Mungkin sebagian masyarakat masih awam dengan sosok Mbah Min Semprong. Pria paruh baya itu hanyalah seorang penjual mainan tembak-tembakan. Namun siapa sangka, pemilik nama lengkap Ngadimin Citro Wiyono itu merupakan seorang mata-mata Indonesia saat Agresi Militer Belanda II pada 1948. PADA masa perang, rakyat Indonesia harus rela mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan. Untuk itulah keberanian merupakan hal penting. Sayangnya tak banyak orang yang memiliki keberanian itu. Mbah Min Semprong adalah salah satu di antara sedikit orang yang memiliki keberanian untuk mempertaruhkan nyawa walaupun usianya masih muda kala itu. Pada saat ikut berjuang melawan Belanda, Mbah Min masih berusia 15 tahun. Pada waktu itu ayahnya tertembak tentara Belanda. Karena itulah Mbah Min muda merasa marah dan sedih. Dari situ muncul keinginannya untuk ikut berjuang melawan Belanda. Namun karena masih di bawah umur, Mbah Min tak bisa ikut berperang. Akhirnya ia menawarkan diri untuk menjadi mata-mata tentara Indonesia. Waktu itu, seorang tentara Indonesia datang ke pengungsian membagikan senjata yang mereka curi dari Belanda. Para pengungsi ditawari untuk memiliki senjata itu namun dengan syarat mereka harus mau ikut berjuang. Namun, menurut cerita Mbah Min, pada saat itu yang berani bisa dihitung dengan jari. Mbah Min adalah salah satu orang yang berani itu. Akhirnya, oleh sang komandan tentara Indonesia, Mbah Min ditugaskan mengawasi musuh. Komandan itu mengatakan pada Mbah Min muda bahwa ia tak akan dicurigai Belanda dan antek-anteknya karena masih di bawah umur. Untuk mengawasi mereka, sang komandan memintanya berpura-pura menjadi orang yang tidak normal. “Antek-antek Belanda itu warga sendiri, tetangga sendiri. Mereka tugasnya membuntuti para pasukan tentara Indonesia. Biasanya mereka menempelkan pecahan cermin di telapak tangannya. Kalau ada pesawat tempur Belanda, mereka biasanya memberi kode pada pesawat tempur itu dengan cara memantulkan cahaya matahari dengan kaca yang ada di telapak tangan mereka,” kata Mbah Min dikutip dari kanal YouTube Ganjar Pranowo. Kini Mbah Min menyambung hidup dengan cara menjual mainan tembak-tembakan. Mainan itu dibuat dari barang-barang bekas dan dijual dengan harga Rp20 ribu. Ia biasanya menjual mainan itu di depan pintu gerbang Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Di sana, banyak mahasiswa yang meminta nasihat pada Mbah Min. Selain memberi nasihat, Mbah Min juga mendoakan para mahasiswa itu agar selepas kuliah segera cepat dapat kerja dan diberi jodoh. “Saya awalnya dicari-cari oleh anak kuliah UNS yang jurusannya Pendidikan Sejarah. Saya diminta menceritakan masa agresi militer pertama, kedua, zaman Jepang, zaman Kemerdekaan. Kemudian dijajah Belanda lagi, zaman G30S, hingga sekarang. Saya tuliskan semua itu untuk ilmu pengetahuan di bidang Sejarah. Negara mana saja harus punya politik yaitu sejarah,” tandas Mbah Min. (mer/rez/run)