Hamparan tanah merah dan lubang pemakaman menjadi pemandangan sehari-hari yang menghiasi kehidupan Deni Rahmat. Pria 20 tahun itu merupakan seorang petugas pemakaman di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Sudah hampir sepuluh bulan, Deni bersama tujuh rekannya menjadi saksi hidup bagaimana prosesi pemakaman pasien Covid-19 berlangsung di Kota Bogor. PACUL dan tanah merupakan benda yang setiap hari menemani keseharian Deni. Dalam sehari, ia bersama rekannya harus menyiapkan satu lubang pemakanan, mengingat kedatangan jenazah pasien Covid-19 tidak bisa diperkirakan. Sebab, dalam sehari, ia mengaku pernah memakamkan lima jenazah sekaligus. ”Kami harus bersiap kalau jenazah datang. Jadi minimal satu lubang harus kita siapkan setiap hari,” kata Deni sambil berdiri di antara lubang-lubang pemakaman yang sudah ia buat. Sejak lulus SMK, Deni langsung bekerja di TPU Situ Gede. Langkah ini ia ambil karena sang ayah juga merupakan petugas pemakaman. Hanya saja saat ini ayahnya sudah dipindah ke TPU Blender di Kecamatan Tanahsareal. Pemuda 20 tahun itu pun menceritakan betapa sulitnya melakukan proses pemakaman dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Setiap pemakaman yang dilakukan, ia dan seluruh petugas pemakaman lainnya harus menggunakan pakaian hazmat dan masker untuk meminimalisasi terjadinya penularan. Keringat yang mengalir karena udara yang tertahan dalam hazmat dan napas yang terbatas karena masker, menguras tenaganya berkali-kali lipat ketika harus mengubur peti jenazah yang sudah diturunkan ke liang lahad. ”Tenaga harus lebih ekstra, karena kan kita engap pakaiAlat Pelindung Diri (APD),” jelas Deni. Belum lagi ketika proses pemakaman dilakukan pada malam hari. Deni mengungkapkan pernah memakamkan jenazah pasien Covid-19 pada pukul 02:00 WIB dini hari. Saat itu ia mendapat kabar bahwa akan ada jenazah yang dimakamkan. Biasanya, kabar itu ia terima 30 menit sebelum kedatangan jenazah. Ia pun bersama rekannya yang lain langsung bersiap mengenakan pakaian hazmat lengkap menanti kedatangan jenazah. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam pun berlalu. Sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul 02:00 WIB. Sinar cahaya biru dan merah muncul dari balik sela-sela pepohonan yang memecah kegelapan malam di TPU Situ Gede. Mobil ambulans bersama satu mobil lainnya langsung terparkir di samping lahan yang sudah disiapkan untuk menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi pasien Covid-19 tersebut. Ia bersama tujuh orang lainnya langsung menghampiri kendaraan dan mengangkut peti mati. Di atas lubang pemakaman, empat buah bidang balok sudah membentang, membentuk persegi yang saling menyilang. Peti mati berwarna putih pun langsung diletakkan di atas balok tersebut, bersamaan dengan dibentangkannya dua tali tambang dari satu sisi ke sisi lainnya melewati bagian bawah peti. Setelah semua siap, secara perlahan peti diangkat, seiring digesernya dua bilah balok yang tadinya menahan peti. Secara perlahan, peti diturunkan ke liang lahad seraya para petugas pemakaman melantunkan tahlil. Tak lama, seseorang dengan pakaian hazmat melantunkan azan, dan tanah merah pun menutup peti putih yang berada dalam lubang berukuran 2x1 meter itu. ”Kalau pas nurunin petinya nggak seimbang, bisa jatuh itu. Soalnya kan biasanya berat di bagian kepala. Jadi harus hati-hati kalau lagi nurunin peti,” ungkap Deni. Teknik memakamkan jenazah dengan menggunakan peti mati ini baru ia ketahui ketika TPU Situ Gede dijadikan tempat pemakaman bagi pasien Covid-19 pada Maret silam. Dengan belum jelasnya kapan pandemi Covid-19 ini berakhir, Deni mengaku hanya minta diberi kesehatan dan meminta perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa. ”Ya paling tiap hari berdoa minta diberikan kesehatan, kekuatan dan perlindungan kepada Allah saja,” ujarnya. ”Kita mah di pemakaman kan tahunya bertugas saja. Protokol kesehatan kita ikutin. Kalau ada apa-apa ya itu sudah menjadi kehendak yang di atas,” ujar Deni. Di sebuah bale yang terbuat dari beton, dengan lantai dari potongan kayu, menjadi tempat Deni dan rekan-rekannya menanti tugas yang mungkin sulit dilakukan orang lain. (dil/d/rez/run)