Dapur umum SPJ itu berjalan sekitar tujuh bulan sejak awal pandemi. Dalam setiap dapur umum yang bergantung pada donasi, otomatis semua harus siap kehabisan donasi dan tak bisa berkegiatan lagi. ”Nah, setelah SPJ itu, kami kembali bentuk dapur umum,” ujarnya. Namun, dengan sasaran yang benar-benar akurat dan berdampak besar. Bila mereka membagikan bantuan dengan sembarangan seperti di pinggir jalan, tentu ”Yang tidak membutuhkan bisa dapat. Bahkan, satu orang bisa mendapat dua atau tiga porsi,” katanya. tak semua membutuhkannya. Karena itu, relawan memilih buruh gendong perempuan. ”Jadi, tiap buruh gendong perempuan bisa merasa aman soal makan siang dan mengurangi pengeluaran mereka,” jelasnya. Di awal dapur umum ini, para relawan mendapatkan cerita bahwa banyak buruh gendong yang ternyata menunggu sejak subuh. Memang buruh gendong ini terbagi sif, ada yang subuh dan ada yang siang. ”Yang subuh ini seharusnya pulang sekitar jam 10, tapi ternyata tetap menunggu demi mendapatkan makan siang,” ujarnya. Karena itulah, saat ini dapur umum juga membagikan sarapan kepada buruh yang bekerja subuh. ”Kami tidak tega mereka harus terus menunggu untuk mendapatkan makan,” jelasnya kepada Jawa Pos, kemarin (19/7). Kendati berfokus untuk dapur umum, para relawan tetap tak menutup mata dan telinga. Mereka sempat mendapatkan keluhan tentang toilet pasar yang masih berbayar. ”Buruh gendong itu harus membayar Rp2.000 tiap ke toilet,” katanya. Padahal, akibat PPKM, pendapatan mereka sampai pukul 12:00 kerap kali hanya itu tadi, Rp2.000. Tentu saja, para relawan merasa ada ketidakadilan. Karena itu, para relawan lantas menggunakan semua akses untuk meminta Pemerintah Kota Yogyakarta menggratiskan toilet bagi buruh gendong. ”Akhirnya, sekarang gratis,” ungkapnya. Dengan mendengar kisah pilu itu, para relawan juga merasakan bahwa buruh gendong sama sekali tak mendapatkan perhatian pemerintah. Salah satunya terkait dengan standar tarif buruh gendong. ”Selama puluhan tahun, tidak ada standarnya,” ujarnya. Akhirnya, kerap kali buruh gendong itu harus mengangkat beban 25 kilogram demi mendapatkan uang Rp2.000. ”Jelas sekali, buruh gendong yang turut membantu roda perekonomian berputar ini tidak diperhatikan,” tegasnya. Hingga kini, relawan Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan Jogja telah membantu buruh gendong di empat pasar. Yakni, Beringharjo, Giwangan, Gamping, dan Kranggan. Jumlah buruh gendong perempuan yang dibantu makan siang mencapai 218 orang. Jumlah itu bisa berkurang dan bertambah setiap hari. Bukan hanya itu, dapur umum ini juga telah berkembang membantu tenaga medis di RSUP dr Sardjito. Ada seratus porsi makan siang yang dibagikan setiap hari di rumah sakit tersebut. ”Lalu, ada juga aktivis yang sedang isoman dengan jumlah 25 porsi per hari,” ujarnya. Donatur dapur umum itu begitu beragam, dari Yogyakarta hingga seluruh Indonesia. Dari individu hingga kelompok. Bahkan, petani lahan pantai di Kulon Progo yang tergusur ikut membantu memberikan bahan baku sayuran. Sayangnya, selama sepuluh bulan ini, tak ada seorang pun perwakilan pemerintahan yang membantu. (jp/feb/run)