METROPOLITAN – Sudah setahun, ribuan Kepala Keluarga (KK) di Kecamatan Sukajaya masih menempati rumah hunian sementara (Huntara). Mereka yang menjadi korban bencana alam banjir dan longsor pada Januari 2020 meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor segera membuat hunian tetap (huntap). Sebab, ribuan warga korban bencana alam di enam desa masih tinggal di hunian sementara (huntara) yang kondisinya sangat memprihatinkan di tengah pandemi Covid-19. Korban bencana asal Desa Cileuksa, Ida (33), mengaku sudah setahun dirinya bersama keluarga masih menempati Huntara. Ketika hujan deras disertai angin kencang dirinya merasa waswas. ”Saya dan anak-anak sering ketakutan saat petir menyambar tiada henti dan hujan deras mengguyur. Sebab, Huntara atapnya dari baja ringan sehingga rawan sambaran petir,” keluhnya. Senada, ibu beranak dua ini, Mirna (40), menuturkan, sudah 18 bulan dirinya menempati gubuk Huntara. Ia dan warga lainnya sudah jenuh tinggal di tempat pengungsian ini. Terkadang saat hujan deras turun disertai angin kencang atap Huntara kebocoran. Tak jarang petir ikut menyambar atap baja ringan, sehingga membuat waswas. Apalagi, di tengah pandemi Covid-19 saat ini perlu perhatian khusus. ”Sambaran petir akibat hujan deras dan angin kencang ini sangat mengancam penghuni huntara korban bencana longsor. Kami dan warga penghuni huntara lainnya waswas dan takut setiap hujan dan petir datang,” ungkapnya. Ia juga berharap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor segera merealisasikan pembangunan relokasi rumah hunian tetap (huntap) bagi korban longsor dan banjir awal 2020. Sebab, penghuni gubuk huntara lainnya sudah tidak betah tinggal di huntara. Sudah hampir 18 bulan mereka tinggal di huntara dengan kondisi ruangan sempit dan tidak sehat. ”Kami bersama warga lainnya sangat mendambakan rumah yang layak, sehat dan nyaman untuk ditempati bersama keluarga,” pintanya. Terpisah, Kepala Desa (Kades) Cileuksa, Ujang Ruhyadi, membenarkan adanya keluhan warga korban bencana yang menempati huntara. Warga selalu dilanda kegelisahan dan ketakutan apabila hujan deras disertai angin kencang dan petir yang selalu menyambar atap rumah huntara yang terbuat dari baja ringan. ”Rumah huntara berukuran 3x6 ini seringkali atapnya disambar petir ketika hujan turun. Kebetulan atapnya dari baja ringan, sehingga rawan tersambar petir,” ujar Apih, sapaan akrabnya. Tak hanya atap baja ringan yang selalu disambar petir yang dapat mengancam keselamatan warga pengungsi huntara, tapi juga kesehatan bagi anak-anak dan balita dapat terancam. Dengan ukuran 3x6 rumah huntara yang dihuni empat orang ini sangat kecil dan pengap. Sehingga tak layak kalau terlalu lama ditempati. Sebab, dinding yang terbuat dari asbes ini sangat lembab, apalagi ditambah atapnya banyak yang bocor saat hujan deras turun. ”Sangat tidak layak kalau terlalu lama menempati huntara, karena kondisi seperti ini bisa mengancam kesehatan bagi anak - anak dan balita,” jelasnya. Menurutnya, ada sekitar 1.500 Kepala Keluarga (KK) yang menempati gubuk huntara hampir 18 bulan dengan kondisi cukup memprihatinkan. ”Gubuk huntara berukuran 3x6 ini hanya punya satu ruangan, sehingga terpaksa harus tidur bersamaan dengan istri dan anak-anak hingga saling berdesakan dengan ruangan sempit itu,” ujarnya. Meski begitu, Ujang berharap pemerintah daerah segera memperhatikan kondisi warganya itu. Hingga saat ini pemerintah desa belum mendapat informasi secara jelas kapan rumah hunian tetap pascabencana ini dibangun. Hampir satu tahun enam bulan belum juga ada realisasi pembangunan huntap bagi warga korban bencana longsor dan banjir bandang. Bersama kepala desa lainnya di Kecamatan Sukajaya, ia meminta DPRD Kabupaten Bogor, khususnya dewan dapil 5, berharap serius dalam mendorong dan menyampaikan aspirasi keluh kesah warga korban bencana yang saat ini menempati gubuk huntara. ”Warga berharap anggota dewan yang menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemda segera direalisasikan, mengingat warga sudah tidak betah tinggal di huntara,” tandasnya. (ads/b/suf/py)