Senin, 22 Desember 2025

Harga Rokok Rp100 Ribu, Setuju Nggak?

- Selasa, 21 Juli 2020 | 09:40 WIB

Tingginya angka perokok kalangan anak di bawah umur membuat Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara aktif mengusulkan harga rokok dibikin mahal. Untuk menekan jumlah perokok aktif, harga rokok pun minimal akan dipatok Rp100 ribu per bungkusnya. JULIARI mengatakan, akses mendapat rokok di Indonesia masih sangat mudah. Se­hingga anak di bawah usia 18 tahun juga bisa mendapatkan rokok tanpa kesulitan. Hal itu jadi salah satu faktor yang membuat anak-anak mudah terpapar rokok. ”Anak-anak ini simpel. Me­reka ingin terlihat tua, terlihat cool, keren, jadinya merokok. Selain itu, meskipun saya ba­gian pemerintah, akses ter­hadap rokok ini harus diba­tasi. Bahkan di Indonesia menjual rokok secara ketengan (satuan, red) masih bisa,” kata Juliari saat Webinar Ha­ri Anak Nasional (HAN) 2020, Senin (20/7). Juliari menyarankan proses pembelian rokok seharusnya dipersulit. Salah satunya dengan menaikkan harga per satu bungkus rokok. Tujuan­nya agar rokok tidak mudah diakses anak-anak. ”Kalau bisa rokok harganya mahal. Satu bungkus minimal Rp100 ribu. Negara juga dapat cukai lumayan,” usul Juliari. Selain berbahaya bagi kese­hatan secara fisik, Juliari me­nyampaikan bahwa rokok bisa menjadi pintu gerbang anak mengenal narkoba. Jika telah terjerumus pada nar­koba maka yang dikhawatir­kan masa depan anak jadi terancam. ”Harus diingat pengenalan narkoba dari rokok. Lama-lama nyobain ganja lalu sabu. Begitu masuk ke narkoba, ya sudah habis. Mau rehab se­perti apa pun, kalau sudah narkoba sejak dini itu sudah sulit,” ujar Juliari. Berdasarkan hasil survei Universitas Indonesia (UI), ditemukan sebanyak 21,4 persen anak di Kota Bogor sudah merokok. Mereka ke­banyakan memiliki rentang usia sepuluh hingga 18 tahun. Dari jumlah tersebut, seba­nyak 82 persen anak yang merokok menyatakan bahwa mereka merokok setelah me­lihat iklan dan pajangan pro­duk rokok di tempat penjua­lan. Menanggapi soal tingginya angka perokok di kalangan anak-anak di Kota Bogor, Ke­pala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor Sri Nowo Retno mengungkapkan bahwa sejauh ini kampanye antirokok sudah dilakukan sejak tahun lalu. Di mana dalam kampanye yang digelorakan di Kota Bo­gor, Dinkes Kota Bogor me­milih tagline Smoke Free Generation atau generasi bebas rokok. ”Sosialisasi ini kami lakukan mulai dari jenjang SD hingga SMA. Namun karena adanya pandemi Covid-19 saat ini, jadi kampanye yang dijad­walkan tahun ini harus ter­henti sementara,” kata Retno, Senin (20/7). Dengan terhen­tinya kampanye antirokok ini, sambung Retno, hal itu bisa menjadi penyebab ting­ginya angka perokok di ka­langan anak-anak. ”Dari data terakhir umur rata-rata mereka (anak-anak, red) mu­lai merokok di umur 12 tahun,” ungkapnya. Ia pun mendukung bila pe­merintah menaikkan harga jual rokok menjadi Rp100 ribu per bungkusnya. ”Seka­rang jajan anak-anak sekolah berapa sih? Paling gede juga Rp30 ribu. Nah, kalau harga rokok dinaikkan ya otomatis nggak bisa beli lah mereka,” jelas Retno. Meski sudah memiliki Pe­raturan Daerah (Perda) Ka­wasan Tanpa Rokok (KTR), yang mengatur soal pema­jangan rokok di warung dekat sekolah, pelarangan menjual rokok kepada anak-anak dan melarang adanya iklan rokok, Retno menilai dengan menaik­kan harga rokok tentu akan menjadi senjata baru guna menekan angka perokok di kalangan anak-anak. ”Selain itu, setiap orang yang mau beli rokok bisa diharus­kan menunjukkan KTP-nya (kartu identitas, red). Kalau anak-anak kan belum punya KTP, jadi mereka sudah jelas tidak akan bisa beli,” sambung­nya. ”Jadi harga dinaikkan itu saya setuju saja. Ini kembali lagi gimana upaya. Pokoknya ka­lau ini upaya untuk menekan, ya saya setuju,” terangnya. Dukungan serupa juga disam­paikan Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim. ”Kita dukung alternatif-alternatif apa pun agar remaja dan anak-anak Kota Bogor terlindungi,” te­gasnya. Terpisah, Ketua Pem­berdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kota Bogor Yane Ardian ikut angkat bi­cara soal tingginya angka perokok di kalangan remaja tanggung Kota Hujan. Men­urutnya, penyebab para re­maja merokok lantaran se­jumlah faktor, baik faktor keluarga, lingkungan hingga pergaulan. ”Faktor keluarga sebagai contoh akibat dari meniru orang tua, pelarian dari ma­salah dalam keluarga. Kemu­dian faktor pergaulan yaitu ikut-ikutan teman, merasa tidak hebat kalau tidak me­rokok, dan lain-lain. Faktor lingkungan juga menyebabkan remaja terpengaruh untuk merokok, sebagai contoh rasa ingin mencoba rokok karena melihat lingkungannya banyak orang yang meng­gunakan rokok,” bebernya. Tak hanya itu, istri wali kota Bogor itu juga memaparkan sejumlah contoh antisipasi perokok dini di kalangan re­maja. Seperti pengawasan orang tua, membuat anak agar tidak mudah terpengaruh teman sebaya, menjelaskan detail akibat merokok, sosia­lisasi dari pemerintah untuk pencegahan merokok kepada para remaja, orang tua tidak mencontohkan anaknya un­tuk merokok, hingga menga­rahkan anak bergaul dengan teman yang baik. Meski Yane mendukung wacana kenaikan harga rokok, hal tersebut bukanlah satu-satunya cara. Meningkatkan harga jual rokok menjadi Rp100 ribu dinilai tidak akan terlalu efektif jika tidak dibarengi edukasi kepada masyarakat. ”Masalah utama bukan di harga rokok, tapi di edukasi masyarakat. Masyarakat harus mendapat pengetahuan ten­tang dampak buruk rokok, terutama sebagai gerbang masuknya narkoba. ”Kalau masyarakat punya tingkat kesadaran yang baik tentang bahaya rokok, maka harga rokok murah pun tidak akan dibeli,” tutupnya. (ogi/dil/c/ feb/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X