Senin, 22 Desember 2025

Mendiseminasikan Etika Moral dan Nilai Keadaban dalam Ruang Publik di Tengah Pandemi (1)

- Rabu, 1 September 2021 | 10:10 WIB

Melihat kondisi empiris ke­hidupan berbangsa dan berne­gara kita hari ini di tengah pandemi Covid-19, rasanya kita yang hidup di negara bera­gama (religious state) perlu sesekali melakukan pe­renungan. Potret pejabat yang korupsi bansos, ke­timpangan sosial dan ketidakadilan hukum, praktik hukum yang tajam ke bawah mantul ke atas, pengerukan Sumber Daya Alam yang tidak terbatas, maraknya pemuda tawuran, pesta miras, narkoba, dan free sex, tingkah laku para elit dan pejabat yang semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila, para da’I/muballigh yang menjual ayat dan agama demi kepentingan pribadi, para politisi yang pandai men­gobral janji tanpa realisasi, merebaknya berita hoax, ma­sifnya ujaran kebencian dan potret-potret miris lainnya yang bisa kita lihat di ruang publik dan media sosial, mem­buat media sosial kini kehi­langan makna hakikinya, sehingga berubah menjadi media asosial. Pada titik ini kemudian muncul satu per­tanyaan mendasar, sebagai negara beragama (religious state), “apakah agama (dengan ajaran dan nilai luhurnya) masih hadir di dalam kehidu­pan kita?” pertanyaan ini menjadi penting karena dasar ontologi dari hadirnya agama ke dunia ini yaitu membawa etika moral dan nilai keadaban. Tidaklah aku diutus ke muka bumi, melainkan menyem­purnakan etika moral dan nilai keadaban (akhlak), be­gitu Sabda Nabi Muhammad Saw. ­ Etika moral dan nilai keada­ban yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw tersebut se­harusnya mampu didisemi­nasikan ke dalam kehidupan masyarakat. Jika masyarakat masih miskin akhlak, tidak beretika moral dan jauh dari nilai keadaban, maka bisa di­pastikan agama sedang tidak hadir di dalam kehidupan manusia. Umat Islam terjebak ke dalam formalisme keaga­maan. Islam hanya jadi slogan, konstruksi sosial yang dibangun seperti Islam way of life tidak lagi menjadi kebanggaan bagi umat Islam sendiri. Ibadah sholat hanya sebatas meng­gugurkan kewajiban, puasa hanya sekedar ikut-ikutan, berzakat, berinfaq, dan ber­sedekah karena gengsi, ibadah haji hanya sebatas berwisata, al-Qur’an yang dibaca hanya sampai tenggorokan tidak merasuk ke dalam relung hati. Dalam studi antropologi disebutkan, bahwa agama dibutuhkan saat manusia berawal dari kelompok ho­mogen yang paling kecil (band level societies) lalu menjadi kelompok heterogen yang paling besar (tribal level so­cieties) dengan membawa sifat dan karakteristik yang lebih kompleks. Dalam hal ini, manusia dengan beragam sifat dan karakter yang ber­beda, membutuhkan tautan yang mampu saling meng­hubungkan satu sama lain, baik secara genetik maupun non-genetik. Tautan tersebut diejawantahkan dalam ben­tuk penyembahan atau pe­mujaan kepada leluhur, ke­pada Tuhan Yang Esa. Membicarakan soal relasi agama dan negara, Yudi Latif seorang Cendikiawan Muslim pernah menguraikan sisi on­tologis sebuah agama. Kalau kita urai makna agama dalam Bahasa Inggris, disebut reli­gion, berasal dari Bahasa Latin religare artinya mengikat, atau reconnection berarti meng­hubungkan kembali, atau rebinding artinya mengikat ulang. Maksudnya mengikat hubungan atau menghubung­kan kembali dengan Tuhan. Ini dimaknai bahwa agama menuntun kita untuk selalu terhubung dengan sesuatu yang sakral, yang supreme. Dengan kata lain, agama mem­bawa kita menghubungkan dunia bawah yang profan/ imanen/eksoteris ke dunia atas yang sakral/transenden/eso­teris. Pada awal sejarahnya, ke­hidupan manusia tidak jauh berbeda dengan hewan pri­mata simpanse, bahkan dalam penelitian biologi disebutkan antara 85 persen hingga 95 persen DNA manusia sama persis atau identik dengan simpanse, ini artinya dalam diri kita mengalir predispo­sisi simpanse. Seperti memi­liki sifat selfish (mementingkan diri sendiri/individualistis), kemudian dalam hidup ber­sosial cenderung hanya ber­kelompok dengan yang sama warna kulitnya, sama sukunya, sama bahasanya, atau sama genetiknya. Hubungan yang terjadi semacam ini, disebut dengan pola hubungan domi­natif. Karakteristik kehidupan simpanse hampir sama dengan manusia, seperti ada­nya pemilihan seorang pe­mimpin dalam komunitasnya, namun uniknya dalam kepe­mimpinan simpanse ini yang dipilih bukan hanya sim­panse yang paling besar dan kuat, namun juga yang mam­pu melakukan pencitraan di dalam kelompoknya. Saat simpanse terpilih menjadi pemimpin, maka apapun yang dikehendakinya wajib dip­enuhi oleh pengikutnya, ar­tinya leadership dalam dunia simpanse itu bersifat dilay­ani bukan melayani. Memang hubungan dominatif ini dila­kukan untuk memberikan kesempatan bagi anggota komunitas simpanse melangs­ungkan dan mempertahankan keturunannya. Selain itu, hubungan dominatif dalam dunia simpanse juga bersifat male supremacy, artinya ber­pusat pada jantan/laki-laki, dan penguasaan ruang publik hanya boleh diisi oleh kelom­pok simpanse yang sama identitasnya. Dari argumen­tasi ini kita bisa belajar bahwa dalam dunia kepemimpinan, jika seorang pemimpin hanya ingin dilayani saja, bertindak otoriter, mengharamkan wa­nita menjadi pemimpin, maka tidak jauh berbeda dengan dunia simpanse. Diatas dijelaskan, bahwa manusia pada awal mula se­jarahnya persis hidup se­perti makhluk primata sim­panse. Namun beruntungnya, kita ini menjadi satu-satunya makhluk yang dibekali “akal” oleh Tuhan, satu kelebihan, anugerah, yang bisa mengu­bah cara pandang dan membangun peradaban dengan mengembangkan gagasan believes and values. Dengan believes mampu membangun peradaban, dengan values mampu mengembangkan etika moral dan nilai keadaban. Sehing­ga argumentasi inilah yang membuat manusia menga­lami transendensi dari ke­cenderungan primata men­jadi kecenderungan manusia. (bersambung)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X