Senin, 22 Desember 2025

Ikhtiar Dian Mustika Mengatasi dan Membantu Sesama Penderita Vaginismus, Terpikir Opsi Berpisah tapi Suami Justru Menguatkannya

- Selasa, 4 Januari 2022 | 10:30 WIB

Akibat ketidaktahuannya tentang vaginismus, Dian Mustika sempat memaksakan diri: kalau tak bisa menahan sakit sekarang, apalagi nanti saat lahiran. Lewat komunitas yang ia bentuk, antar-penderita tak cuma berbagi cerita, tapi juga berbagi rekomendasi dokter yang tepat. ”MASA dua tahun nikah, aku masih perawan,” ke­lakar Dian saat kembali menceritakan masa-masa perjuangannya melawan vaginismus. ­ Dian menikah pada Novem­ber 2017. Namun, hingga dua tahun pernikahan, ia dan suami, Fajar Widi, belum per­nah berhubungan suami-istri layaknya pasangan lain. Setiap penetrasi tak pernah berhasil. Saat penis baru menyentuh vulva saja, rasanya nyeri tak terkira. Awalnya, perempuan kelahi­ran Jambi itu berpikir kega­galan pada malam pertama tersebut adalah efek kelelahan. Maklum, seharian menjalani ritual pernikahan membuat seluruh tubuhnya remuk re­dam. Ditambah lagi, ada rasa tegang saat teringat ucapan temannya yang bilang malam pertama itu sakit. ”Ya sudah lah, nggak apa-apa mikirnya. Baru sekali. Kami coba besok,” katanya. Nyatanya, di momen-momen lain pun sama. Honeymoon hingga momen cuti total agar badan lebih rileks tak mem­buahkan hasil. Rasa nyeri itu masih ada. Padahal, foreplay sudah benar-benar dilakukan. Sampai titik itu, Dian tak tahu bahwa dirinya mende­rita vaginismus. Vaginismus merupakan kondisi pengen­cangan otot-otot di sekitar vagina. Kekakuan itu yang mengakibatkan tak bisa ter­jadi penetrasi. Dian sempat memaksa di­rinya untuk menahan rasa sakit itu. Ia menanamkan pikiran, kalau tak bisa mena­han sakit sekarang, bagai­mana nanti saat lahiran. ”Saat aku nahan sakit itu, nggak cuma sakit. Malah kayak ketabrak penisnya. Dan, yang sakit ini bukan cuma aku, suamiku juga,” paparnya. Momen itu membuat me­reka berpikir lagi, mungkin salah masuk lubang pene­trasi. Ternyata hal itu juga menjadi pemikiran banyak penderita vaginismus. Hing­ga akhirnya, mereka tak kun­jung memeriksakan diri atas penyakit yang dialami. Lama-kelamaan, perem­puan pehobi workout itu penasaran soal apa yang ter­jadi dalam dirinya. Penelu­suran mulai dilakukan mela­lui internet. Ternyata hampir semua artikel menyebutnya mengalami vaginismus. Penyebabnya pun disebut­kan. Vaginismus terjadi ka­rena kurang rileks, kurang pelumas, hingga trauma masa lalu. Setelah dirunut, Dian tak masuk kategori-kategori tersebut. Saran-saran yang diberikan seperti senam kegel pun dilakoninya. Namun, hasilnya masih nihil. Minimnya informasi menge­nai vaginismus saat itu mem­buat keduanya tak tahu harus bagaimana. Atau, bahkan minimal harus ke mana untuk memeriksakan diri. No clue. Bercerita kepada orang lain tentu bukan opsi. Dian menga­kui bahwa ada rasa malu hingga takut dihakimi. ”Kebayang gak sih cerita ke orang malah dibilang, ’Hah selama ini belum?’” ungkapnya. Tahun pertama pernikahan pun berlalu. Tak ada pikiran macam-macam karena pa­sangan muda ini memang belum merencanakan segera memiliki anak. Kesibukan dengan pekerjaan masing-masing berhasil mengalihkan pikiran. Namun, semua tak lagi sama saat memasuki tahun kedua. Segala pikiran liar muncul, memorak-porandakan jiwa raganya. Pikiran tak bisa men­jadi istri yang baik, ‘dikutuk’ karena nikah beda keyakinan, hingga opsi perpisahan ka­rena merasa gagal. ”Sampai ya sudah lah, kalau kamu nggak bahagia sama aku, kita sudahan saja. Sam­pai kayak gitu,” kenangnya. Untungnya, pikiran ngawur Dian langsung dipatahkan sang suami. Fajar menging­atkan kembali janji nikah yang telah mereka ikrarkan. Susah senang bersama. ”Kalau kamu sakit, aku juga sakit. Ayo, kita cari solusinya,” katanya menirukan ucapan sang suami. Di tengah masa depresinya tersebut, Dian secara tak sengaja menemukan sebuah artikel mengenai perjuangan salah seorang penderita va­ginismus. Di situ si penderita menceritakan upayanya sem­buh dengan berobat ke dr Robbi Asri Wicaksono SpOG. Tangisnya pecah. Entah mengapa, hatinya yakin bahwa ini adalah jalannya untuk bisa sembuh. Tanpa pikir panjang, ia langsung menuju Bandung. Dan, benar saja, keduanya mendapat pencerahan lebih soal apa yang tengah mereka hadapi. Ia menderita vaginis­mus derajat 4. Dan, vaginismus bukan seperti artikel-artikel yang sudah mereka baca. ”Solusinya juga bukan senam kegel, melainkan terapi dila­tasi,” ungkapnya. Dilatasi ini merupakan la­tihan memasukkan alat kese­hatan ke vagina secara ber­tahap. Dimulai dari ukuran terkecil hingga terbesar. Te­rapi itu berfungsi membantu melenturkan otot-otot dasar panggul yang kaku dan tegang. Usaha tak pernah mengk­hianati hasil. Dua minggu setelah menjalani terapi, Dian dinyatakan sembuh. Ia tak lagi merasakan kesakitan saat terjadi penetrasi. Beratnya perjuangan selama dua tahun membuatnya ter­gerak untuk mendirikan se­buah wadah bagi penderita vaginismus. Awal 2020, ia memberanikan diri memben­tuk Komunitas Pejuang Vagi­nismus. Anggotanya saat itu masih terbatas, hanya beberapa orang kenalannya sesama pasien dr Robby. Namun, lama-kelama­an jumlahnya kian bertambah. Di sana mereka saling bertu­kar cerita dan menguatkan. Menurut Dian, banyak cerita dari penderita yang lebih me­nyayat hati. Banyak di antara mereka yang diceraikan sang suami karena dinilai tak bisa menjadi istri yang baik. Me­reka dinilai tak bisa memenuhi kebutuhan seksual sang suami meski telah dipaparkan secara ilmiah kondisi yang dihadapi sang istri. (jp/feb/run)  

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X