METROPOLITAN - Menjadi pengusaha sukses memang harus punya pemikiran out of the box. Di saat warga yang lainnya berbondong-bondong menjadi petani rumput laut, Hardi (38) memilih mengembangkannya ke model bisnis lain. Namun, keputusannya menjadi seorang pengusaha bisnis camilan itu tak lepas dari getirnya kehidupan yang ia jalani. Hardi bercerita saat pertama kali menginjakkan kakinya di Nunukan pada 2001, ia benar-benar datang dengan modal seadanya. Bahkan kerja serabutan pun ia jabani. Ia menuturkan, tahun pertama tinggal di Nunukan, Kalimantan Utara, tepatnya pada 2002, ia pernah merasakan pahitnya menjadi kuli bangunan yang hanya digaji Rp20 ribu per hari. Memiliki mental yang pantang menyerah, ia pun mencoba peruntungan menjadi sopir ekspedisi di salah satu perusahaan cabang Unilever. "Setelah dari kuli bangunan, saya ikut teman jadi sopir. Saya mengajukan kerja di situ, ternyata gajinya lebih kecil dari kuli bangunan, Rp450 ribu per bulan. Artinya kan Rp15 ribu per hari. Tetapi saya ingin pengalaman di situ. Jadi waktu di-interview, saya nggak bilang gaji saya sesuai kemampuan saya. Maka itu saya ingin pengalaman dari pekerjaan ini," jelasnya. Tujuan awal untuk mencari pengalaman dan mendapatkan ilmu baru pun terus ia lakukan. Setelah dua tahun bekerja sebagai sopir, ia pun memutuskan mengundurkan diri begitu merasa sudah punya pengalaman yang cukup. "Kemudian saya memutuskan untuk freelance. Akhirnya saya jualan sabun, kosmetik. Barangnya dari Surabaya," tuturnya. Titik balik kehidupan Hardi pun akhirnya mulai menemukan jalan. Ini berawal dari kunjungannya ke Dusun Mamolo, Kelurahan Tanjungharapan, Kecamatan Nunukan Selatan. Di Dusun Mamolo, terdapat budi daya rumput laut yang terus berkembang bisnisnya. Hardi pun berpikir amat disayangkan apabila rumput laut yang subur tumbuh di perairan Nunukan hanya dijual mentah. "Waktu saya datang ke Mamolo kok rasa-rasanya sayang sekali kalau produk ini hanya dijual mentah-mentah," tutur Hardi. Perasaan itu pun terus mengusik dirinya, sebab budi daya rumput laut di desa ini memang sangat berkembang. "Jadi sayang sekali kalau tidak dibuat produk turunannya," lanjutnya. Saat itu, Hardi tidak muluk-muluk. Bermodalkan uang sebesar Rp300 ribu untuk membeli bahan-bahan racikan olahan. Dengan dibantu istrinya, Muntini (34), pada 2014, Hardi pun memulai bisnis Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Karima. Tahun pertama adalah tahun terberat bagi Hardi dan sang istri. Sebab, tahun-tahun tersebut merupakan tahun investasi bagi Hardi. "Tahun pertama untuk investasi, tahun kedua baru bisa ambil untung," jelasnya. Ia pun harus jatuh bangun untuk membangun bisnisnya. Ketika sedang berat-beratnya memulai usaha, jalan terang pun datang satu per satu. Tepatnya pada 2017, usaha Hardi mulai dilirik pemerintah daerah. Ia mendapatkan bantuan pengadaan mesin pengadon, mesin pengiris hingga mesin packaging. Hardi mengaku jika membeli dengan uang sendiri, harga mesinnya ada di kisaran Rp3 juta sampai Rp10 juta. Tidak terlalu sulit bagi Hardi jika sudah menemukan ciri khas produknya. Ia terus melakukan inovasi produk camilannya ke macam-macam jenis. Di antaranya menjadi amplang atau pilus rasa rumput laut, keripik tempe rumput laut serta camilan berbahan rumput laut dan terigu yang gurih dan renyah. Tiap bulannya Hardi harus membeli sebanyak 50 kilogram hingga 100 kilogram rumput laut per bulan yang menghasilkan sebanyak 4.000 sampai 5.000 bungkus camilan. Harga jualnya pun bervariasi, mulai dari Rp12 ribu hingga Rp15 ribu untuk ukuran 50 gram dan 60 gram. Usaha dan pil pahit yang ia telan akhirnya berbuah manis. Hardi mengaku saat ini omzet yang diperoleh dari usahanya bersama sang istri bisa mencapai Rp20 juta sampai Rp30 juta per bulannya. “Omzet sekarang sudah mencapai Rp20 juta sampai Rp30 juta per bulan. Harga rumput laut kering saat ini Rp35.000 per kilogramnya," tandasnya. (dtk/mam/run)