METROPOLITAN - Jagat media sosial akhir-akhir ini diramaikan dengan penggalan lirik lagu “Entah apa yang merasukimu hingga kau tega menghianatiku yang tulus mencintaimu”. Ya, lagu milik band Ilir 7 dengan judul ’Salah Apa Aku’. Itu kini banyak dinyanyikan. Melalui aplikasi TikTok, lagu bernuansa pop itu kini berubah menjadi remix dan menjadi backsound para pengguna aplikasi TikTok untuk bergaya. Bukan anak-anak, pelajar atau mahasiswa. Pengguna aplikasi TikTok ini rupanya dari berbagai kalangan. Salah satunya pejabat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bogor yang ikut menggunakannya. Dengan berseragam dinas, empat Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kota Bogor itu asyik berjoget. Selain PNS, beberapa waktu lalu juga ada salah seorang wisudawan yang ikut berjoget ala TikTok sebelum menerima ijazah dari sang rektor. Sontak video tersebut pun viral di berbagai media sosial. Berkaca pada fenomena yang terjadi saat ini, Pakar Psikolog Aully Grashinta menilai orang yang sudah masuk kategori candu atau kategori internet addiction behaviour, seperti game atau aplikasi media sosial lainnya, di mana saat ia tidak menyentuh itu, ia merasa gelisah bahkan cenderung candu dan merasa ketakutan dan kerugian yang besar. “Ini tentu merupakan salah satu kelainan,” katanya kepada Metropolitan. Fenomena yang terjadi di tengah masyarakat, menurut Aully, banyak orang yang ketergantungan terhadap gawai hingga media sosial. Itu bisa dikategorikan sebagai pengidap Nomophobia atau suatu sindrom ketakutan jika tidak memegang gawai. Sindrom tersebut dapat menyerang siapa saja dan dari mana saja. Melihat dari kasus yang banyak terjadi, intinya ketergantungan masyarakat akan gawai maupun media sosial adalah suatu bentuk penyampaian ekspresi. Hal itu merupakan hal wajar. Namun tidak wajar ketika hal itu dilakukan secara berlebih. “Intinya mereka membutuhkan media ekspresi, di mana dia bisa menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya, ingin mendapat perhatian dari lingkungan. Tidak wajar kalau berlebihan,” paparnya. Digunakannya TikTok sebagai sarana anak dan remaja untuk berekspresi menjadikannya populer di Indonesia. Tetapi penggunaan TikTok juga berdampak psikologis. ”Kalau secara psikologis efeknya macam-macam, walau tidak sama di setiap anak,” sambung Aully. Karakteristik pengguna TikTok perlu dikaji sebelum menilai dampak TikTok terhadap psikologis mereka. Misalnya apakah mereka menggunakan TikTok karena senang mendapat perhatian atau sekadar sarana berekspresi. Sementara itu, Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan Primer dan Tradisional pada Dinas Kesehatan Armein menjelaskan, pada hakikatnya ketika seseorang merasa nyaman dengan sesuatu, dipastikan akan berujung pada ketergantungan dan menjadi kebutuhan. Sama halnya dengan media sosial. Salah satu aplikasi ternama seperti TikTok contohnya. Sejak aplikasi tersebut diluncurkan pada September 2016 silam, hingga kini aplikasi tersebut menjadi primadona di masyarakat. Aplikasi yang membolehkan para pemakai membuat video musik pendek mereka sendiri dengan beragam versi itu banyak dimainkan para remaja hingga dewasa. Tak jarang banyak masyarakat yang berlomba-lomba membuat konten semenarik mungkin untuk dipamerkan kepada orang lain. Hal itu juga yang membuat sejumlah pengguna menjadi candu dan gelisah jika tidak memainkan atau membuat konten TikTok dalam kurun waktu tertentu. Meski memicu ketergantungan bagi penggunanya, namun perlu dilakukan pendalaman terlebih dahulu kepada pemakai, sampai di mana tingkat ketergantungannya itu. “Kita harus pastikan dulu sampai di mana ketergantungan itu, baru kita bisa pastikan bahwa itu adalah gangguan jiwa. Kalau dia sudah sampai pada titik terobsesi, lupa waktu dan terlalu sibuk dengan hal itu, bisa juga mengarah kepada gangguan jiwa,” tuturnya. Sejatinya yang menjadikan aplikasi tersebut ramai digunakan masyarakat lantaran ciri khas warga Indonesia sendiri yang menjadikan media sosial sebagai tempat berekspresi. Selain itu, media sosial juga kerap digunakan sebagai tempat memamerkan sesuatu kepada khalayak umum. Tak jarang mereka yang menggunakan TikTok dengan alasan ingin coba-coba dan mencari tahu atau mungkin ingin melampiaskan waktu luangnya. Ketergantuan pada media sosial secara berlebih bisa juga menimbulkan kelainan kejiwaan seperti psikoneurosis. Yang bisa diartikan merujuk pada ketidakseimbangan mental sesorang yang menyebabkan stres, yang dapat berakibat pada kelainan kepribadian. “Alasan pertama mungkin ingin melepas penat dan mencari hal baru atau coba. Tapi ketika dia sudah mulai candu, mungkin dia akan sampai pada titik neurosa yang bisa masuk dalam kategori gangguan jiwa,” ujarnya. Penggunaan gawai berlebih juga sangat memungkinkan mengarah kepada gangguan jiwa lainnya. Seperti Psikosis atau gangguan mental, yang menyebabkan ketidakmampuan seseorang menilai realita dengan fantasi. Atau Skizofrenia, gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang. Gangguan ini menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi atau waham, kekacauan berpikir dan perubahan perilaku. “Sangat mungkin terkena gangguan jiwa,” tegasnya. Dampak terparahnya, sambung Armein, bisa juga mengalami seperti Bipolar atau gangguan mental yang menyerang kondisi psikis seseorang, yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat ekstrem berupa depresi. Hingga fase Paranoid atau gangguan mental yang diderita seseorang yang meyakini bahwa orang lain ingin membahayakan dirinya. Dikatakan sebagai bentuk gangguan bila perilaku tersebut sifatnya irasional, menetap, mengganggu dan membuat stres. Terpisah, Pegiat Media Sosial Putri Septiani mengungkapkan kehadiran sejumlah aplikasi seperti TikTok dan Instagram menjadi tempat untuk menunjukkan eksistensi. Namun belakangan, menurut wanita yang akrab disapa Putri itu, aplikasi TikTok malah jadi ajang hiburan dengan berbagai gaya dan lagu yang kerap diberi sentuhan remix. “Awalnya nggak begitu, banyak lagu lebih pop dan melow, tapi sekarang malah kebanyakan remix dan menjadi bercandaan,” ungkapnya. (ogi/c/mam/run)