DALAM perkembangannya kemudian, agama tidak saja membawa etika moral dan nilai keadaban, namun juga mampu menjadi springboard bagi terbentuknya suatu tatanan negara modern. Pembentukan negara pada tingkatan awalnya menurut Max Weber (1968) bersifat patrimonialistik, artinya seorang Kepala Negara menguasai dan memegang kendali penuh terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan kekuatan militer. Hal ini kemudian yang mempersepsikan bahwa sebuah negara menjadi eksklusif. Dengan kata lain karakteristik negara patrimonialistik menurut Weber ini mengarah kepada Otoritarianisme. Dulu saat sistem patrimonialistik ini diterapkan di Eropa, dapat dilihat dari dukungan kepada penguasa yang diperoleh bukan dari kelompok aristokrasi, namun berasal dari kalangan budak dan tantara bayaran, yang dikontrol sepenuhnya oleh penguasa. Hal ini terjadi akibat dari sistem ekonomi yang kapitalistik. Model pembentukan negara seperti ini menurut Yudi Latif bersifat primitif, tidak ada intervensi agama di dalamnya. Dengan kata lain, negara dipersonalisasikan hanya milik individu atau kelompok tertentu saja. Lain halnya saat ajaran dan nilai luhur agama diinternalisasikan ke dalam kehidupan negara, maka akan mampu berkembang menjadi sebuah tatanan negara modern yang lebih inklusif, terbuka, membentuk tata tertib sosial, menghargai perbedaan, negara milik semua warga negara, memegang prinsip persamaan di mata hukum, dan memegang nilai etika moral serta nilai keadaban lainnya. Lebih lanjut, Islam kemudian hadir mewarnai tatanan negara modern sebagai logosentris, artinya membawa ajaran etika moral dan nilai keadaban yang bersumber dari teks yang suci yaitu al-Qur’an. Awal mula perkembangan Islam, dimulai dari antroposentris, artinya memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta, bahkan masyarakat Arab Jahiliyah pada saat itu menyembah patung, memuja api (Zoroaster). Namun kemudian, Nabi Muhammad Saw hadir membawa perubahan dari antroposentris menjadi logosentris, artinya sumber etika moral dan nilai keadaban bukan dari makhluk atau patung yang disembah, melainkan dari teks al-Qur’an suci yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Puncak kesuksesan kepemimpinan Nabi Muhammad Saw dalam bidang politik dan pemerintahan ialah mampu membuat sebuah kesepakatan yang disebut dengan Piagam Madinah (Madinah Charter). Piagam Madinah menjadi bukti bahwa Islam sebagai agama perdamaian dan persaudaraan. Sekaligus menjadi common platform dari realitas kemajemukan atau heterogenitas masyarakat Madinah. Jadi sebenarnya umat Islam punya modal yang kuat untuk membentuk hubungan kenegaraan yang bukan bersifat patrimonialistik, namun bersifat impersonal, artinya umat Islam punya syarat dan rukun yang cukup untuk membentuk tatanan negara modern. Dalam membentuk tatanan negara modern, basis idealnya harus berdasarkan kepada meritokrasi, dimana seseorang dipilih menjadi pemimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan atas dasar kekayaan, senioritas, apalagi berasal dari keturunan suku, bahkan bukan dari siapa yang punya modal. Konsep negara meritokrasi ini dalam sejarahnya dipraktikan oleh China dengan Sistem Mandarin China, setidaknya pada abad keenam sebelum masehi yang dicetuskan oleh seorang Filsuf Sosial China bernama Kong Hu Cu atau Konfusius (551 – 479 SM), yang menemukan gagasan bahwa siapapun yang memerintah atau memimpin harus berdasarkan prestasi, betul-betul professional, diseleksi secara ketat dan berjenjang, tidak peduli latar belakangnya seperti apa, meskipun anak petani, anak tukang becak, asal punya kompetensi memimpin, maka dialah yang menjadi pemimpin. Belajar dari sejarah, dari sini kita bisa mengerti mengapa Negara China dengan partai politiknya tunggal, yaitu Partai Komunis China (PKC), mampu bertransformasi menjadi negara maju, karena tradisi negara modern yang berbasis meritokrasi betul-betul diimplementasikan. Berbeda dengan Negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi, sepertinya kita bisa menilai bahwa Negara Indonesia masih bersifat Patrimonialistik. Bahkan lebih jauh dikatakan bahwa oligarki hari ini justru memboncengi sistem demokrasi Indonesia. Ini menjadi otokritik bagi kehidupan keagamaan di negara kita. Jika memang harus disebut sebagai negara beragama (religious state), semestinya kehidupan berbangsa dan bernegara wajib menjunjung tinggi etika moral agama dan nilai keadaban yang terangkum dalam Pancasila yang menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai luhur Pancasila harus didiseminasikan ke dalam kehidupan masyarakat melalui Pendidikan berbasis Pancasila. Sebagaimana yang diingatkan oleh seorang Filsuf Immanuel Kant (1724 – 1804), bahwa dalam diri manusia terdapat radical evil yang mengalirkan insting kebinatangan, artinya manusia secara alami memiliki kecenderungan menjadi jahat, oleh karenanya agama (ajaran dan nilai luhurnya) harus hadir di ruang publik agar orang-orang mampu keluar dari insting kebinatangan tersebut dengan mengedepankan etika moral dan nilai keadaban dalam kehidupannya. Ada hal menarik yang diutarakan oleh Kant, menurutnya salah satu instrument atau alat untuk mewujudkan etika moral dan nilai keadaban ialah tempat ibadah. Kant menyebutnya dengan istilah “the Church of Etchic”, atau jika dikaitkan dengan Islam menjadi “the Mosque of Ethic”, artinya Gereja atau Masjid menjadi sumber etika dan moral suatu masyarakat. Jika tempat ibadah tidak mampu menjadi sumber etika dan moral, penuh dengan provokasi, hasutan dan ujaran kebencian, maka saat itulah nilai keagamaan manusia lenyap, kehilangan arah untuk mewujudkan masyarakat yang beradab. Dalam perspektif lain disebutkan, bahwa manusia sejatinya dikendalikan oleh insting, libido atau hawa nafsu yang sudah tertanam sejak manusia pertama Nabi Adam diciptakan. Akibat dari nafsu Nabi Adam terhadap Siti Hawa yang tidak bisa dikendalikan saat berada di surga pada saat itu, akhirnya mereka berdua dikeluarkan dan dibuang ke bumi. Maka, salah satu cara agar manusia bisa selamat dari insting kebinatangannya, yaitu dengan berjejaring dalam jaringan kebaikan. Dalam Islam disebut dengan Fastabiqul Khairat, berkompetisi melakukan amal sholeh. Sementara, al-Qur’an dengan jelas membagi hakikat manusia kepada tiga bentuk, yaitu: Basyar, manusia adalah makhluk biologis. Lalu al-Insan, manusia adalah Khalifah atau pemikul amanah di bumi. Kemudian al-Nas, manusia adalah makhluk sosial. Ketiga hakikat inilah yang mesti kita pahami bersama agar mampu mengarahkan kehidupan kita menjadi manusia seutuhnya yang menjunjung tinggi etika moral dan nilai keadaban. Sebagai penutup, di tengah perjuangan kita melawan pandemi Covid-19, penulis mengajak kepada semua elemen masyarakat untuk bersama-sama mendiseminasikan kembali etika moral dan nilai keadaban dalam ruang publik, seperti meningkatkan kepekaan dan kepedulian sosial, bergotong royong meringankan beban para tenaga kesehatan dan para korban covid-19, serta meningkatkan level keshalehan dari individu menjadi kesaalehan sosial. (*).