Bagi sebagian orang yang tengah berlibur ke kawasan Puncak, Bogor, tentu sudah tidak asing lagi dengan Jembatan Riung Gunung. Jembatan yang berada di tengah Jalan Raya Puncak, Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, itu mengundang penasaran bagi yang melihatnya SEKILAS jembatan berwarna putih kusam berlumut itu seperti Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). Namun, jika diperhatikan, jembatan janggal yang pangkal tangganya berada di tengah jalan itu bak berujung ke hutan. Rasa penasaran itu pun memapar tim Harian Metropolitan hingga melakukan penelusuran ke lokasi. Teka-teki pun terjawab sudah. Jembatan itu merupakan jalan penghubung menuju vila yang tertutup pepohonan. Vila itu merupakan tempat petilasan sang proklamator atau Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Seperti diungkapkan warga sekitar yang juga pemilik warung di sekitar kawasan Riung Gunung, H Zaenal (66). Menurut pria asli Desa Tugu Selatan itu, jembatan itu merupakan salah satu akses menuju sebuah tempat penginapan yang dinamai Hotel Indonesia. Sekitar awal 60-an, jembatan tersebut merupakan akses yang menyambungkan parkiran Hotel Indonesia menuju tempat penginapan yang kerap dikunjungi Bung Karno. ”Dulu ini jalanan cuma satu. Nah, jembatan itu adalah jalan menuju Hotel Indonesia dari tempat parkiran. Jadi dulu belum ada dua jalur gini,” katanya sambil melihat ke arah ujung jembatan yang posisinya berada di badan Jalan Raya Puncak. Tepat di badan jembatan yang kini sudah diselimuti lumut itu tertulis ’Riung Gunung’, ditutukan pria kelahiran 1956 itu bukan akses utama menuju Hotel Indonesia. Tetapi sebuah pagar berwarna hitam yang tidak jauh dari jembatan merupakan akses utama kepada para pengunjung yang hendak memasuki Hotel Indonesia. Warna cat, tembok, dan kondisi pagar berbanding terbalik dengan kondisi Jembatan Riung Gunung. Catnya masih terlihat rapi, tak ada retakan atau lumut sama sekali di tembok yang menopang agar pagar bisa berdiri. Namun, sebuah gembok yang sudah terlapisi karat, membelenggu pagar. Ikut terpampang sebuah papan yang menggantung di pagar bertuliskan ’Dilarang Masuk tanpa Izin! Awas Ada Anjing Galak’. ”Padahal mah dulu boleh-boleh saja masuk. Tapi semenjak Bung Karno meninggal, sudah nggak boleh sembarang orang lagi masuk,” ujar H Zaenal seraya mengangkat sarung ke pundaknya. Dari balik pagar hitam tersebut hanya manunjukkan sebuah bangunan yang menyerupai pos jaga. Kondisinya sebagian tembok sudah berlumut dan terdapat sebuah bangku kosong. Menurut H Zaenal, itu merupakan pos satpam bagi tiga penjaga Vila Soekarno, sebutan warga sekitar untuk Hotel Indonesia. Disebut Vila Soekarno, sambung Zaenal, dikarenakan presiden pertama Republik Indonesia itu memang sering mengunjungi kawasan tersebut. ”Sekitar tahun 65-an Bung Karno memang sering berkunjung. Tapi sendirian saja,” terangnya. H Zaenal pun menyebutkan nama pemilik vila saat ini, yakni Abdul Aziz Marzuki atau biasa disebut H Abdul Aziz. ”Kalau nggak salah mah sekarang itu jadi milik H Abdul Aziz,” ujarnya. Lantas siapa gerangan yang bisa memiliki properti di kawasan Puncak yang memiliki nilai sejarah karena sempat menjadi tempat bersinggahnya Presiden Soekarno? Saat Harian Metropolitan menggali data lebih jauh ke kantor Desa Tugu Selatan, diketahui bahwa properti tersebut merupakan milik H Abdul Aziz, yang ternyata diketahui merupakan ayah mertua Sandiaga Uno. ”Sekarang itu yang jelas kepemilikannya sudah atas nama H Abdul Aziz, mertuanya Sandiaga Uno,” ungkap Kepala Desa Tugu Selatan, Eko Windiana. Namun, Eko mengaku tidak tahu-menahu perihal perpindahan tangan dari Vila Soekarno menjadi milik H Abdul Aziz. Ia hanya tahu bahwa vila tersebut sudah menjadi milik pribadi H Abdul Aziz. Tak hanya memiliki vila, mertua dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu juga diketahui menjadi pemilik tanah seluas dua hektare. ”Di sertifikat atas nama beliau itu dua hektare lebih, karena sampai ke bawah-bawah,” ungkap Eko. Eko sendiri mengaku sempat masuk vila tersebut. Ia mengungkapkan terdapat dua bangunan yang berdiri di atas lahan yang berbatasan dengan Jalan Raya Puncak tersebut. Namun, struktur bangunannya sudah banyak berubah meski arsitektur gaya Belanda masih kental terlihat. Jika dilihat sekarang, salah satu bangunan tersebut memiliki warna cokelat dan yang lainnya memiliki warna putih. ”Sudah banyak yang direnovasi dan luasannya sekitar 1.000 meter lah,” tuturnya. Namun, bangunan yang digunakan sebagai tempat peristirahatan sementara itu tidak bisa disewa sembarang orang. Bahkan, berdasarkan informasi yang ia miliki, sempat ada seorang anak SMA yang memviralkan Jembatan Riung Gunung dengan berdiri di jembatan dan mem-posting-nya di media sosial, berujung diperkarakan pemilik vila tersebut. ”Jangankan nyewa, kemarin ada orang Depok naik tangga, diviralkan di Tiktok, langsung ditewak (ditangkap, red) dan diminta untuk meminta maaf,” ujarnya. Terpisah, seorang tokoh masyarakat di Desa Tugu Selatan, Abah Yudi Wiguna, mengungkapkan Vila Soekarno ini masih bisa dikunjungi, namun hanya bisa dilakukan orang tertentu. Ia salah satunya lantaran kerap berziarah ke Vila Soekarno setiap dua bulan sekali bersama jamaah dari sejumlah padepokan. Tujuannya, jelas Abah Yudi, hanya mendoakan sang proklamator agar arwahnya mendapat ampunan dari Sang Khalik, mengingat jasa besarnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia di masa penjajahan. ”Aura mistis memang ada. Baik yang positif maupun negatif. Mungkin karena sudah lama tidak dihuni. Di area vila ada petilasan yang dahulu sering ditempati Soekarno untuk berdoa,” tandasnya. (dil/wan/e/rez/run)