Reses Masa Persidangan Satu Tahun 2021–2022 Anggota DPRD Kabupaten Bogor Dapil 2 yang dilaksanakan di aula kantor Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, dihujani banyak atensi dari berbagai pihak. Salah satunya terkait sarana dan prasarana pendidikan. CAMAT Cileungsi Adhi Nugraha mengatakan, semua pihak yang hadir dalam acara reses ini untuk menyampaikan aspirasinya kepada anggota dewan. Nantinya akan dijadikan bahan pertimbangan untuk disampaikan kepada dinas terkait saat sidang paripurna nanti. ”Banyak permasalahan yang ada di Kecamatan Cileungsi ini. Mulai dari banjir, macet, kesenjangan sosial, pendidikan yang merupakan PR untuk kita bersama memecahkannya dan mencari solusi jalan keluarnya,” jelas Adhi kepada Metropolitan, kemarin. Seperti pendidikan, lanjutnya, dengan adanya sistem zonasi ini membuat banyak pihak kewalahan. Sebab, jumlah sekolah yang ada di Kecamatan Cileungsi tidak disesuaikan dengan jumlah penduduknya. Begitupun perihal kemacetan dan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). ”Semua pasti berkaitan dengan anggaran. Karena program dan aturan sebagus apa pun, jika tidak ditopang dengan kesiapan anggaran pasti tidak akan maksimal,” ujarnya. Di tempat yang sama, anggota Komisi DPRD Komisi 1 Beben Suhendar mengatakan, aturan yang dibuat pemerintah pusat harusnya disesuaikan dengan kesiapan pada daerah. Dari banyaknya atensi saat ini, ia lebih kritis kepada bidang pendidikannya. Sebab, ada permintaan dibuatkan SMP 4, SMP 5, dan SMA 3 yang semuanya pasti berbenturan dengan anggaran biaya. ”Ini aturan seperti apa yang sedang dijalankan sistem zonasi ini, menurut saya menyusahkan warga. Coba kita lihat kesiapan di daerah. Berapa jumlah penduduk dan berapa jumlah sekolah itu harus dipikirkan. Jangan hanya buat aturan tapi tak melihat kesiapan di bawahnya,” kata Beben, sapaan akrabnya. Selain itu, lanjutnya, saat ini urusan SMA menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar). Padahal, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor dan mungkin pemerintahan kabupaten dan kota lainnya juga pasti masih mampu menangani persoalan SMA. Selain jarak yang juga jauh, pasti tingkat pengawasan juga kurang maksimal. ”Bertahun-tahun ditangani pemkab nyatanya baik-baik saja. Tiba-tiba ada aturan dipindahkan kewenangan kepada provinsi. Ketika ada kendala, pasti pemkab juga dilibatkan. Harusnya jika siap dengan sistem zonasi, pastikan satu di desa itu ada dua sekolah SMA dan SMP,” pungkasnya. (jis/els/run)