PRIMATA hidup hanya mengikuti seleksi alam atau kebebasan alamiah (Natural Liberty), artinya simpanse hanya hidup mengikuti alur seleksi alam, hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang, siapa yang ikatan primordialnya kuat dia yang bertahan. Sementara manusia dengan etika moral dan nilai keadabannya mampu keluar dari kepompong primordialisme, menegaskan bahwa manusia sederajat, equal, saling bersaudara, silih asah, silih asih, dan silih asuh. Di dalam al-Qur’an disebutkan, manusia sebagai Ummatan Wahidah umat yang satu. ”Dan sesungguhnya inilah umat kamu umat yang satu, dan Aku adalah Tuhan kamu, maka bertakwalah kepada-Ku.” (QS. Al- Mu‟minûn [23]: 52). Dalam ayat lain: “Sesungguhnya inilah agama kamu, agama yang satu dan Akulah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiyâ‟ [21]: 92). Kedua ayat di atas termasuk ke dalam kategori ayat Makkiyah, lebih banyak mengacu kepada ide kesatuan dengan mengakomodir berbagai kelompok primordial masyarakat, termasuk pada penekanan titik temu berbagai kepercayaan di dalam masyarakat. Pandangan inilah yang tidak dimiliki oleh primata simpanse. Di sisi lain, manusia juga bisa membentuk etika moral dan nilai keadaban, seperti ungkapan dalam hadis Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan at-Tirmidzi: “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Dzat yang Maha penyayang. Hendaklah kalian sayangi orang yang ada di bumi, niscaya Dzat yang ada di langit akan mencintai kalian. Dari hadis ini kita bisa belajar tentang konsep saling mengasihi dan menyayangi antar sesama. Dengan inilah manusia mengembangkan kebebasan sipil yang berkeadaban (Civil Liberty). Dengan demikian, disinilah pentingnya agama hadir untuk mentransendensikan insting kebinatangan menjadi insting kemanusiaan.