Ekonomi kreatif lekat dengan masyarakat Plered di Jawa Barat dan Martapura di Kalimantan Selatan (Kalsel) sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam. Namun, industri kriya keramik di Plered terancam punah karena susahnya regenerasi. Di Martapura, perajin berlian resah karena mati surinya pendulangan intan. TOKO keramik hias berderet di pinggir jalan raya. Dengan gayanya sendiri, masing-masing toko seolah menyambut mereka yang singgah ke Desa Anjun, Kecamatan Plered, Purwakarta, Jawa Barat. Beragam rupa kerajinan dari tanah liat itu dipajang pemilik toko. Mulai pot bunga, celengan, patung, hingga wadah air. Harganya pun beragam. Bergantung ukuran dan model. Ya. Desa Anjun merupakan sentra kerajinan keramik yang tersohor hingga mancanegara. Di kampung tersebut, ada ratusan perajin yang saban hari mengolah tanah liat menjadi keramik hias. Juga, menjadi barang fungsional yang punya nilai jual. Pengembangan industri berbasis ekonomi kerakyatan tersebut dinaungi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD). ”Membuat keramik sudah jadi mata pencaharian utama masyarakat di sini (Desa Anjun, red),” kata Staf Pelaksana UPTD Pengembangan Sentra Keramik Plered Jujun Junaedi saat ditemui Jawa Pos, Rabu (2/2). Ia menambahkan, hampir 80 persen masyarakat desa menggantungkan hidup mereka pada kerajinan keramik. Geliat produksi keramik Plered tercatat sejak lama. Menurut Jujun, aktivitas itu sudah ada pada 1904. Mengutip artikel sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang ditulis Irvan Setiawan dkk, pembuatan gerabah di Anjun dimulai sejak 1795 atau pada masa penjajahan Belanda. Hubungan sejarah antara Belanda dan Plered juga tercatat dalam buku Kriya Keramik yang ditulis Wahyu Gatot Budianto dkk. Buku itu menyatakan, pemerintah Belanda pernah mendirikan pabrik pengolahan tanah liat di Plered pada 1922. Pabrik tersebut dilengkapi dengan mesin produksi. Bersamaan dengan itu, didirikan pula Het Keramische Laboratorium (Laboratorim Keramik). Setelah Indonesia merdeka, kawasan sentra keramik tersebut terus dibenahi. Pada 1950, Bung Hatta yang kala itu adalah wakil presiden meresmikan industri keramik di Plered. Gedungnya berada di Gonggo. Saat itu, mesin-mesin penghalus tanah liat buatan Jerman dikirim dari Jakarta. Tanah liat yang melimpah dari Desa Citeko, Plered, menjadi salah satu faktor penting keberlanjutan sentra keramik tersebut. Mayoritas perajin mengambil bahan baku dari Citeko. Kemudian mengolahnya menjadi berbagai macam bentuk keramik. Baik keramik hias maupun keramik fungsional. Ada 147 unit keramik buatan rumahan (home made) di Desa Anjun. Unit-unit menampung lebih dari 800 perajin. Pada setiap unit, ada aktivitas pengolahan bahan baku, pembentukan, pembakaran, finishing, pengemasan, dan penjualan keramik. ”Rata-rata keramik yang dibina sama kami (UPTD) diekspor sebanyak 20 persen,” jelas Jujun dengan logat Sunda. Keramik Plered memang punya akar historis yang kuat. Jujun mengungkapkan, sebagian besar pengusaha keramik yang bertahan saat ini merupakan generasi penerus perajin keramik mula-mula. Salah satunya, Asep Supriatna. Rumah yang Asep gunakan untuk memproduksi keramik berada tepat di belakang kantor UPTD. ”Pak Asep ini turunan Mbah Tarman,” ungkap pria 47 tahun itu. Tarman tercatat sebagai generasi kedua perajin keramik Plered. Generasi tersebut eksis pada 1920-an. Nah, dari Tarman itulah, lahir generasi-generasi penerus. Termasuk, Asep. ”(Rumah produksi keramik, red) paling tua di sini itu generasi kelima (dari turunan Mbah Tarman, Red). Generasi (perajin keramik lawas) lain nggak muncul,” tutur Jujun. Kepala UPTD Pengembangan Sentra Keramik Plered Mumun Maimunah menyatakan, regenerasi menjadi masalah krusial bagi mereka. Survei UPTD menunjukkan, anak-anak sekarang cenderung memilih bekerja di pabrik atau perkantoran. Berstatus karyawan dan rutin gajian, tanpa harus punya keterampilan khusus. ”Mereka kan tidak bisa dipaksa (jadi perajin, red),” ungkapnya. Jika dibandingkan dengan medio 2000-an, jumlah unit produksi pembuatan keramik sampai pemasoknya memang turun drastis. Berdasar data 2005, ada 286 unit. Kemudian menjadi 221 pada 2015. Catatan terakhir pada 2021 lalu hanya tersisa 147 unit. Selain regenerasi, kebijakan pembangunan yang kurang komprehensif membuat sebagian masyarakat memilih pindah domisili. Akibatnya, jumlah unit-unit produksi juga berkurang karena perajinnya pindah. (jp/feb/run)