Dua bulan jelang momentum Natal dan Tahun Baru (Nataru), pemerintah telah melempar wacana soal pemberlakuan wajib tes PCR untuk semua jenis angkutan massal. Kemarin, tarif baru tes PCR itu pun sudah dipatok Rp275 ribu khusus wilayah Jawa dan Bali. MENTERI Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan mengatakan, penerapan aturan baru tersebut akan dilakukan bertahap. Nantinya, aturan ini mencakup pengguna moda transportasi darat, laut, dan udara. ”Secara bertahap, penggunaan tes PCR akan diterapkan pada transportasi lainnya untuk mengantisipasi periode Nataru,” kata Luhut dalam keterangan pers. Ia menyebut saat ini tes wajib PCR hanya diberlakukan sebagai syarat naik pesawat. Rencananya, penerapan syarat wajib PCR bagi semua moda transportasi akan dilakukan untuk mencegah kenaikan kasus Covid-19 jelang tahun baru. “Meskipun kasus kita saat ini sudah rendah, belajar dari pengalaman negara lain, kita tetap harus memperkuat 3T dan 3M supaya kasus tidak kembali meningkat. Terutama menghadapi periode libur Nataru. Secara bertahap penggunaan tes PCR akan juga diterapkan pada transportasi lainnya selama dalam mengantisipasi periode Nataru,” ujarnya. Luhut mencontohkan, selama periode Nataru tahun lalu, mobilitas di Pulau Bali meningkat kendati kala itu PCR menjadi syarat utama penerbangan. Kondisi tersebut menyebabkan kasus Covid-19 melonjak. ”Dapat kami sampaikan bahwa mobilitas di Bali saat ini sudah sama dengan Nataru tahun lalu, dan akan terus meningkat sampai akhir tahun ini sehingga meningkatkan risiko kenaikan kasus,” ujarnya. Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir mengatakan, hasil pemeriksaan PCR dengan menggunakan besaran tarif baru Rp275 ribu untuk Jawa dan Bali serta Rp300 ribu untuk luar Jawa dan Bali harus dikeluarkan dengan durasi maksimal 1×24 jam dari pengambilan swab pada pemeriksaan real time PCR. Ia menyebut turunnya harga PCR mempertimbangkan komponen yang dibutuhkan untuk tes PCR seperti reagen hingga alat habis pakai. “Sudah melakukan audit secara transparan dan akuntabel. Sekarang sudah terjadi penurunan harga alat bahan habis pakai, hazmat, dan sebagainya. Ini yang menyebabkan harga bisa diturunkan menjadi Rp275 ribu,” terang Abdul Kadir dalam konferensi pers virtual, Rabu (27/10). Selain itu, bagi fasilitas kesehatan di kabupaten atau kota yang tidak mengikuti surat edaran terbaru tes PCR, akan dikenakan sanksi bila tak ada perbaikan. Peringatan pertama berupa pembinaan. Sanksi bisa diberikan seperti pencabutan izin dan visit operasional. “Sanksi bagi mereka yang tidak menerapkan ketentuan harga PCR terbaru dengan maksimal hasil 1×24 jam,” tegas Abdul. Pihaknya juga meminta faskes kabupaten/kota melakukan pembinaan pengawasan. Jika tidak bisa menahan untuk memaksa mereka mengikuti aturan tersebut, sanksi terakhir bisa dengan penutupan lab dan pencabutan izin operasional. Munculnya kebijakan itu pun banyak disorot masyarakat. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, rencana tersebut bisa saja diterapkan jika harga tes PCR diturunkan secara lebih signifikan. ”Misalnya menjadi Rp100 ribu. Sebab, jika tarifnya masih Rp300 ribu, mana mungkin penumpang bus suruh membayar PCR yang tarifnya lebih tinggi daripada tarif busnya itu sendiri?” kata Tulus dalam keterangan tertulis, Rabu (27/10). Tulus juga mempertanyakan pengendalian wajib tes PCR untuk pengguna kendaraan pribadi. ”Selama ini tak ada pengendalian kendaraan pribadi, baik roda empat dan atau roda dua. Jika tak ada pengendalian yang konsisten dan setara, ini hal yang diskriminatif,” ujar Tulus. YLKI pun menyarankan pemerintah tidak mengharuskan tes PCR atau antigen untuk semua moda transportasi. ”Itu akan menyulitkan dalam pengawasannya. Kembalikan tes PCR untuk keperluan dan ranah medis. Karena, toh, sekarang sudah banyak warga yang divaksinasi,” imbuh Tulus. Jika ditilik ulang, perkara uang Rp275 ribu bagi kalangan atas mungkin bisa jadi receh. Namun, bagaimana nasib kelas menengah ke bawah yang memiliki ekonomi pas-pasan. Ini pula yang dikritisi Jajaka Kota Bogor 2021 Tubagus Agnia. Di satu sisi ia mendukung semangat pemerintah melakukan tes PCR untuk meminimalisasi ledakan Covid-19, di sisi lain ia ingin pemerintah juga memikirkan nasib kaum menengah ke bawah sehingga harga yang dipatok tidak dibuat sama rata. ”Pada dasarnya mendukung, tapi tolong juga harganya disesuaikan. Untuk kaum elite, mungkin uang Rp275 ribu itu receh. Tapi buat kami mahasiswa dan masyarakat kelas bawah itu berharga sekali. Bisa untuk makan seminggu,” ujarnya. Ia pun berharap pemerintah lebih bijak dalam mengambil keputusan. ”Kasihan juga kalau tes PCR itu berlaku untuk semua moda transportasi umum. Yang ada nanti nggak ada yang mau naik angkutan umum. Malah beralih ke kendaraan pribadi. Bisa nambah kemacetan dan lainnya,” ujarnya. Jika dihitung kembali, untuk di Bogor saja, sebuah warung Padang bisa memberikan harga sekali makan Rp10 ribu. Jika dikalikan tiga kali makan, maka sehari menjadi Rp30 ribu. Bila dibandingkan dengan harga tes PCR Rp275 ribu, maka tidak berlebihan jika besaran dibilang bisa cukup untuk makan satu orang per minggu. Seorang pengurus bus di Bogor mengaku keberatan dengan wacana kebijakan wajib PCR di semua moda angkutan umum. Sebab, tanpa persyaratan itu saja jumlah penumpangnya sudah anjlok. ”Kalau ditambah persyaratan itu, sama saja mau membunuh kami pelan-pelan. Masa harga tesnya saja lebih mahal dari harga tiket,” keluhnya. Hal sama diungkapkan Suti (50). Ia yang sering melakukan perjalanan menggunakan pesawat menilai aturan tersebut membebani dengan harga yang begitu mahal. ”Padahal saya sudah vaksin dua kali. Seharusnya itu sudah cukup, ditambah dengan syarat protokol kesehatan yang ketat seperti pakai masker dan tak boleh makan dan minum di pesawat,” jelasnya. Ia menyarankan agar pemerintah fokus mengejar capaian vaksinasi sebagai salah satu protokol kesehatan Covid-19 ketika melakukan perjalanan jarak jauh. ”Lebih baik fokus kejar capaian vaksin saja. Sama jaga prokes,” pintanya. (feb/run)