Tingginya angka perokok kalangan anak di bawah umur membuat Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara aktif mengusulkan harga rokok dibikin mahal. Untuk menekan jumlah perokok aktif, harga rokok pun minimal akan dipatok Rp100 ribu per bungkusnya. JULIARI mengatakan, akses mendapat rokok di Indonesia masih sangat mudah. Sehingga anak di bawah usia 18 tahun juga bisa mendapatkan rokok tanpa kesulitan. Hal itu jadi salah satu faktor yang membuat anak-anak mudah terpapar rokok. ”Anak-anak ini simpel. Mereka ingin terlihat tua, terlihat cool, keren, jadinya merokok. Selain itu, meskipun saya bagian pemerintah, akses terhadap rokok ini harus dibatasi. Bahkan di Indonesia menjual rokok secara ketengan (satuan, red) masih bisa,” kata Juliari saat Webinar Hari Anak Nasional (HAN) 2020, Senin (20/7). Juliari menyarankan proses pembelian rokok seharusnya dipersulit. Salah satunya dengan menaikkan harga per satu bungkus rokok. Tujuannya agar rokok tidak mudah diakses anak-anak. ”Kalau bisa rokok harganya mahal. Satu bungkus minimal Rp100 ribu. Negara juga dapat cukai lumayan,” usul Juliari. Selain berbahaya bagi kesehatan secara fisik, Juliari menyampaikan bahwa rokok bisa menjadi pintu gerbang anak mengenal narkoba. Jika telah terjerumus pada narkoba maka yang dikhawatirkan masa depan anak jadi terancam. ”Harus diingat pengenalan narkoba dari rokok. Lama-lama nyobain ganja lalu sabu. Begitu masuk ke narkoba, ya sudah habis. Mau rehab seperti apa pun, kalau sudah narkoba sejak dini itu sudah sulit,” ujar Juliari. Berdasarkan hasil survei Universitas Indonesia (UI), ditemukan sebanyak 21,4 persen anak di Kota Bogor sudah merokok. Mereka kebanyakan memiliki rentang usia sepuluh hingga 18 tahun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 82 persen anak yang merokok menyatakan bahwa mereka merokok setelah melihat iklan dan pajangan produk rokok di tempat penjualan. Menanggapi soal tingginya angka perokok di kalangan anak-anak di Kota Bogor, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor Sri Nowo Retno mengungkapkan bahwa sejauh ini kampanye antirokok sudah dilakukan sejak tahun lalu. Di mana dalam kampanye yang digelorakan di Kota Bogor, Dinkes Kota Bogor memilih tagline Smoke Free Generation atau generasi bebas rokok. ”Sosialisasi ini kami lakukan mulai dari jenjang SD hingga SMA. Namun karena adanya pandemi Covid-19 saat ini, jadi kampanye yang dijadwalkan tahun ini harus terhenti sementara,” kata Retno, Senin (20/7). Dengan terhentinya kampanye antirokok ini, sambung Retno, hal itu bisa menjadi penyebab tingginya angka perokok di kalangan anak-anak. ”Dari data terakhir umur rata-rata mereka (anak-anak, red) mulai merokok di umur 12 tahun,” ungkapnya. Ia pun mendukung bila pemerintah menaikkan harga jual rokok menjadi Rp100 ribu per bungkusnya. ”Sekarang jajan anak-anak sekolah berapa sih? Paling gede juga Rp30 ribu. Nah, kalau harga rokok dinaikkan ya otomatis nggak bisa beli lah mereka,” jelas Retno. Meski sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR), yang mengatur soal pemajangan rokok di warung dekat sekolah, pelarangan menjual rokok kepada anak-anak dan melarang adanya iklan rokok, Retno menilai dengan menaikkan harga rokok tentu akan menjadi senjata baru guna menekan angka perokok di kalangan anak-anak. ”Selain itu, setiap orang yang mau beli rokok bisa diharuskan menunjukkan KTP-nya (kartu identitas, red). Kalau anak-anak kan belum punya KTP, jadi mereka sudah jelas tidak akan bisa beli,” sambungnya. ”Jadi harga dinaikkan itu saya setuju saja. Ini kembali lagi gimana upaya. Pokoknya kalau ini upaya untuk menekan, ya saya setuju,” terangnya. Dukungan serupa juga disampaikan Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim. ”Kita dukung alternatif-alternatif apa pun agar remaja dan anak-anak Kota Bogor terlindungi,” tegasnya. Terpisah, Ketua Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kota Bogor Yane Ardian ikut angkat bicara soal tingginya angka perokok di kalangan remaja tanggung Kota Hujan. Menurutnya, penyebab para remaja merokok lantaran sejumlah faktor, baik faktor keluarga, lingkungan hingga pergaulan. ”Faktor keluarga sebagai contoh akibat dari meniru orang tua, pelarian dari masalah dalam keluarga. Kemudian faktor pergaulan yaitu ikut-ikutan teman, merasa tidak hebat kalau tidak merokok, dan lain-lain. Faktor lingkungan juga menyebabkan remaja terpengaruh untuk merokok, sebagai contoh rasa ingin mencoba rokok karena melihat lingkungannya banyak orang yang menggunakan rokok,” bebernya. Tak hanya itu, istri wali kota Bogor itu juga memaparkan sejumlah contoh antisipasi perokok dini di kalangan remaja. Seperti pengawasan orang tua, membuat anak agar tidak mudah terpengaruh teman sebaya, menjelaskan detail akibat merokok, sosialisasi dari pemerintah untuk pencegahan merokok kepada para remaja, orang tua tidak mencontohkan anaknya untuk merokok, hingga mengarahkan anak bergaul dengan teman yang baik. Meski Yane mendukung wacana kenaikan harga rokok, hal tersebut bukanlah satu-satunya cara. Meningkatkan harga jual rokok menjadi Rp100 ribu dinilai tidak akan terlalu efektif jika tidak dibarengi edukasi kepada masyarakat. ”Masalah utama bukan di harga rokok, tapi di edukasi masyarakat. Masyarakat harus mendapat pengetahuan tentang dampak buruk rokok, terutama sebagai gerbang masuknya narkoba. ”Kalau masyarakat punya tingkat kesadaran yang baik tentang bahaya rokok, maka harga rokok murah pun tidak akan dibeli,” tutupnya. (ogi/dil/c/ feb/run)