Minggu, 21 Desember 2025

Raih Kalpataru dari Situs Tersembunyi, Tiga Tahun Pertama Berkomitmen tak Minta Bantuan

- Jumat, 29 Oktober 2021 | 10:20 WIB

Purwo Harsono merintis Mangunan menjadi wanawisata yang berbasis kecintaan terhadap sejarah tutur Kesultanan Mataram. Turut menurunkan jumlah kebakaran dan perambahan hutan, memunculkan sumber-sumber mata air baru, serta mengerek pendapatan asli daerah. MANGUNAN, dalam bahasa masyarakat setem­pat, sering diartikan sebagai mangu-mangu tenan. Alias diam termangu-mangu karena bingung memutuskan sesuatu. Yang bingung dalam cerita tersebut adalah Raden Mas Jatmika alias Susuhunan Hanyakrakusuma alias Sultan Agung dari Mataram. Sultan Agung bingung lantaran seekor burung merak baru saja terbang melintas di dekatnya. ­ Menurut petunjuk Ki Ageng Kajoran, tanah wangi (siti­wangi) yang dicarinya berada di sebuah bukit yang ditandai dengan kehadiran burung merak. Sebelumnya, Imam Besar Masjidilharam Iman Sufingi menganugerahkan segumpal tanah yang diambilkan dari makam Nabi Muhammad SAW kepada Sultan Agung. Tanah tersebut dilemparkan hingga ke Pulau Jawa. Di tanah itulah, kata sang imam besar, Sultan Agung akan dimakamkan. Burung meraknya sudah ada. Dan, tanah yang ia pijak ini pun berbentuk sebuah bukit. Tapi, di mana letak persisnya tanah wangi itu? Apakah di tempat merak tersebut bera­sal, di tempat ia melintasi Raden Mas Jatmika? Atau, di tempat tujuan si burung hing­gap? ”Dalam sejarah tutur masy­arakat, akhirnya perbukitan ini disebut Mangunan. Alias mangu-mangu tenan atau bingung menentukan,” jelas Purwo Harsono pada Jawa Pos Selasa (19/10) pekan lalu. Hutan dan perbukitan Mangunan itulah yang ke­mudian mengantar Ipunk, demikian Purwo Harsono biasa disapa, pada penghar­gaan kalpataru kategori Perin­tis Lingkungan dari Kemen­terian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Berkat kerja kerasnya bersama war­ga sekitar untuk menjadikan Mangunan sebagai wanawi­sata berbasis lingkungan dan kecintaan terhadap sejarah tutur Kesultanan Mataram. Alkisah, setelah melakukan pencarian selama berhari-hari, rombongan Sultan Agung dan para wadyabala Kesul­tanan Mataram akhirnya me­nemukan sebuah tanah wangi di atas bukit (giri) yang dise­limuti kabut (imo) yang kelak menjadi Astana Imogiri, kom­pleks pemakaman raja-raja Mataram Islam, Dinasti Ka­sunanan Surakarta, dan Kesul­tanan Ngayogyakarta Hadinin­grat. Cerita tutur di atas adalah bagian dari kisah perjalanan Sultan Agung menjelajah hu­tan, naik turun bukit dari desa ke desa dan kampung ke kampung untuk menemu­kan tanah wangi tersebut yang dirangkum Purwo dalam le­genda Jajah Desa Milang Kori Nitik Sitiwangi. Nilai historis dari kawasan hutan dan perbukitan di ka­wasan segitiga Pleret, Imo­giri, dan Dlingo, yang semu­anya masuk wilayah Kabupa­ten Bantul, Yogyakarta, itulah yang menjadi inspirasi Ipunk. Khususnya di Desa Mangunan Banyak situs dan titik yang menjadi saksi sejarah peris­tiwa penting. Sebut saja Sen­dang Banyu Panguripan yang menurut cerita dijadikan tempat Sunan Kalijaga me­mandikan jasad Cakrajaya alias Sunan Geseng. Setelah tubuhnya hangus (gosong/ geseng) ikut terbakar bersama pepohonan di sekitar perta­paan Bengkung, tempat dia menunggui tongkat atas titah Sunan Kalijaga. Kemudian, ada situs Jati Kluwih di Pedukuhan Loh Putih di Desa Jatimulya, Ke­camatan Dlingo, tempat Sunan Kalijaga berdebat dengan Sunan Geseng tentang se­buah pohon yang berbatang jati, tetapi berdaun keluih. Sebuah bukit yang disebut Gunung Kendil di Pedukuhan Sudimoro dipercaya sempat dijadikan tempat persingga­han Prabu Brawijaya V dari Majapahit sebelum moksa di Gunung Lawu. Sementara, raja junjungannya bermedi­tasi di Gunung Kendil, dua abdi kinasihnya, Suranggala dan Wiranggala, dua orang yang kerap dikaitkan dengan Sabdopalon dan Noyogeng­gong, menetap di bukit per­tapaan Bengkung. Tidak jauh dari Gunung Kendil. Saat ini situs Gunung Kendil berada di kawasan hutan Su­dimoro, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogya­karta. Sementara, situs peni­tipan pusaka dinamakan Gedong Pusaka. Dikembang­kan menjadi kawasan wana­wisata Pinus Asri. Berbagai fragmen sejarah Mataram dan situs-situs his­toris yang tersembunyi di rerimbunan hutan perbukitan Imogiri dan Dlingo itulah yang dipresentasikan Purwo Har­sono dengan gemetaran di hadapan Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono X pada perempat akhir 2014. Beberapa hari sebelumnya, dia didapuk warga di pedu­kuhan sekitar Mangunan untuk mewakili mereka ber­bicara di hadapan sultan. Padahal, dia sudah lama men­gubur impiannya soal peng­embangan kawasan hutan Mangunan yang pernah di­kemukakannya pada 1997. Semestinya Ipunk berbi­cara banyak tentang peng­embangan hutan wisata serta kesejahteraan petani hutan. Namun, entah grogi atau bagaimana, dia malah berbicara banyak soal situs-situs sejarah tersebut. ”Sejak saya berdiri sampai selesai presentasi, Sri Sultan tidak berbicara apa pun. Be­liau hanya memandangi saya dengan tatapan tajam penuh pengawasan,” tutur Ipunk. Ipunk baru sadar ketika sa­lah seorang abdi dalem meng­ingatkannya bahwa beskap yang dikenakannya adalah motif kembang kuning. Motif yang biasanya khusus dipakai kalangan kesatria. Lazim di­kenakan putra-putra sultan. ”Ditambah lagi keris yang saya kenakan adalah (gayaman, Red) Solo,” kenang Ipunk, lalu tersenyum. Apakah Sultan marah kepa­danya? Tidak ada yang tahu. Nyatanya, setelah Ipunk se­lesai melakukan presentasi, sultan hanya memberikan dawuh singkat, ”Jika memang semua yang kamu katakan itu benar, tolong ditulis. Tidak perlu bagus. Yang penting bisa dibaca. Gubernur akan bantu mewujudkan”. Yang lantas dilanjutkan sul­tan yang juga gubernur Yo­gyakarta itu dengan permin­taan untuk ditunjukkan ke salah satu titik yang dicerita­kan Ipunk. ”Akhirnya, rang­kaian acara itu batal, diganti ndherekke sultan ke salah satu situs,” terang Ipunk. Situs yang dipilih adalah sebuah lembah di tengah hu­tan pinus yang dipercaya menjadi titik lokasi Telaga Mardigda. Telaga legendaris yang tidak kelihatan mata. Ipunk bersama-sama warga Desa Mangunan, Dlingo, dan pedukuhan sekitar akhirnya mulai merintis wilayah per­hutanan setempat untuk men­jadi objek wisata berbasis hutan. Mula-mula dibangun Desa Wisata Kaki Langit pada 2014–2015 di kawasan hutan Pinus Sari. ”Kaki berarti sarana kita da­lam berusaha. Langit adalah sandaran kita dengan Sang Pencipta. Ibu Pertiwi dan Bapa Angkasa. Itu tema yang kami munculkan,” jelasnya. Tiga tahun kemudian, ber­bagai objek wisata bermun­culan. Ada Rumah Literasi di Puncak Becici, Bukit Lintang Sewu dengan kawasan Pinus Asri dan Pintu Langit, Bukit Panguk, Bukit Mojo, Pinus Pengger, serta yang terkenal, kawasan Seribu Batu Songgo Langit yang saat ini ramai dipadati pengunjung. Dalam mengelola situs-situs wisata tersebut, Ipunk be­kerja sama dengan para pe­tani hutan sebagai mitra ut­ama. Setiap situs dikelola satu kelompok petani yang menjadi operator dan bertang­gung jawab terhadap akomo­dasi, fasilitas, dan pengelo­laan situs. Kemudian, dibentuk pula kelompok-kelompok usaha transportasi jip (Langit Terjal), homestay (Atap Langit), ku­liner (Rasa Langit), penggiat budaya (Budaya Langit), cen­deramata (Karya Langit), wi­sata pertanian (Langit Hijau), dan wisata edukasi (Langit Cerdas). Perintisan dilakukan sekitar tiga tahun, mulai 2014 sampai 2017. Baru pada tahun ketiga itulah ada dukungan komitmen anggaran dari Pem­kab Bantul. (jp/feb/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X