Jumat, 31 Maret 2023

Menggerakkan Roda Ekonomi dan Mempertahankan Industri Kriya, Keahlian Turun-temurun Bersaing dengan Status Karyawan

- Senin, 7 Februari 2022 | 10:10 WIB

Ekonomi kreatif lekat dengan masyarakat Plered di Jawa Barat dan Martapura di Kalimantan Selatan (Kalsel) sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam. Namun, industri kriya keramik di Plered terancam punah karena susahnya regenerasi. Di Martapura, perajin berlian resah karena mati surinya pendulangan intan. TOKO keramik hias berderet di pinggir jalan raya. Dengan gayanya sendiri, masing-masing toko seolah menyambut me­reka yang singgah ke Desa Anjun, Kecamatan Plered, Purwakarta, Jawa Barat. Beragam rupa kerajinan dari tanah liat itu dipajang pemilik toko. Mulai pot bunga, celengan, patung, hingga wadah air. Harganya pun beragam. Ber­gantung ukuran dan model.­ Ya. Desa Anjun merupakan sentra kerajinan keramik yang tersohor hingga mancane­gara. Di kampung tersebut, ada ratusan perajin yang saban hari mengolah tanah liat men­jadi keramik hias. Juga, men­jadi barang fungsional yang punya nilai jual. Pengembangan industri berbasis ekonomi kerakyatan tersebut dinaungi Unit Pelaks­ana Teknis Dinas (UPTD). ”Membuat keramik sudah jadi mata pencaharian utama masyarakat di sini (Desa An­jun, red),” kata Staf Pelaksana UPTD Pengembangan Sentra Keramik Plered Jujun Juna­edi saat ditemui Jawa Pos, Rabu (2/2). Ia menambahkan, hampir 80 persen masyarakat desa menggantungkan hidup me­reka pada kerajinan keramik. Geliat produksi keramik Ple­red tercatat sejak lama. Menurut Jujun, aktivitas itu sudah ada pada 1904. Mengutip artikel sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang ditulis Irvan Setiawan dkk, pem­buatan gerabah di Anjun di­mulai sejak 1795 atau pada masa penjajahan Belanda. Hubungan sejarah antara Belanda dan Plered juga ter­catat dalam buku Kriya Kera­mik yang ditulis Wahyu Gatot Budianto dkk. Buku itu me­nyatakan, pemerintah Be­landa pernah mendirikan pabrik pengolahan tanah liat di Plered pada 1922. Pabrik tersebut dilengkapi dengan mesin produksi. Ber­samaan dengan itu, didirikan pula Het Keramische Labo­ratorium (Laboratorim Kera­mik). Setelah Indonesia merdeka, kawasan sentra keramik ter­sebut terus dibenahi. Pada 1950, Bung Hatta yang kala itu adalah wakil presiden me­resmikan industri keramik di Plered. Gedungnya berada di Gonggo. Saat itu, mesin-me­sin penghalus tanah liat bua­tan Jerman dikirim dari Ja­karta. Tanah liat yang melimpah dari Desa Citeko, Plered, men­jadi salah satu faktor penting keberlanjutan sentra keramik tersebut. Mayoritas perajin mengambil bahan baku dari Citeko. Kemudian mengolah­nya menjadi berbagai macam bentuk keramik. Baik keramik hias maupun keramik fungsi­onal. Ada 147 unit keramik buatan rumahan (home made) di Desa Anjun. Unit-unit me­nampung lebih dari 800 pe­rajin. Pada setiap unit, ada aktivitas pengolahan bahan baku, pembentukan, pemba­karan, finishing, pengemasan, dan penjualan keramik. ”Rata-rata keramik yang di­bina sama kami (UPTD) dieks­por sebanyak 20 persen,” jelas Jujun dengan logat Sunda. Keramik Plered memang punya akar historis yang kuat. Jujun mengungkapkan, seba­gian besar pengusaha keramik yang bertahan saat ini meru­pakan generasi penerus pe­rajin keramik mula-mula. Salah satunya, Asep Supriat­na. Rumah yang Asep gunakan untuk memproduksi keramik berada tepat di belakang kan­tor UPTD. ”Pak Asep ini tu­runan Mbah Tarman,” ungkap pria 47 tahun itu. Tarman tercatat sebagai ge­nerasi kedua perajin keramik Plered. Generasi tersebut eksis pada 1920-an. Nah, dari Tarman itulah, lahir ge­nerasi-generasi penerus. Ter­masuk, Asep. ”(Rumah produksi keramik, red) paling tua di sini itu ge­nerasi kelima (dari turunan Mbah Tarman, Red). Gene­rasi (perajin keramik lawas) lain nggak muncul,” tutur Jujun. Kepala UPTD Pengembangan Sentra Keramik Plered Mumun Maimunah menyatakan, re­generasi menjadi masalah krusial bagi mereka. Survei UPTD menunjukkan, anak-anak sekarang cenderung memilih bekerja di pabrik atau perkantoran. Berstatus ka­ryawan dan rutin gajian, tanpa harus punya keteram­pilan khusus. ”Mereka kan tidak bisa dipaksa (jadi pera­jin, red),” ungkapnya. Jika dibandingkan dengan medio 2000-an, jumlah unit produksi pembuatan keramik sampai pemasoknya memang turun drastis. Berdasar data 2005, ada 286 unit. Kemudian menjadi 221 pada 2015. Ca­tatan terakhir pada 2021 lalu hanya tersisa 147 unit. Selain regenerasi, kebijakan pembangunan yang kurang komprehensif membuat se­bagian masyarakat memilih pindah domisili. Akibatnya, jumlah unit-unit produksi juga berkurang karena pera­jinnya pindah. (jp/feb/run)

Editor: admin metro

Tags

Terkini

X