Senin, 22 Desember 2025

ATURAN BPJS BARU BIKIN RS BANGKRUT

- Sabtu, 4 Agustus 2018 | 11:57 WIB

METROPOLITAN - Seminggu menerapkan aturan baru Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS), pengelola Rumah Sakit (RS) di Kota Bogor menjerit. Tiga aturan baru itu dianggap bisa mengancam operasional RS.

Salah satu pemilik RS swasta di Kota Bogor yang namanya enggan disebut­kan menilai saat ini semua RS, terutama swasta, mengeluh soal aturan ini. Sebab, BPJS dianggap ma­suk ranah medis. “Kemen­kes juga nggak digubris BPJS soal penundaan aturan. Alhasil kini sudah berlaku dan sudah diterapkan. Apa­lagi RS kami yang bergan­tung dari persalinan saja, kita bisa kolaps,” katanya. Dia mencontohkan, kini jika ada seorang ibu yang melahirkan bayi sehat, klaim BPJS-nya hanya satu poin, padahal sebelumnya ada dua poin yang dicover. Hal itu merugikan RS. Saat ini pihaknya menerapkan atu­ran baru kepada pasien, yakni pemberitahuan soal aturan BPJS ini. Kalau pa­sien bersedia membayar sisanya, maka baru bisa dilayani. Padahal, BPJS dengan tegas melarang RS menolak pasien. “Biasanya untuk kasus itu, kita dapat Rp7 jutaan, se­karang dapat Rp4,9 jutaan, hilang 50 persen. Itu yang bikin kita sering ribut sama pasien. Yang muncul kan kata pasien, masa kita su­dah bayar BPJS, masih saja bayar. Nah RS lah yang kena getahnya,” ketusnya. Segala cara sudah dila­kukan, mulai dari surat yang dilayangkan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh In­donesia (Persi), Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indo­nesia (ARSSI) maupun imbauan dari Kementerian Kesehatan soal penundaan aturan itu, nampak dihi­raukan BPJS. “Karena yang bisa mencabut aturan itu ya presiden. Semua aso­siasi RS dan dokter sudah layangkan surat, tapi tidak digubris. Kami yang terce­kik,” paparnya. Terpisah, Kepala Seksi Pelayanan Medik RSUD, dr Andi Tatat, mengatakan, adanya aturan BPJS itu berdampak pada pelayanan pasien di RSUD Kota Bogor. Yang paling terasa yakni aturan rujukan berjenjang dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertaman (FKTP), seperti puskesmas atau klinik, harus ke RS tipe D, lalu ke C, ke B, baru ke A. “Karena RSUD itu tipe B, jadi cuma menerima ruju­kan dari RS tipe C. Dapat dilihat dari menurunnya angka kunjungan pasien rawat jalan di poli RSUD Kota Bogor hampir 50 per­sen,” katanya. Aturan rujukan berjenjang itu, sambung dia, tidak se­suai Permenkes Nomor 001 Tahun 2012, di mana di PMK tersebut rujukan berjenjang diatur dari fasilitas kese­hatan primer ke sekunder dan ke tertier. “Tidak men­jelaskan harus ke D, C, B, A. Dalam Permenkes 56 Tahun 2014, klasifikasi RS tipe B minimal mempu­nyai dokter subspesialis dua orang, jadi RSUD belum bisa kalau disebut rumah sakit rujukan tertier,” kata­nya. Dampak dari kebijakan ini, kata Andi, membuat masyarakat umum merasa dipersulit, yang sebelumnya berobat ke RSUD, menjadi tidak bisa ke RSUD langs­ung, karena harus berjen­jang ke tipe C dahulu. Di mana ketersediaan perala­tan dan obat di bawah RSUD. Kedua, RS tipe B yang dokter sub spesialis­nya cuma 2, angka kun­jungan poliklinik nya menurun tajam. RSUD yang merupakan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) penuh, yakni 95 persen karyawan adalah non PNS, yang sudah mandiri dan tidak mendapatkan sub­sidi APBD. “Dampak dari regulasi ini berdampak ke cash flow rumah sakit. RS tipe B po­sisinya kejepit. Tidak diakui sebagai faskes sekunder, tapi tersier juga belum. Untuk Kota Bogor yang tidak punya RSUD tipe C, kebijakan ini tentu akan berpengaruh terhadap penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD),” papar­nya.

APBD yang dialokasikan untuk pembayaran premi BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI), dengan kebi­jakan rujukan berjenjang itu, akan terbagi ke RS-RS swasta. Tidak kembali ke PAD. “Lain hal, seandainya dilayani di RSUD. Kami pun harus ‘nombok’ biaya yang mestinya bisa dicover BPJS. Untuk kami yang 95 persen karyawannya non PNS, yang dibiayai operasional sen­diri, sangat berat,” keluhnya. Seperti diketahui, per 25 Juli 2018, BPJS Kesehatan menerapkan implemen­tasi (1) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kese­hatan Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pe­layanan Katarak Dalam Program Jaminan Keseha­tan, (2) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kese­hatan Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pe­layanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat dan (3) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan No­mor 5 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik. Kepala Humas BPJS Kese­hatan, Nopi Hidayat, me­negaskan, berlakunya Pe­raturan Direktur Jaminan Pelayanan (Perdirjampel­kes) ini jangan disalahar­tikan bahwa penjaminan akan pelayanan kesehatan katarak, fisioterapi dan bayi baru lahir sehat diberhen­tikan atau dicabut. Jadi tidak benar ada penghen­tian penjaminan pelayanan terhadap tiga hal itu. “Se­mua pelayanan itu tetap dijamin oleh skema JKN-KIS. Perdir itu terbit di­maksudkan untuk mengop­timalkan mutu pelayanan dan efektivitas penjaminan kesehatan,” ucapnya. Terkait peraturan menge­nai bayi baru lahir sehat, sambung dia, BPJS Kese­hatan akan menjamin semua jenis persalinan baik persalinan biasa atau normal, maupun tindakan bedah caesar. Termasuk pelayanan untuk bayi baru lahir, yang dapat ditagih­kan fasilitas kesehatan dalam satu paket persa­linan untuk ibunya. Namun apabila bayi membutuh­kan pelayanan atau sum­ber daya khusus, maka diatur dalam Perdirjam­pelkes Nomor 3, faskes dapat menagihkan klaim diluar paket persalinan.

“Diimplementasikan tiga peraturan ini, bukan mem­batasi pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta JKN-KIS. Namun penjaminan pembiayaan BPJS Kesehatan disesuaikan dengan kemampuan keu­angan BPJS Kesehatan saat ini. Kami mengapresiasi dan menampung semua aspirasi, baik Kementerian Kesehatan, DJSN, asosiasi, perhimpunan profesi dan pihak terkait lainnya. Imple­mentasi Per­dirjampelkes 2,3 dan 5 untuk ditingkatkan menjadi pera­turan badan, melalui meka­nisme dan ke­tentuan yang ada,” tuntas­nya. (ryn/c/els/py)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X