Senin, 22 Desember 2025

Dulu Mata-mata Negara, Kini Dagang Mainan

- Jumat, 13 November 2020 | 10:29 WIB

Mungkin sebagian masyarakat masih awam dengan sosok Mbah Min Semprong. Pria paruh baya itu hanyalah seorang penjual mainan tembak-tembakan. Namun siapa sangka, pemilik nama lengkap Ngadimin Citro Wiyono itu merupakan seorang mata-mata Indonesia saat Agresi Militer Belanda II pada 1948. PADA masa perang, rakyat Indonesia harus rela mempertaruhkan nyawa demi kemer­dekaan. Untuk itulah keberanian merupakan hal penting. Sayangnya tak banyak orang yang memiliki keberanian itu. Mbah Min Semprong adalah salah satu di antara sedikit orang yang memiliki keberanian untuk mempertaruhkan nyawa walaupun usianya masih muda kala itu. Pada saat ikut berjuang me­lawan Belanda, Mbah Min masih berusia 15 tahun. Pada waktu itu ayahnya tertembak tentara Belanda. Karena itu­lah Mbah Min muda merasa marah dan sedih. Dari situ muncul keinginannya untuk ikut berjuang melawan Be­landa. Namun karena masih di bawah umur, Mbah Min tak bisa ikut berperang. Akhir­nya ia menawarkan diri untuk menjadi mata-mata tentara Indonesia. Waktu itu, seorang tentara Indonesia datang ke peng­ungsian membagikan sen­jata yang mereka curi dari Belanda. Para pengungsi di­tawari untuk memiliki sen­jata itu namun dengan syarat mereka harus mau ikut ber­juang. Namun, menurut ce­rita Mbah Min, pada saat itu yang berani bisa dihitung dengan jari. Mbah Min adalah salah satu orang yang berani itu. Akhirnya, oleh sang koman­dan tentara Indonesia, Mbah Min ditugaskan mengawasi musuh. Komandan itu men­gatakan pada Mbah Min muda bahwa ia tak akan di­curigai Belanda dan antek-anteknya karena masih di bawah umur. Untuk menga­wasi mereka, sang komandan memintanya berpura-pura menjadi orang yang tidak normal. “Antek-antek Belanda itu warga sendiri, tetangga sen­diri. Mereka tugasnya mem­buntuti para pasukan tentara Indonesia. Biasanya mereka menempelkan pecahan cer­min di telapak tangannya. Kalau ada pesawat tempur Belanda, mereka biasanya memberi kode pada pesawat tempur itu dengan cara me­mantulkan cahaya matahari dengan kaca yang ada di telapak tangan mereka,” kata Mbah Min dikutip dari kanal YouTube Ganjar Pranowo. Kini Mbah Min menyambung hidup dengan cara menjual mainan tembak-tembakan. Mainan itu dibuat dari barang-barang bekas dan dijual dengan harga Rp20 ribu. Ia biasanya menjual mainan itu di depan pintu gerbang Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Di sana, banyak mahasiswa yang meminta nasihat pada Mbah Min. Selain memberi nasihat, Mbah Min juga mendoakan para mahasiswa itu agar se­lepas kuliah segera cepat da­pat kerja dan diberi jodoh. “Saya awalnya dicari-cari oleh anak kuliah UNS yang jurusannya Pendidikan Seja­rah. Saya diminta mencerita­kan masa agresi militer per­tama, kedua, zaman Jepang, zaman Kemerdekaan. Kemu­dian dijajah Belanda lagi, zaman G30S, hingga sekarang. Saya tuliskan semua itu untuk ilmu pengetahuan di bidang Sejarah. Negara mana saja harus punya politik yaitu se­jarah,” tandas Mbah Min. (mer/rez/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X