”Di mana ada kemauan, di situ ada jalan,” pepatah itu tampaknya menjadi pedoman Yesti Rambu Jola Pati. Perempuan asal Nusa Tenggara Timur (NTT) itu nekat merantau ke Surabaya untuk bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART). Di Surabaya pula ia sekaligus menuntaskan pendidikan sarjananya di Universitas dr Soetomo (Unitomo). Penuh liku-liku. TANGIS Yesti tak terbendung saat namanya dipanggil dalam acara wisuda Unitomo yang diselenggarakan secara luring di Dyandra Convention Hall, Jalan Basuki Rahmat, Sabtu (25/9). Penantian panjang untuk menuntaskan kuliah di jurusan pendidikan matematika akhirnya berakhir. Setelah berjuang selama tujuh tahun, perempuan kelahiran 1994 itu lulus dengan hasil yang baik. ”Saya langsung terbayang tujuh tahun lalu. Tepatnya pada Juli 2013. Saat saya mengambil keputusan untuk merantau ke Surabaya selepas lulus SMA,” tuturnya. Nekat dan berani. Dua kata itulah yang menjadi pegangan Yesti saat memberanikan diri pergi ke Kota Pahlawan. Orang tua kala itu sempat tak mendukung. Namun, ia tetap memaksa. ”Saya harus mengubah kondisi keluarga,” katanya. Dengan uang seadanya, ia lantas menjumpai kerabat jauh yang tak terlalu dikenalnya. ”Niat awal memang untuk bekerja. Belum kepikiran melanjutkan kuliah,” ujar Yesti. Setelah berjuang mencari-cari pekerjaan, dia akhirnya diterima pengusaha bidang parfum di Nginden Intan Barat dan menetap di sana. Dia menjadi asisten rumah tangga. ”Nah, pada akhir 2013, sudah muncul niat untuk kuliah. Lalu, saya nekat pergi ke Unitomo pada awal 2014,” jelasnya. Saat itu, ia baru mengumpulkan uang Rp2,7 juta dari hasil bekerja selama ini. Yesti sebenarnya sudah tak yakin diperbolehkan mendaftar atau tidak. Sebab, saat itu DP pendaftaran mencapai Rp4 juta. ”Namun, lagi-lagi saya nekat,” ungkap anak kelima di antara enam bersaudara tersebut. Orang pertama yang dikunjunginya adalah petugas satpam. Ia menanyakan alur masuk ke kampus Unitomo kepada petugas satpam. Yesti lantas diarahkan ke bagian administrasi. Di situlah ia memohon kepada bagian administrasi untuk memperbolehkannya kuliah di Unitomo. ”Saya pun diberi izin. Dengan perjanjian, setiap bulan saya harus bayar uang pembangunan,” ungkap Yesti. Kuliah yang ditempuhnya tidaklah mudah. Ia sempat cuti pada 2016 dan 2018 karena ada problem besar yang dihadapi. Karena cuti itulah, ia hampir saja di-drop out (DO) seandainya tak melanjutkan kuliah pada 2019. ”Soalnya, saya hampir habis limit,” katanya. Tak ingin semua usahanya sia-sia, Yesti pun banting tulang untuk menyelesaikan skripsinya. Ia juga telaten membagi waktu pekerjaan sebagai ART yang terus bertambah banyak. ”Sampai-sampai, saya sering hanya tidur empat jam. Tidur pukul 02:00, saya harus sudah bangun pada pukul 06:00,” ungkapnya. Yesti tak menyangka, liku-liku kehidupan membawanya ke garis finis. Mulai membawa bekal seadanya hingga nekat menyambangi kampus untuk melanjutkan pendidikan, kini Yesti menengadah dan bersyukur bisa melalui itu semua. ”Saya berterima kasih kepada semua orang yang mendukung. Keluarga dan tentu majikan yang telah memberi saya penginapan dan pekerjaan,” tuturnya. Kini ada harapan besar yang harus dia wujudkan. Yaitu, mengabdi untuk kampung halaman di Sumba. Yesti punya impian besar menjadi guru dan mengangkat derajat pendidikan masyarakat di kampungnya. ”Saya punya tanggung jawab moral sebagai sarjana pendidikan. Saya ingin mengabdi,” jelasnya. Ahmad Hatip, dosen pembimbing, salut dengan perjuangan Yesti. Selama ini kegigihan dan ketekunan Yesti berbuah manis. ”Saya kerap memotivasinya di kala jatuh. Setiap orang punya masalah. Tapi, menyerah bukanlah pilihan. Kalimat ini yang saya tanamkan ke dia,” tutup Hatip. (jp/feb/run)