METROPOLITAN - Persoalan minyak goreng di Tanah Air sampai saat ini belum menemui titik terang. Naiknya harga hingga sulitnya ketersediaan minyak goreng, khususnya jenis curah, masih menghantui masyarakat. Seperti dirasakan perajin kerupuk asal Kelurahan Kedungbadak, Kecamatan Tanahsareal, Kota Bogor, Bambang. Imbas dua persoalan ini, omzet pemasukan dari usaha yang digelutinya ini harus turun hingga mencapai 50 persen. “Kalau dibilang berdampak, ya berdampak benar. Posisinya, satu sekarang beli minyak mahal, dan kedua susah beli atau nyarinya,” kata Bambang kepada wartawan, Kamis (24/3). Tak sampai itu, menurut Bambang, mahal dan sulitnya ketersediaan minyak goreng jenis curah ini juga berimbas kepada pemasukan yang diterima sehari-hari. Dalam sehari, ia harus mengalami kerugian hingga mencapai 50 persen. “Iya berdampak, hampir 50 persen (omzet turun, red),” ucapnya. Soal ketersediaan stok kerupuk yang diberikan untuk para konsumen, Bambang mengaku pihaknya tidak mengambil langkah menaikkan harga atau mengurangi ukuran dari kerupuk tersebut. Melainkan, menutupi dengan menambah jumlah produksi per harinya. Biasanya per hari menggoreng kerupuk sebanyak 20 kilogram, kini menjadi 40 kilogram per harinya. “Jadi sekarang gorengnya dua kali sehari. Satu hari buat cari minyak dan satu hari untuk goreng,” imbuhnya. “Ya terpaksa kita begini, karena minyaknya (yang bisa dibeli, red) kan diatur. Dulu dikasih 20 jeriken, sekarang cuma delapan jeriken. Karena mengatur minyaknya itu,” sambungnya. Atas persoalan ini, Bambang pun berharap pemerintah dapat menyelesaikan polemik minyak goreng di Tanah Air. Sebab, jangan sampai usaha yang sudah dilakoninya secara turun-temurun, terpaksa gulung tikar karena persoalan minyak goreng. “Ya istilahnya dengan kenaikan minyak, pusing. Kita minta pemerintah bisa menyelesaikan persoalan minyak goreng,” harap Bambang. (rez/run)