revisi UU KPK, belum tentu juga. Saya meyakini kejahatan luar biasa tentu harus diberantas dengan cara yang luar biasa juga. KPK justru harus dikuatkan, bukan malah dilemahkan,” ujarnya.
Orang nomor satu di Kota Hujan itu juga mengaku keberatan jika status KPK harus berubah, yang semula berdiri sendiri menjadi harus bergabung di bawah eksekutif. “Tentu saya tidak setuju jika KPK berada di bawah lembaga eksekutif, sama saja dengan lembaga yang lainnya. Di mana nilai independensinya? Tentu kita harus tolak soal revisi aturan atas status kedudukan KPK yang akan diubah ini,” tegasnya.
Dalam revisi itu juga diterangkan tentang mekanisme penyadapan yang kerap dilakukan petugas KPK saat menjalankan tugasnya. Bima mengaku heran kenapa hal tersebut masih saja ditakuti dan diperdebatkan. Ia juga tak habis pikir jika permasalahan ini masuk draf revisi aturan KPK. “Soal penyadapan, sekarang yang jadi pertanyaannya, takut banget sih disadap. Kalau kita tidak salah kenapa harus takut. Jadi kenapa mesti permasalahan penyadapan dipersoalkan. Yang disadap tentu adalah orang-orang yang bajingan dan yang benarbenar koruptor. Kalau menurut saya, penyadapan tentu perlu dilakukan. Karena penyadapan tidak akan dilaksanakan KPK kalau tidak kepada orang yang terlibat dan tersangka dalam satu kasus,” tegasnya. (ogi/b/ mam/run)