METROPOLITAN.ID - Kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang ingin menghapus kuota impor sebagai respons terhadap kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump kini menjadi sorotan.
Meski tujuannya adalah untuk mempercepat arus perdagangan dan membuka ruang investasi global, langkah ini justru membuat para pelaku industri dalam negeri, terutama di sektor tekstil, semakin resah.
Dalam pidatonya, Prabowo menginstruksikan langsung kepada jajaran Kabinet Merah Putih (KMP) untuk membebaskan seluruh kuota impor, khususnya untuk barang-barang kebutuhan pokok dan sektor yang dianggap vital.
Baca Juga: Nggak Berizin, Satpol PP Kota Bekasi Copot Spanduk Sepanjang Jalan Pasar Kranggan hingga Jatirangga
Menurut Prabowo, kebijakan ini bertujuan untuk membuka keran bisnis lebih luas bagi pengusaha dalam negeri, terutama mereka yang bermitra dengan perusahaan global.
"Yang jelas kemarin, Menko (Perekonomian), Menteri Keuangan, Gubernur BI ada, Ketua DEN ada, saya sudah kasih perintah untuk hilangkan kuota-kuota impor. Terutama untuk barang-barang menyangkut hajat hidup orang banyak, ya kan? Siapa yang mampu, siapa yang mau impor, silahkan," tegas Prabowo seperti dikutip dari suara.com pada Kamis, 10 April 2025.
Namun, pernyataan tersebut langsung memicu kegelisahan dari kalangan industri tekstil nasional.
Baca Juga: Napak Tilas di Pulau Onrust, Wisata Edukasi Sejarah di Kepulauan Seribu Jakarta
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi), Redma Gita Wirawasta, menyuarakan kekhawatiran kebijakan ini.
Jika tidak dijalankan dengan selektif dan strategis, kata dia, justru akan menjadi bumerang bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.
Menurut Redma, Apsyfi sebenarnya tidak menolak ide pembukaan impor, namun ia menegaskan bahwa tidak semua produk bisa diperlakukan sama.
Baca Juga: Daftar Tempat Wisata Terpopuler di Batam untuk Jadi Tujuan Liburan saat Akhir Pekan
Produk-produk yang sudah mampu diproduksi secara massal di dalam negeri semestinya tetap dilindungi.
“Terkait deregulasi ini perlu dipilah, kalau impornya dibuka semua justru jadi bumerang. Untuk barang yang memang tidak kita produksi, kami setuju untuk dibuka, tapi kalau sudah bisa produksi dalam jumlah yang besar baiknya jangan dibuka,” ujarnya.