Minggu, 21 Desember 2025

Mengenal Amelia, Juri Perempuan Kontes Burung. Belajar Autodidak hingga Pernah Dimaki Peserta Lomba

- Senin, 5 Juli 2021 | 10:10 WIB

Peran juri menjadi salah satu yang terpenting dalam kontes burung. Dari Indragiri Hulu, Riau, terdapat salah seorang juri perempuan bernama Amelia Adilla Triana Isyandra. AMEL, begitu ia biasa disapa, besar di kelu­arga pehobi burung. Ayahnya merawat perkutut. Hobi itu menurun ke kakak nomor dua, yang memelihara kacer, lovebird, dan kenari. ”Kakak pelihara burung untuk dilombakan,” kata bung­su tiga bersaudara pasangan Afrianto dengan Sukarnawati Hajir itu. Terbiasa mendengar kicauan burung setiap pagi, Amel pun jadi ikut sayang. Ia hafal kicauan tiap burung. ”Kalau ada salah satu (burung, red) yang mati, ya sampai nangis,” ka­tanya terkekeh. ­ Bukan hanya ayah dan kakak, pamannya pun menekuni bidang yang sama. ”Om sering bikin kompetisi dan jadi juri,” ujarnya. Setiap kali pamannya mem­buat even, Amel dilibatkan. Mulai mengurus tiket hingga diminta belajar menjadi juri. “Setelah lulus SMA, mulai belajar ngejuri,” kata maha­siswi Sekolah Tinggi Agama Islam Nurul Falah Air Molek, Indragiri Hulu, Riau, itu. Awalnya, Amel sempat ragu. Sebab, dunia kicau didomi­nasi kaum pria. Namun, dengan support orang-orang terdekat, Amel memantapkan diri belajar secara autodidak. Mulai mendengarkan suara burung hingga mempelajari cara penilaian kejuaraan melalui YouTube dan artikel. Ia juga menimba arahan dari juri senior. Amel meng­ingat, pengalaman perdana­nya jadi juri pada Agustus 2017. ”Di-brifing sama korlap, jenis burung ini cara menilainya begini. Jenis satunya lagi gi­mana. Langsung turun ke lapangan. Alhamdulillah tidak mengecewakan,” kenang pe­rempuan 22 tahun itu. Dari pengalaman pertama tersebut sampai sekarang, Amel masih bertahan menjuri. Ber­bagai pengalaman didapatnya. Mulai juri independen, ikut bertugas di final Liga OPPI Riau, hingga ikut serta dalam terbentuknya organisasi Rad­jawali Indonesia DPD Riau selama dua tahun. “Setelah itu memutuskan kembali jadi juri independen lagi,” kata Amel yang kerap dipanggil Mbak Jura atau Buk Jur saat men­juri di lapangan. Namun, bukan hanya pen­galaman manis yang didapat­kan. Ada juga kejadian tidak mengenakkan. Pernah di­maki pemain sampai istri pemain. ”Berdebat ketika sesi penilaian, dibilang saya nggak bisa menjuri. Sempat nangis di lapangan,” ceritanya. Amel juga pernah menjuri di luar kota yang waktu tem­puhnya enam jam perjalanan. Dari 21 kelas yang dilombakan, baru tujuh kelas, hujan turun amat deras. ”Hujan badai sampai gantangannya patah. Jadi, dana yang terkumpul dari hasil lomba cuma cukup untuk penyelenggaraan,” be­bernya. Amel hanya mendapat biaya transportasi. ”Itu pun cuma seperlima dari ongkos yang saya keluarkan, hehehe,” ingat­nya. Saat itu sebenarnya Amel ada Ujian Tengah Semester (UTS) di kampus. Ia merela­kan tidak ikut UTS demi men­juri. ”Jadi dobel, pergi tugas nggak dapat honor, di kampus dapat nilai C. Tapi, nggak apa-apa, dijadikan pengalaman,” ucap pencinta lovebird dan murai batu tersebut. Apakah dari sisi ekonomi profesi juri kontes burung cukup menjanjikan? Menurut Amel, itu bukan termasuk faktor yang membuatnya ber­tahan di bidang kicau. Terle­bih, selama masa pandemi, jarang ada perlombaan burung. Sebelum pandemi, dalam sepekan bisa menjuri hingga tiga kali. ”Ya bisa sih buat beli kuota dan skincare. Tapi, bukan dijadikan pendapatan utama. Buat saya lebih ke hobi,” tandasnya. (jp/feb/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X