Sidang kasus suap oknum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Barat (Jabar) yang menyeret nama Bupati Bogor nonaktif Ade Yasin belum usai. Persidangannya masih berlanjut di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung, Senin (12/9). JAKSA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menjerat Ade Yasin dengan tuduhannya. Terbaru, Ade Yasin dituntut hukuman tiga tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Padahal, berdasarkan fakta persidangan, tidak ada satupun saksi yang mengatakan soal dugaan keterlibatan Ade Yasin dalam kasus pengondisian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Bogor untuk mendapat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Dalam tuntutannya, JPU KPK Rony Yusuf meminta majelis hakim mengabaikan berbagai keterangan saksi dalam persidangan yang menyatakan Bupati Bogor nonaktif Ade Yasin tak terlibat. JPU KPK dalam tuntutannya menuntut majelis hakim menjatuhkan hukum tiga tahun penjara dengan denda Rp100 juta dan subsider enam bulan kurungan, serta pencabutan hak politik. “(Menuntut, red) Hukuman tiga tahun untuk Ade Yasin, lalu denda Rp100 juta, dan subsider enam bulan,” kata Rony Yusuf selepas persidangan, Senin (12/9). Ia menjelaskan terdakwa Ade Yasin terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Tipikor, Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan alternatif pertama. Selain itu, jaksa juga menuntut Ihsan Ayatullah dengan hukuman yang sama dengan Ade Yasin lantaran menjadi pionir dalam menyuap auditor BPK Jabar. Sementara itu, untuk terdakwa Maulana Adam dan Rizki Taufik Hidayat lebih ringan dari Ade Yasin dan Ihsan Ayatullah. “Sedangkan untuk (terdakwa, red) Maulana Adam dan Rizki Taufik Hidayat, dituntut penjara dua tahun, denda Rp50 juta, subsider dua bulan penjara,” terangnya. Rony menegaskan Ade Yasin cs terbukti melakukan suap auditor BPK Jabar sebanyak Rp1,9 miliar. Menanggapi tuntutan JPU KPK, kuasa hukum Ade Yasin, Dinalara Butar Butar, menilai tuntutan dari KPK mengada-ada. Dina menilai jaksa menggunakan logika hukum yang tidak mendasar. Salah satunya klaim Opini WTP tahun 2020 yang diklaim karena faktor suap. “Buktikan dulu dong, tahun 2020 karena suap! Uji dulu, tidak sembarangan dipakai dasar,” tegasnya. Selain itu, pihaknya menilai jaksa KPK mengabaikan fakta persidangan, dimana keterangan saksi-saksi tidak ada yang menyatakan Ade Yasin terlibat. Jaksa justru menggunakan rekaman telepon Ihsan Ayatullah kepada Maulama Adam yang ternyata dalam sidang hanyalah tindakan ‘ngabacun’ atau menjual nama Ade Yasin agar Adam percaya. “Jadi Ade Yasin dituntut karena orang ngerumpi ‘ngabacun’ yang membicarakan dirinya. Kalau gitu kita rumpiin Pak Jokowi saja, biar nanti juga disidang,” ketus Dina. Diketahui, Bupati Bogor nonaktif Ade Yasin ditangkap KPK dengan dugaan suap auditor BPK Jabar senilai Rp1,9 miliar. Dalam persidangan yang sudah menghadirkan 41 orang sebagai saksi KPK dan saksi ahli, tak satupun menyatakan Ade Yasin terlibat dalam suap. Pakar hukum pidana Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mempertanyakan objektivitas jaksa KPK saat menuntut Bupati Bogor nonaktif Ade Yasin bersalah pada perkara dugaan suap auditor BPK di Pengadilan Tipikor Bandung, Jabar, Senin (12/9). Menurutnya, selama persidangan, para saksi yang dihadirkan KPK tak satupun menyebutkan Ade Yasin terlibat. Pemberian uang justru dilakukan terdakwa Ihsan Ayatullah sebagai Kasubid Kasda Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Bogor tanpa perintah. “Jadi korupsinya terdakwa Ihsan cs. Berdiri sendiri dengan memanfaatkan kesempatan,” kata Abdul Fickar, Senin (12/9). Ia menilai terdakwa Ihsan mengambil keuntungan dalam perkara tersebut dengan mengambil selisih uang pemberian pengusaha untuk disetorkan kepada auditor BPK Republik Indonesia (RI) perwakilan Jabar. “Meskipun tidak diperintah Ade Yasin, terdakwa Ihsan mencoba nengambil keuntungan sendiri. Selain mendapatkan kelebihan uang suap, dia juga akan mendapat perhatian dari Bupati Ade Yasin yang akan berpengaruh pada kenaikan jabatannya,” beber Abdul Fickar. Sementara itu, kuasa hukum Bupati Bogor nonaktif Ade Yasin, Dinalara Butar Butar, meyakini majelis hakim yang dipimpin Hera Kartiningsih akan objektif dalam menanggapi tuntutan jaksa KPK. “Kami tim kuasa hukum yakin majelis hakim objektif dalam perkara ini. Karena tuntutan yang disampaikan jaksa sudah dibantah semua oleh saksi-saksi yang dihadirkan KPK sendiri,” ungkap Dinalara usai sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor Bandung, Jabar, Senin (12/9). Ia menganggap tuntutan yang dilayangkan jaksa tidak terbukti melibatkan kliennya. Sebab, tak ada satupun saksi yang membenarkan bahwa pemberian uang oleh terdakwa lain yang merupakan pegawai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor kepada auditor BPK atas perintah Ade Yasin. “Ternyata kan yang terungkap adalah kepentingan-kepentingan si pemberi yang merasa ketakutan ada temuan. Apakah perbuatan-perbuatan si pemberi ini harus Bu Ade Yasin yang mempertanggungjawabkan?” kata Dinalara. Dosen Fakultas Hukum di Universitas Pakuan itu menyebut tuntutan jaksa KPK mengenai adanya pengondisian LKPD agar mendapat Opini WTP pun sudah dibantah saksi-saksi. “Maka perlu digali apa motif pemberian uang tersebut. Kalau motifnya adalah WTP, semua saksi mengatakan tidak mengerti sama sekali WTP tersebut,” tuturnya. Menurutnya, mengenai bentuk tanggung jawab bupati atas kesalahan anak buah sudah selesai dengan peralihan kewenangan seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 tentang pelimpahan kewenangan pengelolaan keuangan daerah. Dinalara juga menegaskan bahwa dari keterangan 41 saksi yang dihadirkan KPK dapat disimpulkan bahwa pemberian uang yang terjadi pada perkara itu bukan merupakan tindakan suap, sebab tidak terjadi kesepakatan di awal antara dua pihak. “Kalau kita masuk pada teori hukum, suap itu terjadi apabila dari awal sudah ada kesepakatan antara pemberi dan penerima. Pertanyaannya siapa yang bersepakat dengan BPK? Bahkan dengan (terdakwa, red) Ihsan saja dia tidak bersepakat. Bahkan dengan penyedia jasa saja dia tidak bersepakat. Karena faktanya adalah mereka (pegawai pemkab dan penyedia jasa, red) spontanitas diminta pada saat dia (BPK, red) melakukan pemeriksaan,” terangnya. Sementara itu, komunikolog politik dan hukum nasional, Tamil Selvan, menilai jaksa KPK harus objektif dan jangan takut membebaskan terdakwa yang tidak bersalah dalam suatu kasus. Hal itu ia ungkapkan menanggapi persidangan kasus dugaan suap auditor BPK yang menyeret Bupati Bogor nonaktif Ade Yasin. Pada persidangan ke-13, di PN Tipikor Bandung, Senin (12/9), jaksa KPK meminta majelis hakim mengabaikan berbagai keterangan saksi dalam persidangan yang menyatakan Bupati Bogor nonaktif Ade Yasin tak terlibat dan menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp100 juta, serta subsider enam bulan tahanan. Menurut Tamil, fakta-fakta persidangan seharusnya jadi pertimbangan. Dimana 41 orang yang dihadirkan sebagai saksi, baik dari KPK maupun saksi ahli, tidak membuktikan bahwa Ade Yasin melakukan instruksi atau meminta anak buahnya melakukan dugaan suap. “Artinya tidak ada bukti yang mengaitkan ke dia. Harusnya KPK objektif. Dengan fakta-fakta persidangan itu, sebaiknya KPK tidak juga malu. Tidak malu untuk melepaskan bahwa dia ini (Ade Yasin, red) memang tidak bersalah,” katanya kepada Metropolitan. id, Senin (12/9). Artinya, sambungnya, sebuah lembaga atau manusia pasti pernah membuat kesalahan. “Sehingga jika misalnya suatu lembaga salah menangkap atau mendakwa orang yang menurut data dan fakta dinyatakan bersalah, tapi tiba-tiba ketika diuji di pengadilan dia tidak bersalah, tentu harus dibebaskan, dong,” jelasnya. Menurutnya, fakta-fakta itu harus dilihat di persidangan, seperti dugaan orang tidak bersalah. Ia pun meminta KPK objektif dalam kasus ini. Sebab, sejatinya dari puluhan saksi tidak ada yang mengaitkan langsung Ade Yasin dengan kasus suap auditor BPK ini. Secara pribadi, Tamil menilai KPK janganlah takut atau malu dicap salah tangkap jika dalam fakta persidangan ada terdakwa yang tidak terbukti bersalah. “Harus objektif lah. Ini harus dikedepankan. KPK juga tidak boleh malu. Saya khawatir KPK ini malu. Menurut pribadi saya, malu takut dicap sebagai salah tangkap. Padahal kan tidak. Diuji itu kan di pengadilan, bukan asumsi-asumsi yang orang bilang. Ketika diuji (di pengadilan, red) tidak terlibat, ya bebaskan,” tegasnya. (ryn/feb/run)