Senin, 22 Desember 2025

Mendiseminasikan Etika Moral dan Nilai Keadaban dalam Ruang Publik di Tengah Pandemi (Habis)

- Jumat, 3 September 2021 | 10:01 WIB

DALAM perkembangannya kemu­dian, agama tidak saja membawa etika moral dan nilai keadaban, namun juga mampu menjadi springboard bagi terbentuknya suatu tatanan negara modern. Pembentukan negara pada tingkatan awalnya menurut Max Weber (1968) bersifat patrimonialistik, artinya seorang Kepala Negara menguasai dan memegang kendali penuh ter­hadap penyelenggaraan pe­merintahan dan kekuatan militer. Hal ini kemudian yang mempersepsikan bahwa se­buah negara menjadi eksklusif. Dengan kata lain karakteristik negara patrimonialistik menurut Weber ini mengarah kepada Otoritarianisme. Dulu saat sis­tem patrimonialistik ini dite­rapkan di Eropa, dapat dilihat dari dukungan kepada pengu­asa yang diperoleh bukan dari kelompok aristokrasi, namun berasal dari kalangan budak dan tantara bayaran, yang dikontrol sepenuhnya oleh penguasa. Hal ini terjadi akibat dari sistem ekonomi yang ka­pitalistik. ­ Model pembentukan negara seperti ini menurut Yudi Latif bersifat primitif, tidak ada in­tervensi agama di dalamnya. Dengan kata lain, negara dip­ersonalisasikan hanya milik individu atau kelompok ter­tentu saja. Lain halnya saat ajaran dan nilai luhur agama diinternalisasikan ke dalam kehidupan negara, maka akan mampu berkembang menjadi sebuah tatanan negara modern yang lebih inklusif, terbuka, membentuk tata tertib sosial, menghargai perbedaan, ne­gara milik semua warga ne­gara, memegang prinsip per­samaan di mata hukum, dan memegang nilai etika moral serta nilai keadaban lainnya. Lebih lanjut, Islam kemudian hadir mewarnai tatanan ne­gara modern sebagai logosentris, artinya membawa ajaran etika moral dan nilai keadaban yang bersumber dari teks yang suci yaitu al-Qur’an. Awal mula perkembangan Islam, dimulai dari antroposentris, artinya memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semes­ta, bahkan masyarakat Arab Jahiliyah pada saat itu meny­embah patung, memuja api (Zoroaster). Namun kemudian, Nabi Muhammad Saw hadir membawa perubahan dari antroposentris menjadi logo­sentris, artinya sumber etika moral dan nilai keadaban bu­kan dari makhluk atau patung yang disembah, melainkan dari teks al-Qur’an suci yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Puncak kesuksesan kepemim­pinan Nabi Muhammad Saw dalam bidang politik dan pe­merintahan ialah mampu membuat sebuah kesepakatan yang disebut dengan Piagam Madinah (Madinah Charter). Piagam Madinah menjadi bukti bahwa Islam sebagai agama perdamaian dan per­saudaraan. Sekaligus menjadi common platform dari realitas kemajemukan atau heteroge­nitas masyarakat Madinah. Jadi sebenarnya umat Islam punya modal yang kuat untuk membentuk hubungan kene­garaan yang bukan bersifat patrimonialistik, namun ber­sifat impersonal, artinya umat Islam punya syarat dan rukun yang cukup untuk membentuk tatanan negara modern. Dalam membentuk tatanan negara modern, basis idealnya harus berdasarkan kepada meritokrasi, dimana seseorang dipilih menjadi pemimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan atas dasar ke­kayaan, senioritas, apalagi berasal dari keturunan suku, bahkan bukan dari siapa yang punya modal. Konsep negara meritokrasi ini dalam sejarah­nya dipraktikan oleh China dengan Sistem Mandarin China, setidaknya pada abad keenam sebelum masehi yang dicetuskan oleh seorang Filsuf Sosial China bernama Kong Hu Cu atau Konfusius (551 – 479 SM), yang menemukan gagasan bahwa siapapun yang memerin­tah atau memimpin harus berdasarkan prestasi, betul-betul professional, diseleksi secara ketat dan berjenjang, tidak peduli latar belakangnya seperti apa, meskipun anak petani, anak tukang becak, asal punya kompetensi memimpin, maka dialah yang menjadi pe­mimpin. Belajar dari sejarah, dari sini kita bisa mengerti mengapa Negara China dengan partai politiknya tunggal, yaitu Partai Komunis China (PKC), mam­pu bertransformasi menjadi negara maju, karena tradisi negara modern yang berbasis meritokrasi betul-betul diimple­mentasikan. Berbeda dengan Negara Indonesia yang menga­nut sistem demokrasi, seper­tinya kita bisa menilai bahwa Negara Indonesia masih ber­sifat Patrimonialistik. Bahkan lebih jauh dikatakan bahwa oligarki hari ini justru mem­boncengi sistem demokrasi Indonesia. Ini menjadi otokritik bagi kehidupan keagamaan di ne­gara kita. Jika memang harus disebut sebagai negara bera­gama (religious state), semes­tinya kehidupan berbangsa dan bernegara wajib menjunjung tinggi etika moral agama dan nilai keadaban yang terangkum dalam Pancasila yang menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai luhur Pan­casila harus didiseminasikan ke dalam kehidupan masyara­kat melalui Pendidikan berba­sis Pancasila. Sebagaimana yang diingatkan oleh seorang Filsuf Immanuel Kant (1724 – 1804), bahwa da­lam diri manusia terdapat ra­dical evil yang mengalirkan insting kebinatangan, artinya manusia secara alami memi­liki kecenderungan menjadi jahat, oleh karenanya agama (ajaran dan nilai luhurnya) harus hadir di ruang publik agar orang-orang mampu keluar dari insting kebinatangan ter­sebut dengan mengedepankan etika moral dan nilai keadaban dalam kehidupannya. Ada hal menarik yang diutarakan oleh Kant, menurutnya salah satu instrument atau alat untuk mewujudkan etika moral dan nilai keadaban ialah tempat ibadah. Kant menyebutnya dengan istilah “the Church of Etchic”, atau jika dikaitkan dengan Islam menjadi “the Mosque of Ethic”, artinya Ge­reja atau Masjid menjadi sum­ber etika dan moral suatu ma­syarakat. Jika tempat ibadah tidak mampu menjadi sumber etika dan moral, penuh dengan provokasi, hasutan dan ujaran kebencian, maka saat itulah nilai keagamaan manusia le­nyap, kehilangan arah untuk mewujudkan masyarakat yang beradab. Dalam perspektif lain dise­butkan, bahwa manusia seja­tinya dikendalikan oleh insting, libido atau hawa nafsu yang sudah tertanam sejak manusia pertama Nabi Adam diciptakan. Akibat dari nafsu Nabi Adam terhadap Siti Hawa yang tidak bisa dikendalikan saat berada di surga pada saat itu, akhirnya mereka berdua dikeluarkan dan dibuang ke bumi. Maka, salah satu cara agar manusia bisa selamat dari insting kebi­natangannya, yaitu dengan berjejaring dalam jaringan kebaikan. Dalam Islam disebut dengan Fastabiqul Khairat, berkompetisi melakukan amal sholeh. Sementara, al-Qur’an dengan jelas membagi hakikat manu­sia kepada tiga bentuk, yaitu: Basyar, manusia adalah makhluk biologis. Lalu al-Insan, manu­sia adalah Khalifah atau pemi­kul amanah di bumi. Kemu­dian al-Nas, manusia adalah makhluk sosial. Ketiga hakikat inilah yang mesti kita pahami bersama agar mampu menga­rahkan kehidupan kita men­jadi manusia seutuhnya yang menjunjung tinggi etika moral dan nilai keadaban. Sebagai penutup, di tengah perjuangan kita melawan pan­demi Covid-19, penulis menga­jak kepada semua elemen masyarakat untuk bersama-sama mendiseminasikan kem­bali etika moral dan nilai keada­ban dalam ruang publik, se­perti meningkatkan kepekaan dan kepedulian sosial, bergo­tong royong meringankan be­ban para tenaga kesehatan dan para korban covid-19, serta meningkatkan level keshalehan dari individu menjadi kesaa­lehan sosial. (*).

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X