Minggu, 21 Desember 2025

Walhi Desak Bongkar Bangunan Liar di Puncak

- Sabtu, 17 Februari 2018 | 10:48 WIB

-

METROPOLITAN - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat menilai semrawutnya tata ruang Kabupaten Bogor khususnya di kawasan wisata Puncak yang dinilai sebagai kesalahan utama penyebab terjadinya bencana longsor dan banjir. Direktur Walhi Jabar, Dadan Ramdan menjelaskan, berdasarkan peta geologi, kawasan Puncak memang rawan longsor. Namun, kondisi itu diperparah dengan pembangunan properti komersil, seperti hotel, villa atau rumah makan yang terjadi setiap tahun yang menjadi penyebab air curah hujan tidak terserap dengan baik.

Berdasarkan data 2016, Walhi pernah melakukan penelitian terkait bangunan liar di Puncak. Saat itu, terdapat 340 bangunan komersil dan 40 persen di antaranya tidak memiliki izin. "Penertiban bangunan liar kan sempat ada tuh sejak 2015 oleh Satpol PP Kabupaten Bogor. Harusnya jangan berhenti. Harus diaudit bangunan-bangunan itu, terutama yang bersifat komersil," cetusnya .

Ia menambahkan, pembongkaran bangunan terutama villa-villa liar sempat digalakkan 2013 dan 2015 lalu dengan menggunakan anggaran Bantuan Provinsi (Banprov) DKI Jakarta. Pada 2013 banprov mencapai Rp2,1 miliar dengan asumsi per bangunan menghabiskan dana Rp10 juta dan kembali dilakukan pada tahun 2015. Idealnya sekitar 80 persen kawasan Puncak seharusnya merupakan hutan lindung. Namun, yang terjadi saat ini justru sebaliknya. "Kenyataannya sekarang 60 persen kawasan di Puncak merupakan bangunan permanen yang tidak bisa menyerap air,"katanya.

Sementara itu, tak ingin terus disalahkan dengan kondisi ini, Pemkab Bogor kini coba berbenah diri. Bupati Bogor, Nurhayanti mengakui jika dalam aturan ini ada tumpang tindih kebijakan alih fungsi hutan di wilayah puncak.  Dalam Perda RTRW yang baru direvisi, zoning regulation nya juga sudah diatur.  RTRW itu baru direvisi lebih detil dan sudah mengatur kawasan lindung, penyangga hingga budi daya. Semua sudah diatur. Tapi kembali lagi, Puncak itu ada aturan khusus berupa perpres dan dari Kementerian Lingkungan Hidup. "Puncak memang punya aturan khusus lewat perpres, Kebijakan di kami hanya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang pada akhirnya akan dikaji di tataran provinsi dan pusat," kata Nurhayanti.

Namun untuk menindak bangunan-bangunan liar di Puncak yang jumlahnya lebih dari 200 unit, Pemkab Bogor tidak bisa menganggarkannya. Karena membutuhkan dana yang cukup besar. "Lihat saja bisa atau tidak dengan APBD karena sebelumnya pernah menggunakan dana Banprov DKI. Kita baru ada anggaran untuk tanggap darurat," ungkapnya.

Ia  mengaku bersyukur pasca longsor menyerang kawasan puncak di Masjid At-Tawun dan Riung Gunung, Cisarua, kini seluruh pihak mulai menaruh perhatian lebih untuk mengembalikan Puncak sebagai destinasi wisata dan hutan lindung. "Saya sampaikan harus ada rapat koordinasi dengan mengundang pihak Gunung Mas dan perkebunan karena itu lahan mereka. Lahan bukan punya Pemkab. Kita hanya IMB saja," katanya.

Menurutnya, yang harus dipikirkan saat ini adalah pengendalian pascabencana. Tumpang tindihnya kebijakan di wilayah puncak, menyebabkan Perda Kabupaten Bogor Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2016-2036 pun menjadi tidak bertaring.  Ia pun mengaku akan menjaga komitmen ini untuk memulihkan kawasan wisata puncak sebagaiamana mestinya.

"Sekarang tinggal bagaimana pengendaliannya. Respons Menteri PUPR bahwa beban di Puncak itu sudah tinggi. Pusat juga akan membuat terasering terhadap tebingan di atas dan bawah. Memang pascabencana ini yang mesti diprogramkan,"pungkasnya.

(ads/b/els)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X