Jadi seorang ayah memang tak mudah. Bak pahlawan, sosok ayah dituntut melindungi dan membahagiakan keluarganya. Namun, tidak dengan Achmad FD Saputra. Pria 38 tahun itu justru tega menganiaya keempat anaknya menggunakan berbagai perkakas. SADISNYA lagi, penganiayaan yang dilakukan warga Tanahbaru, Kecamatan Bogor Utara, itu sudah berlangsung tujuh tahun. Pelaku melakukan tindakan kekerasan terhadap tiga anak tiri dan satu anak kandungnya itu dengan palu, kunci Inggris, obeng, hingga pisau. Perbuatan tidak berperikemanusiaan itu terbongkar usai sang istri, SH, tak tahan lagi melihat sikap bengis sang suami hingga melaporkannya ke polisi. Meski SH sebelumnya sempat dibayangi banyak pertimbangan untuk melaporkan suaminya itu. Wakapolresta Bogor Kota AKBP Arsal Sahban mengatakan, penganiayaan itu terjadi sejak pernikahan pelaku dengan SH pada 2014 silam. Sejak itulah kekerasan kepada anaknya sudah sering terjadi. Namun, SH memilih bertahan dengan alasan memiliki anak bersama. ”Istrinya berpikir suaminya berubah setelah punya anak bersama. Tetapi kelakuannya semakin menjadi,” terang Arsal Sahban. Dalam kasus terakhir, sang ayah memukul anak tirinya menggunakan kunci Inggris hingga luka di bagian kepala. Tak cuma itu, pelaku juga memukul bagian pelipis kanan anaknya hingga bengkak dan berdarah. “Kakinya juga dipukul menggunakan palu hanya karena kesalahan kecil,” ujarnya. Tak kuat menahan siksaan sang ayah, anak pertamanya itu kabur ke rumah sang kakek. Karena semakin menjadi-jadi, SH memberanikan diri melaporkan kejadian tersebut ke aparat kepolisian. “Usai dianiaya, anak pertamanya ini, usia 18 tahun, kabur ke rumah kakeknya. Akhirnya ibunya melaporkan kekerasan itu kepada polisi,” bebernya. Ia melanjutkan, tindak kekerasan itu tidak hanya dilakukan pelaku kepada anak pertamanya. Tetapi juga kepada tiga anak lainnya. Bahkan, ada yang dianiaya menggunakan obeng hingga pisau. Anak kandungnya yang masih berusia tujuh tahun juga tak luput dari penganiayaan verbal atau nonverbal. “Jadi anak-anaknya ini, selain mendapatkan kekerasan fisik, ada juga psikis. Hingga anak-anaknya itu mengalami trauma,” jelasnya. Padahal, sambungnya, dari pengakuan anak-anaknya, semua pekerjaan rumah tangga dilakukan anaknya, baik mencuci pakaian, menyetrika, hingga menyapu rumah. Namun, ketika anaknya dianggap berbuat kesalahan, pelaku langsung melakukan kekerasan fisik. “Bahkan kalau keluar rumah harus pakai jaket dan topi. Jadi ada hal-hal unik yang akan didalami apa motif sebenarnya,” ungkapnya. Ia menuturkan, motif sementara perlakuan kekerasan pelaku kepada anak-anaknya lantaran sang anak tidak mau mengikuti saat diperintah. “Alasannya untuk mendidik anaknya,” kata Arsal Sahban. Saat ini pelaku masih diperiksa secara intensif untuk mengetahui motif kekerasan hingga terjadi bertahun-tahun. Sementara itu, polresta bersama Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) memberikan konseling kepada para korban. Atas perbuatannya, tambahkan Arsal Sahban, pelaku dapat dijerat pasal berlapis, yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 43 Undang-Undang tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan Pasal 351 KUHPidana tentang Penganiayaan dengan ancaman di atas sepuluh tahun penjara. Di sisi lain, pada tahun ini P2TP2A Kota Bogor telah menerima sebanyak 25 kasus KDRT dan kekerasan seksual pada anak. Dari 25 kasus tersebut, sepuluh di antaranya merupakan kasus rujukan dari kepolisian. Koordinator dan Advokat P2TP2A Kota Bogor, Iit Rahmatin, menjelaskan sepuluh kasus yang dilaporkan Polresta Bogor Kota kepada P2TP2A hingga kini masih berjalan. “Bulan Maret ini sendiri ada tiga kasus. Tapi dari seluruh laporan yang kami dapatkan, didominasi KDRT dan kekerasan seksual,” kata Iit. Sedangkan, pada 2020, terdapat 112 kasus yang masuk laporan P2TP2A Kota Bogor. Di mana sebagian besar kasus tersebut didominasi KDRT. Terutama saat memasuki masa pandemi Covid-19. Iin mengungkapkan, meningkatnya kasus KDRT di tengah pandemi dikarenakan pelaku banyak berada di lingkungan korban. Apalagi, di tengah pandemi, banyak orang yang bekerja di rumah. “Jadi kami menerima rujukan dari kepolisian atas beberapa kasus, sehingga kami melakukan investigasi sejauh mana kasus ini,” tuturnya. Selain melakukan investigasi, lanjutnya, P2TP2A juga melaksanakan fungsi pendampingan di kepolisian dan pengadilan. Baik dari sisi hukum maupun dari sisi psikologis, terutama pada anak-anak. “Sehingga kondisi mereka dan semuanya akan jadi lebih baik, dan diharapkan bisa kembali ke kondisi semula. Apalagi secara psikologis,” tandasnya. (bs/ cr1/d/rez/run)