Pembangunan flyover di Jalan RE Martadinata masih terkendala. Ada sepuluh pemilik tanah belum menyepakati nominal pembebasan tanah yang ditetapkan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Upaya pemkot mengatasi kepadatan arus lalu lintas dan kemacetan di perlintasan kereta api masih dalam proses pembebasan lahan. Proyek fisik yang menghabiskan anggaran Rp105 miliar dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) 2018 itu kekurangan 540 bidang tanah, menyesuaikan revisi Detail Engineering Design (DED). Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Bogor, Chusnul Rozaqi, mengatakan, dari sejumlah bidang tanah itu, 415 bidang di antaranya merupakan milik perorangan. Sedangkan sisanya tanah negara dan garapan. Melalui proses appraisal, ditetapkan harga tanah per meter Rp9,1 juta. Sebanyak 215 bidang tanah sudah selesai dan sisanya sedang dalam proses. Sejumlah bidang tanah itu dimiliki 15 orang, dengan lima di antaranya sudah setuju. “Anggaran pembebasan kan Rp14 miliar dari APBD 2018, untuk kekurangan 540 bidang tanah sesuai DED. Titiknya, kalau kita dari arah Air Mancur, mulai Indomaret sampai mentok ujung sebelum jembatan Sungai Cipakancilan. Sisi kanan kiri dapat ya, rata-rata hanya satu sampai dua meter,” kata Chusnul saat ditemui Metropolitan, kemarin. Ia menargetkan proses pembebasan lahan ini rampung akhir Agustus. Sebab, pekerjaan direncanakan bakal dimulai akhir tahun, sembari menunggu pemenang lelang dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR). Ia mengaku tidak ada kendala berarti dalam proses pembebasan lahan ini. ”Batas akhir penyelesaian itu September. Kalau tidak beres, maka dilakukan konsinyasi ke pengadilan. Sebab, Oktober ditarget masuk pekerjaan. Bukan kendala, kan tinggal pembayaran pembebasan lahan saja,” ucapnya. Apalagi, musyawarah terkait harga masih dilakukan kepada para pemilik lahan. Nilai harga tanah pembebasan sendiri sudah melibatkan Tim Appraisal. Jika KemenPUPR telah selesai lelang, maka pekerjaan bisa segera dilakukan. “Tak bisa lepas dari appraisal. Jadi, jumlahnya sama semua Rp9.105.000 per meter. Pekerjaan yang dilakukan kementerian ini ditarget selesai setengah tahun, dengan sistem multiyears,” terangnya. Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor, Ade Sarip Hidayat, mengatakan, pembangunan jalan layang perlu dukungan semua pihak. Selain volume kendaraan yang tidak terkendali, masih banyak perlintasan sebidang sebagai salah satu penyumbang kemacetan. “Di Kota Bogor itu, selain di Jalan RE Martadinata, terdapat empat titik perlintasan sebidang yang juga akan dibangun flyover. Tapi Jalan RE Martadinata menjadi prioritas kita,” katanya. Tujuan utama pembangunan flyover itu, sambung dia, selain mengatasi kemacetan juga mereduksi jumlah pengguna commuter line. Sebab, pihaknya akan melanjutkan rencana pembangunan stasiun kecil di Sukaresmi, Tanahsareal, Kota Bogor yang lokasinya antara Stasiun Bogor dan Cilebut. “Jadi, kepadatan penumpang kereta dapat diredistribusikan. Semua program ini akan berjalan jika mendapat dukungan penuh dari masyarakat,” katanya. Terpisah, Ketua Komisi C DPRD Kota Bogor, Laniasari, menegaskan, intensitas kereta api yang memotong Jalan RE Martadinata menjadi penyebab antrean kendaraan kerap mengular. Kondisi semakin parah akibat badan jalan cenderung sempit. ”Jadi, kalau ada flyover, pengendara tak perlu lagi menunggu kereta lewat. Sehingga lalu lalang kereta setiap tiga sampai lima menit sekali, tak berdampak lagi terhadap arus lalu lintas di Simpang Kebon itu,” ujarnya. Menurut dia, kepadatan di Jalan RE Martadinata sebenarnya sudah menjadi isu yang sering dikeluhkan publik. Bahkan, pihaknya kerap mendapat keluhan dan tuntutan langsung dari warga yang meminta solusi atas kemacetan itu. ”Saya sendiri kerap menjadi korban kemacetan perlintasan sebidang Jalan RE Martadinata, khususnya saat mengantar anak sekolah pada pagi hari dan pulang kerja pada sore hari,” paparnya. (ryn/c/els/py)