Ramainya pemberitaan kasus gugatan pemilik lahan terdampak pembangunan Jalan Regional Ring Road (R3) kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor belum lama ini menarik perhatian khalayak. Keluarga Salim Abdullah ternyata meng gugat pemkot lantaran penyelesaian ganti rugi R3 yang tak kunjung usai.
SEJAK 2016, Pemkot Bogor mendapat 22 gugatan Perdata dan Tata Usaha Negara (TUN) dari warga terhadap kebijakan yang dibuat pemerintahan di bawah komando Wali Kota Bogor, Bima Arya.
Kepala Subbagian (Kasubbag) Bantuan Hukum pada Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia Setda Kota Bogor, Roni Ismail, mengatakan, dari keseluruhan gugatan yang masuk, baik ke Pengadilan Negeri (PN) Bogor atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, baru sebelas yang sudah keluar amar putusan. Selebihnya masih berjalan, mulai dari mediasi sampai persidangan.
“Untuk 2016 sudah putusan semua. Yang 2017 ada lima gugatan yang putusan. Sedangkan yang masuk tahun ini belum ada putusan. Dari sebelas putusan tersebut, tiga dimenangkan penggugat, di mana pemkot sebagai tergugatnya,” katanya.
Selain kasus Jalan R3, ada beberapa gugatan yang cukup menyita perhatian publik. Di antaranya gugatan dari Yayasan Pendidikan Islam Imam Ahmad bin Hanbal kepada wali kota yang dikabulkan majelis hakim PTUN Bandung medio Maret lalu. Lantas putusan itu kini dalam tahap banding. Sedangkan Yayasan Imam Ahmad bin Hanbal tercatat menggugat kembali pemkot soal dicabutnya izin April lalu. “Kini tahap persidangan,” ucapnya.
Tercatat, gugatan cukup banyak pun masuk ke pengadilan kepada Perusahaan Daerah Pasar Pakuan Jaya (PD PPJ). Bahkan ada hingga empat gugatan hanya dalam rentang waktu satu setengah tahun. “Pada 2017 ada tiga gugatan, dari pedagang di Pasar Bogor lalu dari salah satu perusahaan, kemudian dari paguyuban pedagang Blok F. Awal tahun ini PD Pasar digugat lagi pedagang Pasar Bogor. Semua belum ada yang putusan, tiga persidangan, sisanya penetapan tanggal mediasi,” paparnya.
Roni menambahkan, gugatan yang masuk didominasi sengketa tanah. Selain itu, beberapa kebijakan pemkot, baik melalui dinas ataupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), jadi alasan pemkot digugat warganya sendiri. Angka tersebut bisa jadi tinggi jika membandingkan dengan sebagian besar wilayah kota kabupaten se-Jawa Barat. Namun jika dibandingkan daerah kota besar atau Jabodetabek, angka gugatan rata-rata cukup tinggi. Hal itu diperkirakan karena masyarakat perkotaan dianggap lebih ‘melek hukum’ dibanding kota kabupaten lain di Jawa Barat.
“Kita ya terhitung besar jika dibanding wilayah lain se-Jabar, tapi kalau se-Jabodetabek ya tidak tinggi-tinggi amat. Karena kota besar itu juga warganya melek hukum, jadi terpikirkan untuk lewat jalur hukum kalau tidak puas. Kota atau kabupaten kecil malah ada yang setahun cuma satu gugatan,” pungkasnya. (ryn/c/yok/py)