METROPOLITAN - Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor rupanya berdampak pada ekonomi masyarakat. Meski bantuan terus dikucurkan pemerintah, masih ada saja warga yang pura-pura miskin hanya untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Bantuan yang disuguhkan pemerintah pun memiliki beragam nama, mulai dari Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Bantuan Sosial Presiden, Kartu Prakerja, Bantuan Sosial Provinsi, Bantuan Dana Desa dan Bantuan Sosial Kota/Kabupaten. Namun dalam setiap bantuan yang digulirkan pemerintah itu, nyatanya pemerintah tidak melihat latar belakang profesi si penerima bantuan. Sehingga banyak orang yang pura-pura miskin untuk mendapatkan bantuan. ”Jangan semuanya tiba-tiba mengaku miskin, jangan. Jadi walau dalam waktu yang susah, jangan mau dikategorikan orang miskin. Kita harus punya harga diri. Kita harus tetap berusaha, tawakal dan jangan mau kita dianggap sebagai orang miskin. Kita harus berusaha untuk tidak menjadi orang miskin, dan berusaha membantu agar orang miskin bisa diprioritaskan,” katanya. Dedie juga meminta warganya agar tidak mengaku sebagai warga miskin, demi mendapatkan bantuan dari pemerintah. Menurutnya, dalam kondisi sulit seharusnya masyarakat tak melakukan hal tersebut agar bantuan dari pemerintah benar-benar sampai kepada masyarakat yang memang membutuhkan. Di Kota Bogor sendiri ada dua data penerima bantuan sosial, yakni dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan non-DTKS. DTKS artinya data kemiskinan yang ada di Kota Bogor yang memang sudah ada dalam sistem Kementerian Sosial (Kemensos) dengan jumlah KK miskin 71.111 yang dibantu dari APBN, melalui PKH dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) atau sembako. ”Untuk teman-teman semua, saya doakan uangnya banyak, rezekinya melimpah, sehat, dijauhkan dari bencana, sakit. Dan semoga kita bisa melewati semua ini agar kita bisa beraktivitas normal,” ujarnya. Selain itu, dalam pelaksanaan PSBB yang dilakukan sejak Rabu (15/4), belum menunjukkan hasil yang signifikan. Bahkan masih banyak warga yang cuek menanggapinya. Dedie juga menilai selama diberlakukannya PSBB empat hari silam, ada tiga poin pokok yang dinilai perlu menjadi catatan. Seperti masih kurangnya kesehatan masyarakat dalam menggunakan masker saat beraktivitas di luar rumah. ”Pelaksanaan PSBB ini masih banyak yang harus kita evaluasi, khususnya soal ketidaktahuan dan ketidakpedulian masyarakat soal penggunaan masker. Soalnya banyak sekali yang kami temukan di lapangan, masyarakat yang masih minim menggunakan masker,” katanya. Tak hanya masker, sejumlah pengusaha, pedagang dan kegiatan ekonomi lainnya, juga masih melakukan kegiatannya seperti hari biasa. Selain masih banyak bidang-bidang yang masih melakukan aktivitas, padahal bidang itu tidak masuk pengecualian PSBB. Seperti kegiatan transportasi dan jasa angkutan umum yang masih melakukan operasionalnya di luar ketentuan yang sudah ditetapkan. ”Masih banyak angkutan umum yang masih menarik penumpang lebih dari 50 persen, padahal ketetapannya 50 persen saja. Untuk itu, kami juga akan evaluasi beberapa lokasi check point yang memang dirasa kurang tepat kita ada check point di sana. Untuk satu dan dua hari ke depan, kita akan lakukan evaluasi ini,” ungkapnya. Kegagalan PSBB karena tidak Ada Ketegasan Pelaksanaan PSBB masih belum maksimal, bahkan bisa dikatakan sia-sia karena tidak ada sanksi tegas dari pemerintah. Pengamat Kkebijakan publik, Sofyan Syaf, menjelaskan belum maksimalnya pelaksanaan PSBB dikarenakan tidak adanya ketegasan kepada masyarakat yang masih tidak mengindahkan peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah. ”Jadi punishment tidak kuat. Kalau berharap lalu lintas sepi dan masyarakat berhenti beraktivitas di luar, ya harus ada ketegasan soal hukuman kepada para pelanggar PSBB,” kata Sofyan kepada Metropolitan, Minggu (19/4). Walaupun sudah ada surat teguran, nyatanya hal tersebut bukan menjadi sesuatu yang berarti bagi masyarakat. Di titik check point Kota Bogor masih didapati adanya pergerakan masyarakat di jalanan, terutama pada akhir pekan. Bahkan, petugas check point mendapati adanya warga yang sudah mendapatkan surat teguran tetapi masih melanggar peraturan, seperti tidak memakai masker atau tidak memenuhi ketentuan dalam berkendara. Pergerakan masyarakat ini, sambung Sofyan, berkaitan erat dengan kebutuhan perut atau kehidupan bagi masyarakat itu sendiri. Ia mengambil contoh, jika masyarakat pekerja harian lepas, tidak mungkin akan mengikuti instruksi pemerintah ketika harus berdiam diri di rumah, melihat keluarganya kelaparan di tengah pandemi corona. ”Ini kembali lagi kepada kebijakan pemerintah soal bantuan yang akan diterima masyarakat ini. Terdapat sembilan jenis pintu bantuan tapi dari sistem pendataannya masih tidak jelas dan simpang siur,” jelas Sofyan. Terakhir, Sofyan menilai kegagalan atau belum maksimalnya PSBB di wilayah Bodebek karena masih adanya perdebatan kebijakan di setiap tingkatan pemerintah, mulai dari daerah, provinsi hingga pusat. Sehingga membuat masyarakat jadi tidak tahu harus mengikuti kebijakan yang mana dan membuat masyarakat cenderung tidak mengindahkan kebijakan pemerintah ini. ”Jadi mulai sekarang, harusnya pemerintah mengeluarkan satu produk kebijakan saja. Jangan lagi ada perbedaan. Kalaupun ada, selesaikanlah di dalam ruang tertutup, jangan di ruang terbuka,” tandasnya. (dil/ogi/c/mam/run)