Fakta yang menyebut Kabupaten Bogor menduduki peringkat kedua sebagai daerah yang memiliki dana mengendap di perbankan, menjadi sorotan DPRD Kabupaten Bogor. Uang sebanyak Rp833,2 miliar yang mengendap diduga karena banyaknya program Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor yang tak berjalan. Hal ini sama artinya dengan kemalasan pejabat merealisasikan program pembangunan dan hanya mengandalkan bunga untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bogor Iwan Setiawan mengatakan, sebenarnya yang jadi persoalan bukan masalah dana yang mengendap, melainkan program yang tak berjalan sehingga mengakibatkan dana tersebut mengendap. Karena itu, Pemkab Bogor harus membuat perencanaan yang lebih komprehensif dan terukur di setiap kegiatan. “Kalau saya pribadi melihat dana mengendap itu bikin miris ya. Sebab, masih banyak program yang belum tersentuh bagi masyarakat,” kata Iwan.
Menurut Iwan, selama ini di Kabupaten Bogor masih banyak pengajuan anggaran. Seperti penganggaran pembangunan sekolahan, tetapi tanah yang akan dibangun belum tersedia. Dengan dasar itu, sudah sebaiknya pemerintah mengukur sesuai kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). “Azas APBD itu terukur, maka janganlah menganggarkan tetapi tidak diukur sesuai dengan kemampuan. Di Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) baru ini juga kami akan lihat apakah maksimal dalam penempatan-penempatan kegiatan yang mereka usulkan. Karena jangan sampai ada dana mengendap yang negatif,” ucapnya.
Politisi Gerindra ini menjelaskan, memang dari dana mengendap itu bisa menghasilkan bunga dan menjadi PAD bagi Pemkab Bogor. Namun, jangalah ada indikasi tingginya dana tersebut hanya untuk mengandalkan sebagai pendapatan. Sebab, prestasi itu ketika uang APBD terpakai semua dan bermanfaat untuk masyarakat. “Prestasi itu kalau semuanya terealisasi, bukan malah mengejar bunga untuk meningkatkan PAD,” jelas dia.
Ia juga meminta dengan adanya kejadian ini Pemkab Bogor dapat secepatnya mempelajari dan mengevaluasi kinerjanya. Sebab, kenapa masih banyak kegiatan yang tidak bisa diserap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). “Kalau pembebasan lahan satu dan dua tahun tidak bisa terserap, ya tentu tidak usah dianggarkan kembali. Keledai saja cuma dua kali masa mau ketiga kali, janganlah,” ketusnya.
Iwan menambahkan, kejadian ini terjadi hampir di semua dinas yang ada di lingkup Pemkab Bogor. Makanya, pihaknya akan melihat dinas mana saja yang tak bisa menyerap kegiatan yang sudah dimasukkan ke APBD di Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPj) nanti. “Kita akan lihat nanti di bulan ke tiga. Menurut saya semua dinas sama, bukan hanya satu saja,” ujarnya.
Hal ini dipertegas Direktur Center for Budget Analysis Uchok Sky Khadafi. Dia merasa tingginya dana mengendap diakibatkan kurangnya kemampuan birokrasi dalam mengelola anggaran. Alih-alih mengonversinya menjadi program pembangunan, anggaran banyak ditabung di bank. “Di berbagai daerah, hasil bunga tersebut kemungkinan tidak masuk ke PAD, tetapi masuk ke kantong kepala daerah dan kroninya. Dalam modus ini, anggaran sengaja diinvestasikan untuk kepentingan pribadi,” katanya.
Sebelumnya Kabupaten Bogor masuk lima terbesar penyimpan saldo di perbankan. Sesuai data yang dirilis Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (DJPK Kemenkeu) per akhir Desember 2016, dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan mencapai Rp83,85 triliun. Khusus untuk pemerintah kabupaten, ada lima kabupaten dengan saldo simpanan terbesar di perbankan berdasarkan lokasi bank yakni Kabupaten Bandung sebanyak Rp1,12 triliun, Kabupaten Bogor sebanyak Rp833,2 miliar, Kabupaten Tangerang sebanyak Rp825,4 miliar, Kabupaten Bekasi sebanyak Rp764,7 miliar dan Kabupaten Tanahlaut sebesar Rp695,2 miliar.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bogor Adang Suptandar mengakui endapan itu memang sulit untuk dihindari, sebab memang sudah ada di kas daerah. Apalagi uang itu merupakan cash budget daerah yang telah diprogram dan bisa dicairkan sesuai jadwalnya. Semisal setiap tahun cash budget keluar pada triwulan I, II dan III. “Sudah terprogram seperti itu. Saya juga mau tahu nih kemenkeu itu lihatnya dari mana. Tapi yang jelas banyak komponen dalam uang itu. Tak semata uang yang idle (diam, red),” kata Adang, belum lama ini. Komponen itu, menurut Adang, di antaranya dari anggaran pekerjaan fisik, efisiensi paket pekerjaan hingga bunga deposito dari giro yang sewaktu-waktu bisa dicairkan saat dibutuhkan. “Untuk fisik, ada yang baru dibayarkan pada akhir tahun. Namun, ada juga beberapa yang belum dibayarkan karena memang pekerjaan yang belum selesai dan diluncurkan ke 2017,” ucapnya.(rez/c/els/run)