METROPOLITAN - Perjuangan RA Kartini mewujudkan emansipasi perempuan membuahkan hasil maksimal hingga saat ini. Ya, seperti Kapten Entin Kartini (71). Ia didapuk sebagai nakhoda perempuan pertama Indonesia dengan latar belakang Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) atau Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP). Tak mudah mengubah pandangan orang terhadap perempuan yang meniti karier di bidang yang biasanya sangat 'lelaki'. Anggapan miring pun bisa muncul, mulai dari melabrak kodrat, mengancam kelanggengan keluarga dan berbulan-bulan bergelut dengan awak kapal yang hampir, bahkan semuanya adalah kaum Adam. “Kalau meminjam istilah pelayaran, lelaki selalu di haluan, perempuan berkecenderungan di buritan,” katanya. Namun Entin Kartini memecah mitos itu. Perempuan juga bisa di haluan, maju meninggalkan buritan. Kendati tak menampik anggapan umum masyarakat, ibu tiga anak yang sudah menjadi nakhoda puluhan tahun itu tak terlalu mempersoalkannya. Jejaknya berawal ketika lulus AIP, yang kini dikenal sebagai STIP, pada 1970. Kerja sebagai nakhoda pun dimulai. Meski sempat terhambat karena menikah dan kemudian mengandung, itu tak membuatnya berhenti berharap. Pekerjaan yang ditekuninya tak hanya harus menguasai teori, tetapi juga mahir berpraktik, tak lain di lautan. Tak serta-merta selesai pendidikan lalu didapuk sebagai nakhoda. “Itu baru fase lulus tahap MPB (Mualim Pelayaran Besar) IV. Supaya afdol, ditambah dua tahun berlayar untuk mendapatkan sertifikat MPB II. Nah, baru dibilang seorang nakhoda jika sudah melewati dua tahun pelayaran untuk memeroleh MPB I atau setingkat strata 2,” ujarnya. Ia bersyukur. Selain dirinya, ada seorang perempuan lagi yang berhasil lulus seangkatan. Namun, yang meneruskan karier sebagai pelaut hanya Entin. Rekannya kemudian beralih profesi di sebuah perusahaan minyak nasional. Lalu bagaimana bukan sebuah kebanggaan, setelah angkatannya, Akademi Maritim Indonesia (AMI) Jakarta, yang kini beralih nama menjadi Sekolah Tinggi Maritim Indonesia (STMI), itu sempat tak menerima taruna perempuan untuk jurusan nautika yang diarahkan sebagai nakhoda. Akhirnya, hanya Entin seorang yang tangguh menempuh pengalaman di dunia pelayaran. Bukan kebanggaan besar jika setiap pelayar pernah Mandi Khatulistiwa, kala menyeberangi wilayah garis khatulistiwa lintang nol derajat yang diambil dari tradisi Yunani itu, seraya menumbuhkan semangat bahari. Bukan pula karena ia harus menyadari betapa sulitnya rintangan dan risiko yang mesti dihadapi di laut. Keunggulan Entin ada pada niatnya. Setelah lulus AIP, di kapal Tampomas, ia menjadi mualim tiga termuda. Lebih khusus lagi mualim perempuan termuda. Mulai dari kapal barang kecil beralih ke kapal barang besar, hingga akhirnya diperkenankan membawa kapal besar. “Nggak ujuk-ujuk bisa,” katanya dengan logat Sunda. Tak hanya mampu membuang sauh di kepulauan Nusantara, Entin juga pernah dipercayakan membawa kapal penumpang kesepuluh yang dipesan pemerintah Indonesia dari galangan kapal L Meyer, Papenburg, Jerman. Itu peluang emas. Ceritanya sekitar 1989, ia diposisikan di bagian personalis PT Pelni. Sesekali jika ada nakhoda berhalangan, Entin yang menggantikan. Saat bertemu Habibie, Menristek saat itu, dia ditanya, “Kamu masih bisa bawa kapal, siap bawa kapal kesepuluh dari Jerman?” Entin mengiyakan. Kapal yang dimaksud ialah KM Awu, kapal bertipe penumpang. Meski KM Awu bukan satu-satunya pesanan Indonesia dari Jerman, tetapi itu bersejarah bagi Entin sebagai mualimnya. Bahkan sebelum KM Awu selesai dirakit, ia sudah melepaskan jangkar kapal selama enam bulan. Saat Habibie menawarinya dan Azwar Anas selaku Menhub saat itu mengizinkannya, Entin menghargainya sebagai 'tugas khusus' bukan 'pengganti'. (mw/mam/run)