“Kalau dibiarkan beroperasi 24 jam, dampak buruknya untuk masyarakat banyak sekali. Terutama debu dan karbon yang bertebaran bebas. Hal itu sangat mengganggu pernafasan warga. Kemudian, jalan-jalan rusak karena kapasitas tronton melebihi muatan jalan. Jalan kami rusak. Kami tidak nyaman beraktivitas kemana-mana,” ujar salah seorang warga Gunungsindur Eer
Hal lain lagi adalah soal aksis siswa menuju sekolah. Pasalnya di sepanjang jalan tersebut banyak sekali sekolah SD, SMP, maupun SMA. Belum lama ini ada salah satu siswa yang tewas terlindas truk. “ Jadi apakah kami akan membiarkan anak-anak kami terancam oleh truk-truk besar saat mereka pergi dan pulang sekolah? Ingat, jika alasan para sopir karena perut yang lapar, maka alasan kami menolak karena nyawa yang jadi ancaman. Apakah nyawa kami dipertaruhkan agar para sopir kenyang?," tuturnya.
Sementara itu, Desi, salah satu warga yang menjadi peserta rapat sempat menyindir aspirasi para sopir. “Perda No. 5 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Perempuan sudah mengatur bahwa Kabupaten Bogor itu menjadi kabupaten yang layak anak. Dan itu bagaimana bisa diwujudkan kalau truk menjadi ancaman anak-anak di wilayah kami? Padahal Kabupaten Bogor pernah jadi Kabupaten juara II Nasional sebagai Kabupaten layak anak. Malu dong kalau anak-anak Gunungsindur masih jadi ancaman para sopir truk,” ujarnya
Selain karena perda tersebut, ia juga menyindir banyaknya sopir-sopir truk yang tidak memiliki surat izin mengemudi. “Soal lain lagi adalah banyak sopir yang suka ngebut saat mengemudi truk. Dan tidak sedikit para sopir itu yang berstatus ABG-ABG yang dibiarkan mengemudi truk. Bagaimana kita tidak khawatir lihat fenomena itu? Jadi saya harap pemerintah bisa mengawal aspirasi warga,” pungkasnya.
(sir/b/sal)