METROPOLITAN – Puncak sebagai daerah yang banyak ditempati imigran menjadi persoalan tersendiri bagi masyarakat. Kultur budaya yang berbeda sempat menjadi perbincangan hangat di kalangan warga sekitar. Bagaimana tidak, kebiasaan yang mereka bawa sangat timpang dengan kearifan lokal. Menurut warga sekitar, imigran tak segan berteriak di malam buta atau kerap bertengkar dengan sesama. Ada pula imigran yang sudah berbaur dengan masyarakat Puncak. Sebut saja Jalal yang tinggal di Kampung Babakan, Desa Tugu Utara. Anak berumur 10 tahun imigran asal Irak itu fasih berbahasa Sunda dan beraktivitas layaknya masyarakat Puncak. Bermain bola sampai mengaji dengan anak-anak sekitar. ”Leuwih betah di Indonesia daripada di Irak. Lamun dititah balik ka Irak, jigana moal daek. (lebih betah di Indonesia, kalau disuruh pulang ke Irak kayaknya nggak mau, red),” ungkap Jalal. Jalal mengaku sudah datang sejak usia 5 tahun bersama kakek-nenek dan kakak perempuannya. Sementara kedua orang tuanya masih menetap di Irak. Kini Jalal menguasai empat bahasa, yakni bahasa Irak, Indonesia, Inggris dan Sunda. ”Indung urang sok nelepon nitah sakola jeung ngaji. (Ibu saya suka nelepon menyuruh sekolah dan mengaji, red),” katanya. Meski begitu, Jalal kerap mendapat diskriminasi dari teman-teman sepermainannya. ”Mungkin karena dia dianggap masih orang asing, sehingga terkadang ada penekanan dari teman-temannya,” ungkap warga Babakan, Rudi. Menurut dia, Jalal lebih seperti penduduk lokal ketimbang imigran. Mulai dari cara dia bicara sampai adat dan kebiasaannya. Bahkan, nasi sudah menjadi kebiasaannya. ”Kalau imigran yang lain kan makanan pokoknya roti, tapi dia lebih senang makan nasi,” jelasnya. (ash/b/suf/py)