METROPOLITAN - Siang itu waktu menunjukkan pukul 10:00 WIB, sinar matahari terasa tajam menyengat kulit. Sumiati duduk di trotoar seberang Stasiun Bekasi. Ia terlihat membawa kardus dan karton menyiratkan pesan bahwa dirinya saat itu sedang menjajakan ginjalnya untuk pengobatan sang suami, Leo (70).
Warga Jalan Raya Rawaindah 2, RT04/02, Pondok Terong, Bojonggede, Depok itu kehabisan akal untuk membiayai pengobatan suaminya, Leo (70) hingga terpaksa menjual ginjalnya.
Ia mengaku sudah mengikhlaskan jika ada yang berniat untuk membeli ginjalnya. Sampai saat ini sudah empat kota yang ia kunjungi untuk menjajakan ginjalnya, di antaranya Bogor, Depok, Jakarta termasuk Bekasi. Perjuangan ibu 59 tahun ini terdengar sangat berat. Kondisi ini diperparah dengan situasi rumahnya yang masih mengontrak.
Ia mengambil jalan ini atas kehendaknya sendiri. Ia niat uang yang didapatkan dari menjual ginjalnya ini untuk membiayai pengobatan dan jika masih ada sisanya akan ia belikan rumah. “Begitulah kondisi saya. Siapapun para darmawan yang butuh ginjal saya silakan, saya ikhlas. Buat pengobatan bapak dan beli rumah,” katanya.
Ia menceritakan tak ada yang bisa membantu untuk membiayai pengobatan suaminya. Kedua anaknya bekerja sebagai tukang ojek dan buruh cuci. Ia tidak tega jika harus membebani anaknya. Setiap satu minggu, ia harus menyiapkan uang Rp200.000 untuk pengobatan sang suami, termasuk ongkos menuju rumah sakit. Sumiati tak tahu sampai kapan sang suami harus menjalani suntikan tersebut. ”Komplikasi sakitnya. Seterusnya ya mas sampai sembuh,” keluhnya.
Ibu ini mengaku malu dengan apa yang dilakukannya saat ini. Namun, apa daya BPJS sudah tidak mengcover pengobatan sang suami. Dia tak ingat pasti kapan awal suaminya itu sakit hingga akhirnya kini suaminya sudah tidak bisa berbuat apa-apa. (rb/els/py)