Melihat kondisi empiris kehidupan berbangsa dan bernegara kita hari ini di tengah pandemi Covid-19, rasanya kita yang hidup di negara beragama (religious state) perlu sesekali melakukan perenungan. Potret pejabat yang korupsi bansos, ketimpangan sosial dan ketidakadilan hukum, praktik hukum yang tajam ke bawah mantul ke atas, pengerukan Sumber Daya Alam yang tidak terbatas, maraknya pemuda tawuran, pesta miras, narkoba, dan free sex, tingkah laku para elit dan pejabat yang semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila, para da’I/muballigh yang menjual ayat dan agama demi kepentingan pribadi, para politisi yang pandai mengobral janji tanpa realisasi, merebaknya berita hoax, masifnya ujaran kebencian dan potret-potret miris lainnya yang bisa kita lihat di ruang publik dan media sosial, membuat media sosial kini kehilangan makna hakikinya, sehingga berubah menjadi media asosial. Pada titik ini kemudian muncul satu pertanyaan mendasar, sebagai negara beragama (religious state), “apakah agama (dengan ajaran dan nilai luhurnya) masih hadir di dalam kehidupan kita?” pertanyaan ini menjadi penting karena dasar ontologi dari hadirnya agama ke dunia ini yaitu membawa etika moral dan nilai keadaban. Tidaklah aku diutus ke muka bumi, melainkan menyempurnakan etika moral dan nilai keadaban (akhlak), begitu Sabda Nabi Muhammad Saw. Etika moral dan nilai keadaban yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw tersebut seharusnya mampu didiseminasikan ke dalam kehidupan masyarakat. Jika masyarakat masih miskin akhlak, tidak beretika moral dan jauh dari nilai keadaban, maka bisa dipastikan agama sedang tidak hadir di dalam kehidupan manusia. Umat Islam terjebak ke dalam formalisme keagamaan. Islam hanya jadi slogan, konstruksi sosial yang dibangun seperti Islam way of life tidak lagi menjadi kebanggaan bagi umat Islam sendiri. Ibadah sholat hanya sebatas menggugurkan kewajiban, puasa hanya sekedar ikut-ikutan, berzakat, berinfaq, dan bersedekah karena gengsi, ibadah haji hanya sebatas berwisata, al-Qur’an yang dibaca hanya sampai tenggorokan tidak merasuk ke dalam relung hati. Dalam studi antropologi disebutkan, bahwa agama dibutuhkan saat manusia berawal dari kelompok homogen yang paling kecil (band level societies) lalu menjadi kelompok heterogen yang paling besar (tribal level societies) dengan membawa sifat dan karakteristik yang lebih kompleks. Dalam hal ini, manusia dengan beragam sifat dan karakter yang berbeda, membutuhkan tautan yang mampu saling menghubungkan satu sama lain, baik secara genetik maupun non-genetik. Tautan tersebut diejawantahkan dalam bentuk penyembahan atau pemujaan kepada leluhur, kepada Tuhan Yang Esa. Membicarakan soal relasi agama dan negara, Yudi Latif seorang Cendikiawan Muslim pernah menguraikan sisi ontologis sebuah agama. Kalau kita urai makna agama dalam Bahasa Inggris, disebut religion, berasal dari Bahasa Latin religare artinya mengikat, atau reconnection berarti menghubungkan kembali, atau rebinding artinya mengikat ulang. Maksudnya mengikat hubungan atau menghubungkan kembali dengan Tuhan. Ini dimaknai bahwa agama menuntun kita untuk selalu terhubung dengan sesuatu yang sakral, yang supreme. Dengan kata lain, agama membawa kita menghubungkan dunia bawah yang profan/ imanen/eksoteris ke dunia atas yang sakral/transenden/esoteris. Pada awal sejarahnya, kehidupan manusia tidak jauh berbeda dengan hewan primata simpanse, bahkan dalam penelitian biologi disebutkan antara 85 persen hingga 95 persen DNA manusia sama persis atau identik dengan simpanse, ini artinya dalam diri kita mengalir predisposisi simpanse. Seperti memiliki sifat selfish (mementingkan diri sendiri/individualistis), kemudian dalam hidup bersosial cenderung hanya berkelompok dengan yang sama warna kulitnya, sama sukunya, sama bahasanya, atau sama genetiknya. Hubungan yang terjadi semacam ini, disebut dengan pola hubungan dominatif. Karakteristik kehidupan simpanse hampir sama dengan manusia, seperti adanya pemilihan seorang pemimpin dalam komunitasnya, namun uniknya dalam kepemimpinan simpanse ini yang dipilih bukan hanya simpanse yang paling besar dan kuat, namun juga yang mampu melakukan pencitraan di dalam kelompoknya. Saat simpanse terpilih menjadi pemimpin, maka apapun yang dikehendakinya wajib dipenuhi oleh pengikutnya, artinya leadership dalam dunia simpanse itu bersifat dilayani bukan melayani. Memang hubungan dominatif ini dilakukan untuk memberikan kesempatan bagi anggota komunitas simpanse melangsungkan dan mempertahankan keturunannya. Selain itu, hubungan dominatif dalam dunia simpanse juga bersifat male supremacy, artinya berpusat pada jantan/laki-laki, dan penguasaan ruang publik hanya boleh diisi oleh kelompok simpanse yang sama identitasnya. Dari argumentasi ini kita bisa belajar bahwa dalam dunia kepemimpinan, jika seorang pemimpin hanya ingin dilayani saja, bertindak otoriter, mengharamkan wanita menjadi pemimpin, maka tidak jauh berbeda dengan dunia simpanse. Diatas dijelaskan, bahwa manusia pada awal mula sejarahnya persis hidup seperti makhluk primata simpanse. Namun beruntungnya, kita ini menjadi satu-satunya makhluk yang dibekali “akal” oleh Tuhan, satu kelebihan, anugerah, yang bisa mengubah cara pandang dan membangun peradaban dengan mengembangkan gagasan believes and values. Dengan believes mampu membangun peradaban, dengan values mampu mengembangkan etika moral dan nilai keadaban. Sehingga argumentasi inilah yang membuat manusia mengalami transendensi dari kecenderungan primata menjadi kecenderungan manusia. (bersambung)