Minggu, 21 Desember 2025

Nasib Ponpes Ditengah Pandemi, Santri Susah Bayaran dan Gaji Guru Dipotong

- Kamis, 22 Oktober 2020 | 10:28 WIB
FOTO: YUDHI MAULANA/METROPOLITAN
FOTO: YUDHI MAULANA/METROPOLITAN

Peringatan Hari Santri 2020 yang jatuh pada Kamis (22/10) dipastikan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tak ada perayaan mewah yang bakal dilangsungkan di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Pasalnya, pagebluk corona juga turut mengganggu kegiatan belajar mengajar hingga kondisi keuangan pondok pesantren (ponpes). SEPERTI yang terjadi di Ponpes Hidayatut Thalibin di Kampung Sudimampir, Desa Cimanggis, Kabupaten Bogor. Tak hanya kegiatan para santri yang terganggu, tetapi juga ada sekolah re­guler Madrasah Tsanawiyah (MTs) setingkat SMP dan Madrasah Aliyah (MA) se­tingkat SMA yang merasakan hal sama. Saat pandemi ini, kegiatan belajar mengajar praktis men­galami perubahan. Biasanya sebelum pandemi, kegiatan belajar mengajar dilakukan tatap muka. Namun kini harus dilakukan secara daring. Pimpinan Ponpes Hidayatut Thalibin, Kiai Abdul Hakim, menjelaskan selain sistem pembelajaran yang berpeng­aruh, pembayaran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dari para murid juga tersendat. ”Sebelum Covid-19 memang ada yang tersendat tapi nggak banyak. Saat Covid karena tidak ada tatap muka dan mereka belajar di rumah, akhirnya SPP tertunda,” ka­tanya saat ditemui Metropo­litan, Selasa (20/10). Ia menyebut ada sekitar 80 persen lebih siswa yang menunggak SPP. Hal itu di­karenakan banyak orang tua murid yang juga terkena dam­pak. Abdul pun tak ingin me­maksa para murid untuk membayar. Mereka hanya mendata saja berapa jumlah tunggakan siswa. Diketahui, jumlah siswa MTs yang ada sebanyak 53 murid, dan siswa MA 22 orang. Penambahan jumlah siswa per Juni 2020 ini hanya ada 24 siswa. Untuk SPP yang dikenakan kepada murid MTs sekitar Rp58 ribu per bulan, sementara MA Rp98 ribu per bulan. Sementara untuk para san­tri yang mondok di sana tidak dikenakan biaya. Ada sembi­lan santri yang menimba ilmu agama di sana. ”Jadi sebenar­nya saya ingin menghidupkan kembali santri di sini. Tahun 2001 sampai 2015 kita terima santri, tapi setelah itu kita vakum, dan baru kita buka lagi setelah Idul Fitri 2020 ini,” ungkapnya. Para santri ini berasal dari berbagai daerah, ada yang dari Jakarta, Bekasi, Kabupa­ten Bogor serta warga sekitar. Untuk operasional para san­tri, Abdul mengklaim masih aman karena ada bantuan dari donatur. ”Ini kan yayasan, dan pusatnya ada di Jakarta. Jadi ada yang bantu untuk operasionalnya,” tuturnya. Selama menimba ilmu di sana, para santri tidak bisa bebas keluar-masuk pesantren. Tujuannya untuk terhindar dari penyebaran Covid-19. Sebab, wilayah Bojonggede masuk zona merah. Di sisi lain, kondisi pandemi ini juga terdampak kepada para guru. Dalam hal belajar mengajar, beberapa guru me­nilai metode belajar daring kurang efektif. ”Kalau pakai daring itu terbatas dan ba­nyak kendala. Ada yang punya hp, ada yang nggak. Lalu kuota. Karena kan kita biasa kirim video dan setor video atau voice note. Lalu kalau pakai Google Meet sama Zoom, itu juga menyedot banyak kuota,” ungkap salah seorang guru MA Hidayatut Thalibin, Muin. Selain metode belajar, dam­pak lain yang dirasakan saat pandemi ini adalah adanya pemotongan gaji. ”Jadi dari transport itu berkurang. Ka­rena kita kan nggak datang ke sekolah. Kira-kira 50 persen lah potongannya. Sudah dua bulan ini. Mungkin karena dari pihak Kemenag (Kemen­terian Agama, red) juga kan ada pengurangan BOS (Ban­tuan Operasional Sekolah, red). Sampai kapan pemo­tongan? Kita belum tahu,” ungkapnya. Karena itu, ia berharap pan­demi ini segera berlalu dan kegiatan belajar mengajar di pesantrennya kembali normal. (cr3/d/rez/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X