METROPOLITAN - Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo adalah dua hal yang tak terpisahkan. Perjalanan selanjutnya akan membawa kami ke pulau tempat habibat asli kadal raksasa tinggal. Hewan endemik yang hanya bisa ditemukan di Indonesia, tepatnya di Pulau Komodo dan beberapa pulau di sekitarnya.
Dari kejauhan, sebuah dermaga sudah terlihat. Beberapa sekoci sibuk bolak-balik mengangkut wisatawan dari beberapa pinishi yang sudah lebih dulu menepi. Di sini, banyak juga speedboat yang hilir mudik. Katanya, kapal cepat itu biasa digunakan wisatawan untuk sekali perjalanan atau one day trip.
Kami pun ikut berlabuh. Sekoci langsung membawa kami ke pintu masuk kawasan yang terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1991 ini.
“Welcome to Komodo National Park,” tulisan besar di atas gapura selamat datang menyambut langkah kaki saat menapak di dermaga. Tak lama, tiga pemandu lokal menghampiri. Menuntun kami ke hadapan sebuah papan besar yang menampakkan peta Pulau Komodo.
-
Arifin/Metropolitan
“Saat ini kita berada di Loh Liang. Dalam bahasa lokal, Loh artinya teluk, sedangkan Liang itu sarang, sarang komodo,” ujar Akbar Setiawan yang menyebut dirinya sebagai Naturalis Guide atau pemandu lokal.
Menurutnya, lokasi tempat kami berdiri kali ini merupakan salah satu pintu masuk kawasan taman nasional untuk melihat satwa liar, khususnya komodo. Tempat ini menjadi satu-satunya area yang bisa dikunjungi wisatawan untuk melihat kadal purba yang tak ditemukan di belahan dunia lain. Pulau Komodo menjadi habibat terbesar Komodo, jumlahnya diperkirakan mencapai 1600 ekor lebih.
Meski demikian, Akbar menegaskan tidak semua area Pulau Komodo ini bisa dikunjungi. Ada batas-batas atau zonasi untuk aktivitas manusia agar tak mengganggu habibat asli Komodo. Pengelola sudah menyiapkan area trekking untuk wisatawan berburu Komodo di habitatnya langsung.
“Di sini ada jalur trekking yang sudah disiapkan, dari yang pendek, menengah dan panjang. Tapi yang dibuka baru jalur yang pendek dan menengah. Jadi kita mau pilih yang mana?” Tanya Akbar sambil menunjuk jalur yang ada di papan informasi.
Kami sepakat memilih jalur medium atau menengah. Jalurnya sekira dua kilometer. Akbar kembali memberikan penjelasan kepada kami soal apa-apa saja yang tidak dibolehkan selama berada di kawasan Taman Nasional Komodo.
“Yang jelas tidak membuang sampah sembarangan, tidak memberi makan kepada satwa apapun yang ditemukan di sini, dan tidak meroko selama trekking,” terangnya.
-
Arifin/Metropolitan
Setelah semua dirasa jelas, Akbar bersama dua pemandu lainnya menuntun kami masuk ke dalam hutan. Sambil berjalan di antara lebatnya pepohonan, ia mengeluarkan disclaimer bahwa tak ada jaminan kami bisa melihat komodo secara langsung selama trekking. Meskipun, seluruh area di pulau ini adalah tempat melintas Komodo.
Menurut Akbar, tujuan trekking adalah mencari langsung di habitat aslinya, berbeda dengan kebun binatang yang ketika masuk kita bisa langsung melihat satwanya.
Saya membayangkan perburuan ini akan sangat keren. Menyaksikan kadal raksasa gagah di alam liarnya. Melihatnya menjulurkan lidah bercagak dan meneteskan liur yang konon mengandung ribuan bakteri mematikan.
“Tergantung keberuntungan, dan semuanya di sini area melintas mereka. Jadi tidak bisa dipastikan berapa satwa yang akan kita lihat,” jelas Akbar.
Tapi sudah setengah perjalanan tak terlihat satu pun komodo sejauh mata memandang. Padahal sepanjang jalan, kami sudah menajamkan mata menyisir semak-semak dan pepohonan berharap keberadaannya terlihat di tengah kamuflasenya dengan area hutan.
-
Arifin/Metropolitan
Kata Akbar, di musim hujan seperti saat ini aktivitas komodo lebih senang di tempat terbuka. Komodo dikenal sebagai reptile berdarah dingin yang selalu menyesuaikan suhu tubuhnya. Ketika dia merasa hangat, dia akan mencari tempat teduh, pun sebaliknya
“Namanya di hutan, kita juga tidak bisa menjamin bisa bertemu mereka,” lanjutnya kembali menegaskan.
Faktor lain yang membuat kita tak bisa berharap banyak adalah terbatasnya jangkauan mata karena rimbunnya pepohonan dan semak-semak saat musim hujan seperti ini. Sementara saat musim kemarau, area taman nasional akan terbuka hamparannya.
Kami pun tiba di sebuah kubangan di tengah hutan. Konon, kubangan ini menjadi salah satu spot favorit komodo karena menjadi salah satu sumber air. Hewan lain seperti rusa dan babi juga sering ke kubangan yang dibuat seperti alami. Mereka adalah makanan alami komodo di hutan, lokasi ini sekaligus menjadi area perburuan. Sayangnya, tak terlihat juga kadal raksasa tersebut.
“Mereka juga dikenal bukan tipe binatang berkelompok dan tidak pernah tinggal di satu tempat. Selalu berpindah-pindah. Mereka tidak mempunyai wilayah teritori,” terang Akbar di tengah kami yang mulai pesimis.
-
Arifin/Metropolitan
Langkah kami sudah diujung jalur trekking. Tepi pantai sudah terlihat, komodo tak juga nampak.
Pandangan berubah penasaran saat melihat sekumpulan wisatawan berkerumun seperti melihat sesuatu. Jalur trekking menuntun kami bergerak ke arah mereka. Komodo itu ada. Sangat besar. Mungkin beratnya mencapai seratus kilogram. Tak banyak geraknya. Beberapa pemandu mengelilinginya dengan masing-masing memegang tongkat yang ujungnya bercagak membentuk huruf Y.
Sementara itu, para wisatawan mengantre satu per satu untuk berfoto dengan makhluk yang liurnya bisa mematikan karena mengandung banyak bakteri itu. Satu, dua, tiga, cekrek…
Secara bergantian, tepat di belakang ujung ekor komodo itu, para wisatawan beradu gaya mengabadikan diri dengan hewan purba yang sedari tadi dicari-cari keberadaannya. Kamera dititipkan di pemandu yang berada tepat di depan mulut komodo dengan jarak hanya sekira satu meter.
Bak bertemu fansnya, komodo itu melayani satu per satu wisatawan yang berfoto tanpa terganggu sedikitpun. Berdiri pun tidak. Badan dan kakinya rebah, jauh dari kesan ganas. Tak sedikitpun saya melihatnya menjulurkan lidah, mengeluarkan liur. Sedikit aneh.
“Kayak linglung ya (komodo). Mungkin kebanyakan makan, atau minum obat,” kata kawan saya berseloroh.
Sementara masing-masing pemandu wisatawan yang membawa rombongan sibuk mengarahkan gaya wisatawan yang dibawanya agar mendapat gambar yang ‘keren’.
-
Wisatawan berfoto di belakang komodo di Taman Nasional Komodo, Labuan Bajo. (Arifin/Metropolitan)
Pertemuan dengan hewan karnivora tersebut mengakhiri petualangan kami di Pulau Komodo. Membawa kami lokasi selanjutnya, Desa Komodo.
Lokasi Desa Komodo tak terlalu jauh dari Pulau Komodo, tak sampai satu jam perjalanan menggunakan kapal. Tujuan tim kali ini bukan untuk mengeksplore keindahan alam seperti di tempat-tempat sebelumnya. Kami ingin berbagi, membawa sedikit bantuan untuk saudara-saudara kami di sana.
Secara geografis, Desa Komodo berada di pulau paling luar dari Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Menjadikannya salah satu desa terpencil. Luas wilayahnya mencapai 34.762 kilometer per segi dengan penduduk mencapai 500 kepala keluarga.
Dari kejauhan, bangunan-bangunan yang mayoritas didesain seperti rumah panggung berjajar rapi dengan latar bukit yang diselimuti sabana. Kapal memperlambat laju saat dermaga mulai terlihat. Tujuan kami sudah dekat. Jangkar diturunkan.
Sejumlah kapal nampak bersandar, bukan kapal-kapal pinishi yang biasa kami lihat sepanjang perjalanan di pulau-pulau sebelumnya, tapi kapal-kapal kecil yang dari ukurannya mungkin bisa menampung tak sampai 10–20 orang. Banyak juga yang lebih kecil, seperti kapal nelayan.
-
Desa Komodo, Labuan Bajo. (Arifin/Metropolitan)
Gerombolan anak-anak bertelanjang dada menyambut kedatangan kami saat menginjakkan kaki di dermaga Desa Komodo. Mereka asik melompat ke laut dengan tawa yang bersahutan. Sementara beberapa orang dewasa sibuk gotong royong merapikan jembatan di ujung dermaga yang menjadi pintu masuk ke desa mereka.
Di ujung dermaga, kepala dusun dan beberapa warga ternyata sudah menunggu. “Selamat datang di Desa Komodo,” ujar Muhamad Sidik, pria 42 tahun yang dipercaya menjadi kepala dusun di Desa Komodo menyambut kedatangan kami.
Sambutan hangat mencairkan suasana. Kami langsung terlibat percakapan, Pak Kadus -begitu warga memanggilnya- dengan sabar meladeni pertanyaan-pertanyaan kami yang ingin tahu banyak seputar Desa Komodo dan bagaimana warga di sana hidup berdampingan dengan komodo.
Bang HS, sapaan akrab Hazairin Sitepu, kemudian menyampaikan maksud kedatangan kami dengan suasana yang lebih formal namun santai.
“Setiap perjalanan Gerakan Anak Negeri, kita ingin bisa berbagi, Kali ini kebetulan kami sedang ke Labuan Bajo, ada sedikit beras yang kami bawa,” kata inisiator GAN sekaligus CEO Radar Bogor Group itu.
Para redpel, GM, hingga pemred Radar Bogor Group kemudian memanggil satu per satu karung beras yang sudah diturunkan sekoci di tepi dermaga ke tempat kami berbincang dengan Pak Kadus. Total, ada setengah ton beras yang kami bawa untuk warga Desa Komodo.
“Semoga ini bisa bermanfaat,” kata Bang HS saat menyerahkan bantuan tersebut secara simbolis.
-
Arifin/Metropolitan)
Mewakili warga, Pak Kadus menyampaikan langsung terima kasihnya kepada Gerakan Anak Negeri yang sudah singgah di tanah kelahiran mereka dan membawa bantuan. Dengan cukup antusias, Pak Kadus juga menyampaikan rencananya yang sedang membuat jalur trekking komodo. Ia ingin Desa Komodo juga bisa memanfaatkan potensi wisatanya.
“Rencana jalur trekking ini sudah diajukan dan taman nasional sangat setuju. Nanti akan dikelola bumdes. Jadi kita ingin orang tau komodo itu tidak hanya ada di Loh Liang, tapi di Desa Komodo juga ada. Bahkan hidup berdampingan dengan masyarakat, sudah seperti peliharaan,” ungkap Pak Kadus.
Mendengar ide-ide tersebut, Bang HS sangat mendukungnya. Menurutnya, potensi yang ada memang harus dikembangkan dan dirasakan dampaknya oleh masyrakat. Terlebih, warga di Desa Komodo memiliki ikatan yang baik dengan komodo dan menganggapnya sudah sebagai keluarga.
“Jadi istilahnya hidup berdampingan, hidup berdamai dengan komodo. Jadi komodo adalah bagian dari keluarga besar masyarakat yang ada di sini, bagian keluarga besar dari orang-orang yang ada di desa komodo,” tandasnya.
-
Kampung Komodo, Desa Komodo, Labuan Bajo. (Arifin/Metropolitan)
Saat berbincang, Pak Kadus bercerita bahwa ada komodo yang sedang turun ke perkampungan. Kabar tersebut membangkitkan semangat kami. Sebuah keberuntungan jika memang bisa melihat komodo berkeliaran di habitanya langsung.
Kesempatan ini tak kami sia-siakan. Dipandu Pak Kadus, kami diajak ke belakang perkampungan. Tepat di samping lapangan sepak bola tempat warga biasa bermain, kadal raksasa itu menampakan diri. Posisinya tepat di tengah pemakaman warga yang hanya dipisahkan saluran air dengan area lapangan.
Komodo jantan itu cukup aktif bergerak. Lidahnya terus menjulur, liarnya menetes. Gagah dan nampak mengerikan dengan warna pekat dan kulit tebal yang menyelimutinya. Sangat bertolak belakang dengan komodo ‘artis’ yang sering diajak foto bersama di Loh Liang.
-
Seekor komodo turun ke area perkampungan warga di Desa Komodo, Labuan Bajo. (Arifin/Metropolitan)
Saya bersama Redpel Radar Depok, Fahmi Akbar, langsung berusaha mendekat untuk mengabadikan momen langka ini. Sialnya, komodo tersebut seperti mencium bau orang asing. Ia berlari kearah kami seperti ingin menyergap.
Kondisi ini membuat saya dan Fahmi panik dan lari tunggang-langgang. Beruntung, kami langsung melompati saluran air yang membatasi posisi kami dengan komodo. Saling berseberangan. Sementara Pak Kadus dan beberapa rekan lainnya malah tertawa. Padahal, adegan tersebut bukan bercanda.
“Ngapain lari, kan saluran air ini besar. Dia ngga mungkin bisa lompat,” sahut GM Radar Depok, Iqbal Muhammad dengan sedikit tawa mengejek. Padahal kami yakin, ia juga bakal terbirit-birit jika berada di posisi saya dan Fahmi. Dia diuntungkan dengan posisi yang aman karena berada di bawah perlindungan Pak Kadus.
-
Seekor komodo turun ke perkampungan dan mencoba mendekat ke salah satu warga. Bagi warga Desa Komodo, keberadaan kadal purba raksasa ini merupakan hal biasa. (Arifin/Metropolitan)
Pak Kadus yang memegang tongkat bercagak sudah paham betul bagaimana menangani hewan tersebut. Ia lalu menghalau komodo itu dan mengusirnya seperti mengusir ayam.
“Sebay (panggilan akrab warga lokal untuk komodo) jangan ganggu. Pergi sana,” katanya sambil mengangkat tongkat.
Anehnya, komodo tersebut langsung mundur dan sedikit menjauh dengan posisi yang kini memunggungi kami. Sungguh pemandangan ajaib, seperti hewan peliharaan yang sudah tahu majikannya.
Dengan kewaspadaan tinggi, kami kembali menimati pemandangan yang sangat langka ini beberapa saat sebelum beranjak.
“Kalau di sini sudah biasa, mereka (komodo) ini cukup sering turun ke perkampungan. Paling ya diusir saja, tapi nggak disakiti,” ujar Pak Kadus sambil mengantar kami ke dermaga untuk melanjutkan perjalanan.
-
Kepala Dusun 1 Desa Komodo, Nuhamad Sidik saat mendampingi kami melihat komodo yang turun ke pemukiman. (Arifin/Metropolitan)
Lambaian tangan Pak Kadus mengakhiri perjumpaan kami. Kapal kembali bergerak mengarungi lautan lepas. Tujuan selanjutnya adalah Taka Makassar, tempat yang bisa dibilang paling unik di Labuan Bajo dan mungkin nyaris tak ada di tempat lain.
Taka Makasar adalah sebuah pulau kecil berpasir yang hanya bisa dilihat saat air laut mengalami pasang surut. Jika beruntung, wisatawan bisa melihat daratan kecil seperti gundukan hamparan pasir di tengah lautan lepas dengan bentuk yang unik menyerupai angka Sembilan.
Keunikan ini menjadi daya tarik tersendiri. Pasir putihnya juga terkenal lembut dan mempesona dihiasi terumbu karang di sekelilingnya dengan biru laut yang jernih.
Sayangnya, kami harus melewatkan singgah di potongan surga kecil itu karena waktu yang terlampau sore. Dengan berbagai pertimbangan, kami memutuskan memilih Pulau Kanawa sebagai tujuan terakhir pelayaran kami.
Pulau Kanawa terkenal dengan keindahan alam bawah lautnya sehingga menjadi salah satu lokasi terbaik untuk snorkeling. Jaraknya sekitar 2,5 jam lebih dari Pulau Komodo.
Kami lanjut mengunjungi Pulau Kanawa setelah bermalam di tengah laut akibat gelombang tinggi. Setibanya di dermaga, sekumpulan ikan dengan warna-warni yang cantik menyambut kedatangan kami. Karang-karang juga terlihat jelas di bawah biru laut yang jernih. Membuat kami tak sabar melihatnya lebih dekat.
-
Wisatawan saat memberi makan ikan-ikan di Pulau Kanawa, Labuan Bajo. (Arifin/Metropolitan)
Pemandu wisata membekali kami roti tawar. Bukan, bukan untuk dimakan. Karena sebelumnya kami sudah sarapan. Roti ini rupanya menjadi favorit ikan-ikan di Pulau Kanawa dan itu jelas terbukti. Mereka berebut saat potongan roti dilempar ke air. Bahkan dari tangga dermaga, saya bisa menikmati sensasi memberi makan ikan-ikan di lautan lepas dari tangan sendiri. Mereka tak ragu menghampiri genggaman tangan yang memegang roti. Nyaris seperti ikan-ikan di kolam peliharaan,
Jumlahnya luar biasa banyak dengan beragam ukuran dan warna-warni yang beragam. Sepertinya mereka sudah terbiasa dengan keberadaan manusia.
-
Wisatawan saat snorkling di Pulau Kanawa, Labuan Bajo. (Arifin/Metropolitan)
Ketika menyelami menggunakan alat snorkling, rasa takjub memuncak. Hamparan karang yang mempesona dengan bentuk-bentuk unik jelas terlihat. Bulu babi juga mudah ditemukan di sini. Mereka berkelompok di sudut-sudut karang. Semua berpadu menjadi satu kesatuan yang sangat eksotis. Membuat 4 jam kami terlewati tanpa terasa.
Di area pantai, ada juga beberapa warung yang menjajakan minuman. Anda juga bisa menyema semacam kayak di sini. Mendayungnya berkeliling pantai sambil menikmati biru laut dan keindahan alam di sekitar. Sungguh Labuan Bajo memang memiliki keindahan alam yang beraneka ragam. Pulau Kanawa menjadi lokasi terakhir ekspedisi kami mengarungi laut Labuan Bajo. (Arifin)
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Terkini
Jumat, 13 Juni 2025 | 15:30 WIB
Kamis, 17 April 2025 | 00:48 WIB
Jumat, 3 Januari 2025 | 12:48 WIB
Kamis, 22 Agustus 2024 | 20:39 WIB
Kamis, 22 Agustus 2024 | 20:23 WIB
Kamis, 22 Agustus 2024 | 20:03 WIB
Kamis, 22 Agustus 2024 | 19:39 WIB
Rabu, 14 Agustus 2024 | 11:46 WIB
Rabu, 14 Agustus 2024 | 10:52 WIB
Rabu, 14 Agustus 2024 | 10:19 WIB
Selasa, 13 Agustus 2024 | 23:29 WIB
Selasa, 13 Agustus 2024 | 22:10 WIB
Selasa, 13 Agustus 2024 | 21:10 WIB
Selasa, 13 Agustus 2024 | 20:06 WIB
Selasa, 13 Agustus 2024 | 19:12 WIB
Selasa, 13 Agustus 2024 | 18:50 WIB
Selasa, 13 Agustus 2024 | 18:14 WIB
Selasa, 13 Agustus 2024 | 17:18 WIB
Selasa, 13 Agustus 2024 | 16:33 WIB
Selasa, 13 Agustus 2024 | 16:10 WIB