Nama Khairudin mendadak viral di sejumlah media sosial. Kisahnya yang dimulai dengan menjadi marbot masjid kampus saat mulai kuliah hingga dikukuhkan menjadi Guru Besar menuai pujian. Gelar Guru Besar itu baru saja disematkan Khairudin pada Sabtu (8/8) di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sleman, Yogyakarta UNTUK mencapai gelar itu bukan perkara mudah. Pada saat awal kuliah pada 1998, ia hanya berbekal doa. Untuk memenuhi biaya hidup dan kuliah, ia harus membagi waktu menjadi takmir masjid sambil berjualan tempe. ”Saya 1998 itu lulus STM karena krisis moneter memang sedikit industri yang buka peluang kerja, saya banting setir bagaimana untuk kuliah. Saya mendaftar di IKIP Yogyakarta kini UNY,” kata Khairudin. Diterima di jurusan Teknik Elektro merupakan sebuah kebahagiaan sekaligus kebingungan bagi Khairudin kala itu. Ia hanya modal nekat dan restu orang tua untuk meninggalkan kampung halamannya di Purwokerto. Kebetulan, ia memiliki kakak senior yang membantu untuk mencari tempat tinggal di Yogyakarta. ”Akhirnya, teman saya di Masjid Al Mujahidin mengenalkan sama pengurus takmir. Saya di situ (tinggal, red), berjualan koran di pertigaan Jalan Gejayan-Colombo,” katanya. Saat berjualan itu, ia bertemu kakak tingkatnya di Fakultas Teknik. Orang tersebut mengajak ia tinggal di masjid yang jaraknya 5 kilometer dari kampus. Ia menawarkan itu agar Khairudin fokus untuk belajar. Sebab, masjid kampus biasanya banyak kegiatan. ”Nah, di Masjid Al-Amin mulai meniti karier sebagai mahasiswa ya. Bermodal doa itu akhirnya ketemu takmir itu pengusaha tempe Haji Muklar dikasih modal sepeda untuk antar-antar tempe,” ucapnya. Meski begitu, ia harus membagi waktunya antara kuliah, mengajar TPA di masjid itu, serta mengumandangkan azan. Ia mengirim tempe subuh-subuh bagi pelanggan yang ingin masak tempenya di pagi hari. Saat ujian, ia meminta libur selama dua minggu. Demi menjaga hubungan dengan pelanggan, ia mencari orang lain untuk menjajakannya ”Sampai empat tahun, lulus 2002, dengan IPK 3,5 lebih dikit lah. Cumlaude alhamdulilah,” imbuh Khairudin. Setelah itu, ia mendaftar formasi CPNS dosen di almamaternya. Kala itu, belum ada persyaratan gelar master untuk menjadi dosen. Dua tahun setelahnya, ia mendapat peluang untuk kuliah di Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, dengan beasiswa. Ia hijrah ke Jatim dengan keluarganya dan lulus pada 2006. ”Tidak sampai setahun ngajar lagi, April 2007 ada beasiswa S3 Malaysia. Saya coba lamar, lolos. Akhir 2007 berangkat ke UTM Malaysia dengan jurusan elektro. Desember 2011 pulang ke Indonesia,” bebernya. Pada saat menyelesaikan gelar S3, Khirudin bukan bebas hambatan. Profesor pembimbingnya sempat menjadi konsultan di Arab Saudi selama satu tahun. Mau tak mau, ia harus melakukan bimbingan secara online. ”Jadi begini, masalah itu bisa diselesaikan ya, masalah ekonomi, saya pernah merasakan pakai sepeda butut sampai Brompton. Kalau mau S2 dan S3 asal dikerjain rajin dan banyak doa di tengah malam, bangun malam, biasanya efektif nulis setelah tahajud,” ujarnya. Setelah lulus dari Malaysia, pada 2012 Khairudin diangkat sebagai Kepala Program Studi Teknik Elektro UNY. Lalu pengukuhan SK guru besar diterbitkan pada 1 April 2020. (kum/rez/run)