METROPOLITAN - Seminggu menerapkan aturan baru Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS), pengelola Rumah Sakit (RS) di Kota Bogor menjerit. Tiga aturan baru itu dianggap bisa mengancam operasional RS.
Salah satu pemilik RS swasta di Kota Bogor yang namanya enggan disebutkan menilai saat ini semua RS, terutama swasta, mengeluh soal aturan ini. Sebab, BPJS dianggap masuk ranah medis. “Kemenkes juga nggak digubris BPJS soal penundaan aturan. Alhasil kini sudah berlaku dan sudah diterapkan. Apalagi RS kami yang bergantung dari persalinan saja, kita bisa kolaps,” katanya. Dia mencontohkan, kini jika ada seorang ibu yang melahirkan bayi sehat, klaim BPJS-nya hanya satu poin, padahal sebelumnya ada dua poin yang dicover. Hal itu merugikan RS. Saat ini pihaknya menerapkan aturan baru kepada pasien, yakni pemberitahuan soal aturan BPJS ini. Kalau pasien bersedia membayar sisanya, maka baru bisa dilayani. Padahal, BPJS dengan tegas melarang RS menolak pasien. “Biasanya untuk kasus itu, kita dapat Rp7 jutaan, sekarang dapat Rp4,9 jutaan, hilang 50 persen. Itu yang bikin kita sering ribut sama pasien. Yang muncul kan kata pasien, masa kita sudah bayar BPJS, masih saja bayar. Nah RS lah yang kena getahnya,” ketusnya. Segala cara sudah dilakukan, mulai dari surat yang dilayangkan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) maupun imbauan dari Kementerian Kesehatan soal penundaan aturan itu, nampak dihiraukan BPJS. “Karena yang bisa mencabut aturan itu ya presiden. Semua asosiasi RS dan dokter sudah layangkan surat, tapi tidak digubris. Kami yang tercekik,” paparnya. Terpisah, Kepala Seksi Pelayanan Medik RSUD, dr Andi Tatat, mengatakan, adanya aturan BPJS itu berdampak pada pelayanan pasien di RSUD Kota Bogor. Yang paling terasa yakni aturan rujukan berjenjang dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertaman (FKTP), seperti puskesmas atau klinik, harus ke RS tipe D, lalu ke C, ke B, baru ke A. “Karena RSUD itu tipe B, jadi cuma menerima rujukan dari RS tipe C. Dapat dilihat dari menurunnya angka kunjungan pasien rawat jalan di poli RSUD Kota Bogor hampir 50 persen,” katanya. Aturan rujukan berjenjang itu, sambung dia, tidak sesuai Permenkes Nomor 001 Tahun 2012, di mana di PMK tersebut rujukan berjenjang diatur dari fasilitas kesehatan primer ke sekunder dan ke tertier. “Tidak menjelaskan harus ke D, C, B, A. Dalam Permenkes 56 Tahun 2014, klasifikasi RS tipe B minimal mempunyai dokter subspesialis dua orang, jadi RSUD belum bisa kalau disebut rumah sakit rujukan tertier,” katanya. Dampak dari kebijakan ini, kata Andi, membuat masyarakat umum merasa dipersulit, yang sebelumnya berobat ke RSUD, menjadi tidak bisa ke RSUD langsung, karena harus berjenjang ke tipe C dahulu. Di mana ketersediaan peralatan dan obat di bawah RSUD. Kedua, RS tipe B yang dokter sub spesialisnya cuma 2, angka kunjungan poliklinik nya menurun tajam. RSUD yang merupakan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) penuh, yakni 95 persen karyawan adalah non PNS, yang sudah mandiri dan tidak mendapatkan subsidi APBD. “Dampak dari regulasi ini berdampak ke cash flow rumah sakit. RS tipe B posisinya kejepit. Tidak diakui sebagai faskes sekunder, tapi tersier juga belum. Untuk Kota Bogor yang tidak punya RSUD tipe C, kebijakan ini tentu akan berpengaruh terhadap penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD),” paparnya.
APBD yang dialokasikan untuk pembayaran premi BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI), dengan kebijakan rujukan berjenjang itu, akan terbagi ke RS-RS swasta. Tidak kembali ke PAD. “Lain hal, seandainya dilayani di RSUD. Kami pun harus ‘nombok’ biaya yang mestinya bisa dicover BPJS. Untuk kami yang 95 persen karyawannya non PNS, yang dibiayai operasional sendiri, sangat berat,” keluhnya. Seperti diketahui, per 25 Juli 2018, BPJS Kesehatan menerapkan implementasi (1) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan, (2) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat dan (3) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik. Kepala Humas BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat, menegaskan, berlakunya Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan (Perdirjampelkes) ini jangan disalahartikan bahwa penjaminan akan pelayanan kesehatan katarak, fisioterapi dan bayi baru lahir sehat diberhentikan atau dicabut. Jadi tidak benar ada penghentian penjaminan pelayanan terhadap tiga hal itu. “Semua pelayanan itu tetap dijamin oleh skema JKN-KIS. Perdir itu terbit dimaksudkan untuk mengoptimalkan mutu pelayanan dan efektivitas penjaminan kesehatan,” ucapnya. Terkait peraturan mengenai bayi baru lahir sehat, sambung dia, BPJS Kesehatan akan menjamin semua jenis persalinan baik persalinan biasa atau normal, maupun tindakan bedah caesar. Termasuk pelayanan untuk bayi baru lahir, yang dapat ditagihkan fasilitas kesehatan dalam satu paket persalinan untuk ibunya. Namun apabila bayi membutuhkan pelayanan atau sumber daya khusus, maka diatur dalam Perdirjampelkes Nomor 3, faskes dapat menagihkan klaim diluar paket persalinan.
“Diimplementasikan tiga peraturan ini, bukan membatasi pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta JKN-KIS. Namun penjaminan pembiayaan BPJS Kesehatan disesuaikan dengan kemampuan keuangan BPJS Kesehatan saat ini. Kami mengapresiasi dan menampung semua aspirasi, baik Kementerian Kesehatan, DJSN, asosiasi, perhimpunan profesi dan pihak terkait lainnya. Implementasi Perdirjampelkes 2,3 dan 5 untuk ditingkatkan menjadi peraturan badan, melalui mekanisme dan ketentuan yang ada,” tuntasnya. (ryn/c/els/py)