Di tengah kesederhanaannya, Ipda Rochmat Tri Marwoto sangat berbahagia saat berkumpul bersama puluhan anak asuhnya. Selain mengabdikan diri kepada negara, Rochmat juga rupanya sudah belasan tahun merawat anak yang kurang mampu. Bahkan saat ini tak kurang dari 80 anak yang diasuhnya. ROCHMAT dan istrinya menyayangi mereka layaknya anak kandung sendiri. Tinggal dalam satu atap, dari balita hingga remaja. Demi mencukupi kebutuhan makan dan sekolah, Rochmat nyambi ngojek dan bertani. Sudah cukup lama Rochmat memiliki mimpi membiayai anak-anak yang kurang mampu. Sejak 2007, ia telah mengurus sebelas anak asuh dari keluarga tidak mampu, yatim-piatu, serta anak jalanan yang telantar. Ia membagi waktu dari dinasnya di kantor Brimob Madiun Polda Jatim untuk kerja sambilan demi menyekolahkan anak asuhnya. ”Saya punya janji, punya mimpi sama istri itu ketika nanti kita bisa makan, dua piring ibaratnya demikian, kita nyekolahin anak-anak yang kurang mampu,” ujar Rochmat. Anak asuh pertama yang dirawat Rochmat bernama Ketut, keturunan Bali dan Pacitan. Kala itu Rochmat tengah bermain ke tempat temannya semasa SMA di Pacitan. Tidak sengaja melihat seorang nenek yang memasak batu dalam air. Hal itu mengingatkannya pada kisah Nabi tentang teladan khalifah Umar. Ketut sudah lulus SD dan tinggal bersama neneknya yang tidak mampu. Kedua orang tuanya telah berpisah. Rochmat merasa perihatin dan menawarkan bocah kecil ini untuk sekolah, serta tinggal bersama di Madiun. Rochmat berpikir jika hanya dibantu dengan uang saja ia merasa tidak bisa mengontrol masa depan Ketut. Segala kebutuhan anak asuh sehari-hari dicukupi Rochmat. Pertama kali merintis saat gajinya masih sekitar Rp600 ribu dan istrinya Rp250 ribu. Seiring berjalannya waktu, gaji satu juta sekian untuk membiayai istri dan satu buah hati. Tidak ada keraguan sama sekali, logika matematika manusia dengan uang kecil tersebut tak akan mampu membiayai semua anak. Namun matematika Tuhan punya cara terbaik. ”Saya punya keyakinan dan saya meyakini matematika Allah itu berbeda dengan matematika kita,” kata Rochmat. Untuk menambah biaya hidup, istri Rochmat dibuatkan warung kecil yang menjual handphone bekas dan pulsa. Selain itu, Rochmat pernah merangkap jadi tukang ojek. Panggilan ini datang setelah merasakan bahwa biaya kuliah mahal. Sehingga dia harus punya sambilan. Selain itu, hingga kini Rochmat masih menjadi guru ekstrakurikuler di beberapa sekolah. Dia mengajar Paskibraka, palang merah, pramuka, dan OSIS di luar waktu dinas kantor. Dari kegiatan Rochmat di sekolah dan aktif dengan tim SAR tersebut bisa mendapat anak-anak asuh baru. Dia juga bercocok tanam menjadi petani sayuran dan buah untuk tambah kebutuhan. Membantu pendidikan dan mengarahkan anak asuh sebanyak 54 orang di tahun 2016, dari TK hingga mahasiswa. Rochmat ingin merubah cara berpikir setiap anak asuhnya, bahwa sukses itu bukan hanya milik orang kaya saja. Berbagai latar belakang dibawa setiap anak asuhnya, ada yang tidak punya rumah sama sekali, ditelantarkan orang tua, mantan Napi, dan anak yatim-piatu. Rochmat dan istri percaya bahwa setiap anak asuhnya memiliki kemampuan di bidang tertentu untuk dikembangkan. Keduanya membimbing anak-anak untuk berwiraswasta, bertani, bermain musik, hingga pencak silat. Prinsip utamanya, setiap anak harus bisa mandiri menghadapi dunia yang sebenarnya. Setelah menamatkan sekolah hingga sarjana, Rochmat ingin anak asuhnya sudah memiliki bekal dan tidak cengeng. Kini banyak anak asuhnya yang telah berhasil membawa prestasi luar biasa. Beberapa di antaranya ada yang telah menjadi kepala sekolah madrasah, pegawai bank, hingga menjadi anggota polisi. Perjuangan Rochmat sejak 2007 begitu menginspirasi. Sampai saat ini dia masih berusaha memperluas bangunan rumah untuk bisa menampung lebih banyak anak asuh. (mer/net/mam/run)