Minggu, 21 Desember 2025

Tak Pernah Kembali usai Erupsi Semeru

- Jumat, 10 Desember 2021 | 10:40 WIB

Laporan: NUR ARIFIN (Wartawan Harian Metropolitan)

 METROPOLITAN - ”Bapak, bapak, bapak...!” teriak pemuda 18 tahun dari atas pohon kelapa terdengar sayup-sayup. Langit gelap, pekat tak tertembus cahaya. Awan panas guguran Gunung Semeru menghilangkannya seketika. Erupsi Semeru yang terjadi pada Sabtu kelabu lalu me­ninggalkan duka mendalam bagi pasangan Suhri dan Sri Mulyani. Hingga kini, anak sulung mereka yang baru be­rusia 18 tahun, Rendi Pratama, tak jua ditemukan keberada­annya. Suhri terakhir kali bertemu anaknya pagi hari sebelum berangkat ke tempatnya bia­sa membuat gula merah di Kampung Renteng, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Lumajang, Jawa Timur. Lelaki 40 tahun itu berangkat menggunakan sepeda motor­nya. Saat itu, saat masih men­cari bahan gula dari pohon nira, Gunung Semeru tiba-tiba mengeluarkan awan panas sekira pukul 15:30 WIB. Disu­sul abu yang memenuhi langit Sumberwuluh dan sekitarnya, membuat suasana sore menjadi malam. Gelap gulita seketika. Dalam kepanikan yang tak terkira, Suhri mencoba me­nyelamatkan diri. Diambilnya sepeda motornya lalu tancap gas meski dengan kondisi jalan yang sudah tak terlihat. Kendaraannya pun tak mam­pu menunjukkan jalan ka­rena lampunya sudah lama mati. ”Kondisi sudah gelap. Motor nggak ada lampu. Sudah, ng­gak kelihatan apa-apa,” ujar Suhri saat ditemui di kedia­mannya, Kamis (9/12). Di sisi lain, di rumah Suhri, sang istri Sri Mulyani gelisah bukan main. Suami tercinta­nya tak kunjung tiba di rumah. Ia sadar petaka di depan mata. Langit gelap menjadi semacam isyarat. Sri hanya ditemani dua anaknya kala itu, Rendi Pra­tama dan satu anaknya yang masih kecil. ”Kayak apa kondisi bapakmu di sana, gelap begini,” kata Sri Mulyani kepada anak sulung­nya. Rendi kemudian memutuskan menyusul sang bapak. Ka­rena tahu motor bapaknya tak ada lampu, ia mengambil senter berharap dapat diguna­kan bapaknya nanti. Motor dinyalakan, Honda Beat hitam tahun 2010 dipacunya menu­ju Kampung Renteng yang jaraknya sekira satu kilometer di tengah gelap gulita. ”Dia ke tempat saya biasa buat gula merah. Waktu me­letus kan gelap. Di sini ibunya nangis, khawatir kondisi saya,” ujar sang ayah, Suhri. ”Biar bu saya susul. Saya bawa senter buat bapak,” sam­bung Sri Mulyani menirukan percakapan terakhirnya ber­sama sang sulung. Sesampainya di Kampung Renteng, orang-orang terd­engar sibuk menyelamatkan diri. Warga yang selamat sem­pat melihat Rendi berjibaku mencari sang bapak. Bahkan, ada yang menyebut bahwa Rendi sampai naik pohon kelapa dan meneriaki ba­paknya. ”Ada warga yang bilang dengar suara anak saya manggil-manggil dari atas pohon ke­lapa. ‘Bapak, bapak, bapak...!’. Begitu kata warga,” ungkap Suhri. Saat Rendi mencari-cari, ru­panya Suhri sudah berada di atas motornya untuk meny­elamatkan diri. Lampu-lam­pu dari truk tambang yang mencoba keluar dari Kampung Renteng membantunya me­nemukan jalan hingga selamat tiba di rumah. ”Saat itu saya juga langsung pulang, tapi nggak lewat jalan biasa. Kondisi sudah gelap, motor nggak ada lampu. Tapi waktu itu mobil macet terje­bak. Truk-truk pasir mau keluar. Motor masih bisa lewat pinggirnya,” terangnya. Menurut Suhri, ia dan anaknya melewati jalur berbeda. Se­hingga, keduanya tak bertemu di jalan. Rendi mengira sang ayah masih terjebak, semen­tara Suhri lolos dari maut. ”Anak saya lewat jalan tengah, saya lewat pinggir. Beda jalur, jadi nggak ketemu di jalan,” lanjut Suhri. Kondisi berbalik. Setelah gelap hilang diguyur hujan, Suhri yang kemudian men­cari-cari anaknya lantaran tak kunjung pulang. Tiap peng­ungsian disusuri. Tiap sudut kampung tak luput disisir. Suhri menduga anaknya yang baru lulus SMA itu tertimbun material vulkanik saat erupsi terjadi. Firasatnya, Rendi ter­kubur tak jauh dari lokasi ditemukannya jenazah sang paman yang juga menjadi korban. Lokasi tersebut tak jauh dari tempatnya men­cari bahan gula merah. ”Mudah-mudahan bisa dite­mukan anak saya supaya bisa dikuburkan dengan layak. Kalau masalah lain-lain, saya tidak berharap. Saya hanya minta tolong biar bisa ketemu. Katanya kemarin mau dida­tangkan anjing pelacak. Saya nunggu satu hari di sana, tapi nggak ada. Pas Pak Jo­kowi mau ke Kampung Ren­teng, saya juga nunggu di sana. Tapi Pak Jokowi terny­ata nggak jadi turun karena cuaca,” bebernya. Hingga hari kelima pascae­rupsi, Suhri masih terus men­datangi Kampung Renteng. Pagi hingga sore dihabiskan­nya memantau Tim SAR yang terus melakukan pencarian korban-korban yang belum ditemukan. Ia baru beranjak pulang ke pengungsian saat gelap mulai datang. Sang Ibu, Sri Mulyani, menga­ku masih syok dengan peris­tiwa tersebut. Tiga hari per­tama pascaerupsi dilaluinya dengan kondisi pikiran kosong. Tetiba air matanya selalu jatuh ke pipi. Mengenang sang anak yang entah di mana adanya. ”Tapi alhamdulillah keadaan sekarang mulai membaik. Kemarin tiga hari sempat kayak nggak sadar, suka nangis, syok, ingat anak. Terakhir pa­mit ya nyari bapaknya. Mudah-mudahan segera ada kabar baik,” tandas Sri. (fin/run)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X